Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kota 1000 Kedai Kopi

16 Januari 2021   02:40 Diperbarui: 30 Januari 2021   00:35 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam urusan ngopi, Aceh punya pameo, "semua bisa selesai diwarung kopi".Tentu saja pemeo itu 'dalam' sekali. Artinya warung kopi seolah menjadi ruang pusaran mereduksi dan merekonstruksi berbagai masalah sosial, ekonomi hingga politik menjadi lebih sederhana. Sesederhana dialog iklan bapak dan anak gadisnya yang dilarang menghadiri konser dan seketika si ayah berubah pikiran lantaran meneguk segelas air yang dibubuhi teh wangi.

Kopi tidak lagi sekedar menjadi medium perkembangan tradisi dan budaya, namun kupi juga bisa bermakna politis alias "Kopi politik atau politik kopi. Bahkan tak jarang para petinggi kelas eksekutif memanfaatkan warung kopi sebagai ruang mediasi, menemukan cara penyetaraan, ketika pemimpin duduk sebangku dengan rakyat kecil dan sama-sama menikmati kopi sambil berdialog. Sesederhana apapun, tetap saja dialog itu bernilai politis karena yang hadir para petinggi nanggroe.

Bahkan dalam beberapa kesempatan, penulis juga menikmati narasumber gratisan ketika mengunjungi warung kopi, sekedar debat kusir atau bahkan ketika politisi menyampaikan visi terselubung, budayawan mengekspresikan cita rasa seni, atau sekedar mahasiswa dan pegawai kantoran menikmati rehat melepas penat, bahkan kalangan perempuan yang dahulu tak pernah menjadi bagian dari warung kopi. Maka budaya "minum kopi" menjadi makin kompleks, terutama ketika budaya melebar dari batasan-batasan tradisi, sehingga kelas atas-bawah, perempuan-laki-laki, profesional dan amatiran berkumpul dalam 'ekosistem kopi' yang sama.

Tanpa disadari warung kopi telah jauh berubah, bahkan menjadi ruang perubahan, lepas dari salah benar. Ketika menyoroti hal ikhwal dimulainya perubahan, sejak tsunami, para pendatang membawa kebudayaan baru dalam menikmati kopi. Menjadikan kopi sebagai medium berbagi informasi, melepas penat rutinitas, menikmati kopi itu sendiri atau sekedar konkow biasa. Jika di abad ke-19 masyarakat Aceh tidak mengenal kopi dan di akhir abad ke-20 masih sebatas produsen utama kopi, mengingat Aceh memiliki bentangan kebun kopi seluas kurang lebih 94.500 hektar; 48.500 hektare (Aceh Tengah), 39.000 hektar (Bener Meriah) dan 7.000 hektar (Gayo Lues) yang menghasilkan tak kurang dari 50.774 ton pertahun, maka di abad ke-21 kopi telah menjadi budaya dan gaya hidup. (tengkuputeh.com).

Seiring perubahan itu bermunculan kopi kelas premium yang memanjakan penikmat kopi. Meskipun tidak ada yang memaksa namun seiring waktu, kupi menemukan kelasnya yang baru. Menikmati kopi tidak melulu soal tradisi dan cita rasa, namun kini juga telah menjangkau 'kalangan baru' generasi Y. Gambaran stereotif kopi adalah minuman kalangan tua telah jauh terlewatkan. Justru kalangan tua terpinggirkan dan tetap menikmati kelasnya sendiri di warung kopi semula kampungnya sendiri.

Sedikit dari gambaran warung kopi jaman dulu, mungkin masih terlihat di kawasan Beurawe, yang masih membiarkan tampilannya seperti masa lalu. Mengunggulkan cita rasa tanpa peduli pernak-pernik dan polesan yang mengharuskannya tampil seperti sebuah kafe jaman now. Mungkin tak pernah terpikirkan bahwa pada akhirnya kopi harus punya kelas klasik alias reguler dan kelas premium. Maka beberapa produsen kopi menambahkan warung-warung premiumnya  tidak saja sebagai bentuk daya tarik baru kopi yang telah menjadi gaya hidup namun juga menghadirkan kopi sebagai 'pembeda' gengsi semacam kasta jika tidak berlebihan. Sementara di sisi lain kota, tumpukan kubus container yang membentuk bangunan kafe kopi mungkin tak terpikirkan sebelumnya di era ketika ulhee kareng masih merajainya dengan warung kopi beratap daun rumbia.

Kini kafe-kafe dengan nama-nama jadul justru muncul menjadi ikon baru tak melulu nama-nama barat yang disandangkan pada papan nama warung kopi. Secara fisik warung kopi telah mengalami metamorfosa sehingga membuat panoramik fasad-fasad kafe mencerminkan sebuah perubahan budaya dalam menikmati kopi tapi tidak dengan tradisi minum kopi itu sendiri. Jika dulu kawasan Beurawe, Ulhee kareng menjadi sentra warung kopi, seiring perluasan kota, Kampong Pineung, Batoh, Pango telah menjadi sentra baru melengkapi sebutan kota 1000 warung kopi.

Kopi posmo

Kopi juga membawa pengalaman sosial dan persepsi kultural yang kaya dan beragam. Ketika mencoba menyerempet perubahan dan gejalanya sebagai bagian dari perubahan generasi posmo. Tentu kita tak akan membahasnya secara teoritis meski harus diakui dibutuhkan penyamaan visi untuk melihat sudut pandang agar seiring jalan dalam memahami perubahan dan makna di dalamnya. Seperti halnya David Graffin, yang melihat gejala postmodernisme sebagai sebuah 'koreksi' atas beberapa aspek dari modernism.

Postmodernisme dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme. (wikipedia.org)

Setidaknya kita melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah, pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya. Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna. Bagian penting ini yang menandai berbagai perubahan mendasar, untuk melihat bagaimana kebudayaan baru menikmati kopi berimplikasi lebih jauh dari sekedar sebuah ruang kulinari. Lebih dari itu godaan perubahan budaya yang memudar juga berjalan beriring bersamanya. Sehingga ketika berbicara tentang kopi, tradisi dan budaya menjadi tidak lagi sesederhana menikmati secangkir kopi biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun