Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kota 1000 Kedai Kopi

16 Januari 2021   02:40 Diperbarui: 30 Januari 2021   00:35 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari sisi berbeda Eagleton menyoroti postmodernisme sebagai upaya mewarisi kritik yang mengambil jarak atas modernism. Sedangkan dari avant-garde, mencoba memecahkan masalah kehidupan sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai oposisi "high culture".

Begitupun dengan segelas kupi, juga menjadi bagian dari koreksi atas modernisme menjadi postmodernitas. Fragmentasi gaya hidup, keluaran produk tehnologi informasi, konsumerisme beradu vis a vis dengan tradisi dan spiritualitas. Utamanya dalam kaitan syariah. Pengalaman sosial dan persepsi kultural 'minum kopi' menjadi jauh lebih kompleks. Jika modern hanya sekedar perubahan penampakan fisik, sehingga seringkali menimbulkan benturan dengan tradisi dan kultur tradisional. Dalam postmodernitas perubahan gejala itu coba direduksi, bahkan hingga urusan fragmentasi gaya hidup, konsumersisme yang berlebihan, hingga penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi menjadi kaji pembahasan. Termasuk interpretasi skeptis terhadap budaya di dalamnya. Ketika menikmati segelas kopi posmo, kita berharap tak akan keblablasan dalam menikmati kebudayaan baru, menikmati kopi.

Wajar jika muncul benturan lantaran kekuatiran perubahan tradisi dan kultur. Utamanya kalangan tua muda, kalangan tradisional-modern maupun yang lebih spesifik kalangan agamawan dan 'abangan' (meminjam istilah untuk merujuk kelompok yang menggunakan agama menjadi semacam ritual belaka ).

Dalam tradisi minum kopi di Aceh, perempuan terpisah secara parsial dari ruang simbol maskulinitas, karena minum kopi identik dengan dunia kelelakian. Sementara perempuan mendominasi urusan domestik. Namun perubahan dramatis paska tsunami 2004, ketika kunjungan ribuan relawan yang membawa latar belakang budaya yang berwarna memberi nuansa baru. Lepas dari debat positif-negatif, warung kopi ketika itu menjadi ruang kerja, semacam kantor jalanan, rapat, report dan raport bisa dilakukan bersamaan di ruang yang sama, siang-malam. Kebiasaan itu kemudian terbawa menjadi budaya permisif.

Meskipun seperti melawan kultur, ketika 'aktifitas emergency' dibutuhkan untuk kemaslahatan dalam kerangka Rehabilitasi dan Rekonstruksi paska bencana, maka menjadi sah pada awalnya. Maka gejala permisif itu menguat dan menjadi sebuah budaya baru. Bahwa perempuan dalam konteks belajar, bekerja 'berhak' mengisi ruang-ruang "maskulinitas" menjadi wilayahnya juga, termasuk di malam hari. Konon lagi ketika perkuliahan mengharuskan para peserta didiknya berkutat lebih dekat dengan fasilitas tehnologi informasi seperti internet yang tak semua bisa dijangkau secara personal, maka warung kopi menjadi pilihan.

Redanya konflik yang berkepanjangan, juga menjadi stimulan munculnya geliat konkow di warung kopi, sehingga itidak sekedar menikmati paskapanen di pinggiran pematang sawah, namun juga kesempatan silaturahim, bersosialisasi, bahkan mungkin menyembuhkan luka traumatik paska konflik. Sehingga ketika tradisi minum kopi diyakini juga menjadi bagian atau simbol dari kebebasan maka minum kopi menjadi gaya hidup tidak lagi sekedar kebutuhan. Konflik panjang telah menyita semua jenis kebebasan, termasuk menikmati secangkir kupi di malam hari , ketika jam malam meski tidak secara de facto diserukan tetapi setiap orang tak mau menjadi martir sia-sia gara-gara peluru tak bermata.

Maka seperti sebuah mata pisau, bagaimana menikmati secangkir kopi sangat tergantung personalnya, dibutuhkan kehati-hatian karena ruang tradisinya masih dalam perdebatan yang melibatkan banyak kalangan dengan persepsi yang berbeda dalam menilai benar salahnya. Maka reduksi benturan dalam konteks perubahan dan fragmentasi gaya hidup, konsumersisme yang berlebihan, hingga penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi menjadi sisi yang sensitif untuk diperhatikan dalam perubahan budaya menikmati kopi di kafe-kafe cosmopolitan kita.

Seiring waktu tradisi minum kopi mungkin tidak lagi sederhana, bukan sekedar tentang cita rasa, namun tentang bagaimana menerima tantangan perubahan budaya baru dalam menikmati kopi, agar tidak hanyut di dalamnya. Tentang bagaimana mereduksi perubahan budaya agar tidak mencederai tradisi, pilihan-pilihan kita bersyariah. Karena pada akhirnya warung kopi menjadi semacam "simbol" perubahan atas Aceh dengan segala konsekuensinya karena terbebasnya sekat-sekat pembatas yang menempatkan warung kopi dan budaya minum kopi berada dalam situasi transisi yang juga mencemaskan. Utamanya ketika minum kopi beralih fungsi dari sekedar menikmati kulinari menjadi simbol gaya hidup baru yang keblablasan.[hans-acehdigst2021]. [https://acehdigest.blogspot.com/2021/01/budaya-dalam-secangkir-kopi.html]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun