Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

A Thousand Miles Away 4# Sawah Utara

27 Januari 2021   00:09 Diperbarui: 4 November 2021   00:34 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
atmilesaway.blogspot.com

Sawah Utara atau Sawah Wetan, begitu kami menyebutnya. Aku biasanya kesana melalui beberapa jalan, dari belakang rumah melalui jalan setapak, atau melalui pinggir bangunan besar seperti mall bentuknya disamping bengkel sepeda, tapi harus melewati pematang sawah dan lebih jauh. 

Atau dengan memotong jalan melalui lorong penjual gudeg dan lompat dari tembok rumah Haji Rohmat, agak berbahaya karena butuh kemahiran khusus karena dibelakang terdapat sumur umum yang dalam dan ada belut raksasanya (nanti akan aku tulis juga kisahnya, memburu belut lochness!), dan aku sudah terbiasa. Dan jalur terakhir melewati jalan besar, dari rumah pojok kami kearah utara. 

Disana banyak pilihan tempat bermain,  sekedar mencari ikan dengan menyusuri sepanjang kalen atau parit, tak lupa harus bawa "seser", semacam alat penangkap ikan berbentuk segitiga menyerupai bentuk ikan, terbuat dari bambu dengan jala umumnya berwarna biru, mungkin maksudnya untuk bisa mengelabui ikan karena warnanya hampir sama dengan warna air?. 

tapi entahlah benar atau tidak. Atau alternatif lain main ke tempat penjual es dung-dung dan berharap masih ada es sisa dan kita bisa memintanya dengan leluasa, bahkan seringkali di tawarinya. Atau sekedar membeli jajanan sejenis makanan seperti dodol yang rasanya enak,berwarna coklat dan setahuku hanya dijual di warung kecil disana, di deretan warung nasi sebelah kiri jalan. 

Jika kebetulan sedang musim panen padi kita bisa, berlarian disawah, bergelut dan meniup "damen", batang padi berwarna kuning gading, yang kita potong di ruasnya, kemudian tengahnya kita memarkan dan sedikit dikembungkan, sehingga bisa mengeluarkan bunyi manis, untuk sekedar bernyanyi ala kadar, bergembira dan  mengusir penat setelah lelah bermain. Atau bisa membuat rumah-rumahan dari sisa batang padi kering, menjadi gubug, untuk bermain seharian atau hingga beberapa hari sebelum dirobohkan oleh pemilik sawah karena tanah akan diolah lagi, daerah utara memang daerah pertanian yang luas membentang. 

Dan jika kita bosan dengan semuanya, kami akan berlarian ke tempat di utara yang paling jauh hingga ke dalam pabrik penggilingan padi Wanayasa milik pak Badri, tidak lebih dari itu, karena menurut kami yang anak-anak dibelakang pabrik padi banyak jinnya bisa kemasukan nantinya. Walaupun semua cuma mitos dan tahyul. tapi kami anak-anak percaya dan sangat mematuhinya. Kami biasanya main di dalam areal tempat penjemuran padi, saat padi kosong, penjaga pabrik tak menghiraukan kami dan membiarkan kami bermain hingga puas hati, bermain balap mobil dari papan dengan roda lahar (nanti aku ceritakan juga kisah ini). 

Dan bila bosan kami main di dinding belakang, menunggu kumpulan burung gereja berebut makanan dan seringkali jika tak hati-hati burung-burung itu membentur dinding yang menjulang tinggi dan terjatuh. Lalu kami berebutan menangkapnya, karena untuk beberapa saat burung-burung malang itu pitam dan pingsan. 

Kami bisa menangkapnya hingga beberapa ekor setiap orang karena banyak sekali jumlah kawanan burung yang mencari peruntungan makanan di pabrik padi. Kami biasanya melakukan ritual meniup bagian belakang, (maaf) anus burung untuk membuatnya tersadar dan kemudian kami melepaskannya lagi dengan riang gembira. 

Kami pantang membawa pulang burung dan mengurungnya dalam sangkar, kecuali burungnya itu sakit, karena kami terbiasa berbelas kasihan dengan burung yang baru terjatuh dari atas tembok tinggi, dengan badan lunglai dan wajah memelas. Kebiasaan itu terbawa hingga aku besar, aku tak menyukai memelihara burung dalam sangkar betapapun cantiknya burung itu. Kecuali memelihara ikan di dalam akuarium, menurut kami tak apa-apa. 

Dan petualangan permainan kami terakhir adalah bermain petak umpet, namun yang kami takutkan adalah pabrik padi juga terkenal angker, beberapa kisah yang tak jelas asal-usulnya menceritakan, ada beberapa korban anak-anak yang terjerumus ke dalam tumpukan merang padi yang tengah di bakar, sehingga tak tertolong karena pada saat pembakaran, bagian atas tumpukan merang terlihat kuning, padahal didalamnya telah hangus menjadi abu, 

sehingga bagi yang tak hati-hati dan bergerak terlalu gesit bisa terjerebab dan terjerumus ke dalam bara sekam tadi. Kami biasanya kesana jika memang ada perintah dari ibu untuk membawa pula abu gosok yang kami gunakan untuk membantu membersihkan piring yang kotor, sebelum dibilas dengan  air bersih. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun