Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Emisi Karbon dan Air 2025

8 Januari 2021   02:14 Diperbarui: 10 Januari 2021   02:08 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita belum lagi bicara tentang udara bersih, hutan lestari agar emisi karbon tetap pada tempatnya setidaknya seperti hari ini, meski saat ini pun kita sudah terkontaminasi banyak polusi. Kita belum lagi menyentuh substansi lain, bagaimana dengan air tanah dan interupsi air laut, yang mulai menjarah daratan, seperti yang terjadi di ibu kota Jakarta misalnya, hingga masuk radius mendekati permukiman paling padat penduduk di pesisir Marina.

Pada 2025, 78,4% kabupaten/kota di Pulau Jawa akan defisit air (Detikcom, 2011). Kelak, seluruh Jakarta akan "dijajah" interupsi air laut. Sehingga PDAM akan beralih fungsi menjadi PDPAL (Perusahaan Daerah Penyuling Air Laut). Dan air akan masuk dalam level dua dari proses produksi pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi. Perusahaan Daerah yang dikelola negara hanya akan menjadi perusahaan penyuling air, dan perusahaan swasta akan membelinya dan mengemasnya dalam botol.

 "Emas Baru"
Kira-kira seberapa penting komoditas air ketika itu? Berapa kira-kira harganya? Berapa persen penduduk yang tak mampu menjangkau realitas itu, karena faktor kemiskinan dan ketidakmampuan? Bandingkan realitas mampu dan tidak mampu saat ini, berapa persen yang bisa mengakses air bersih hari ini?

Seimbangkah antara demand dan supplay dan jangkauan ekonomi berbagai lapisan ekonomi yang hari ini mewarnai negeri kita? Atau konkretnya golongan ekonomi kelas berapakah yang kelak mampu bertahan hidup dan bisa menjangkau air sebagai kebutuhan hariannya? Jangan dulu beranjak pada kemungkinan realitas lain, ketika kebutuhan primer ini menjadi "emas baru", maka orang mungkin akan merampok untuk mendapatkan "emas biru" yang bernama air itu. (Karen, Blue Gold: 50).

Masih Beruntung jika kita tinggal di Sumatera dengan daratan luas dan mungkin butuh waktu lebih lama untuk merasakan krisis layaknya Jakarta. Namun krisis ini akan terus berjalan layaknya epidemi, merangsek dari kota yang aksesnya di pinggir laut dan beranjak ke tengah secara perlahan. Karena musnahnya air tak mesti harus menunggu punahnya daratan. Ketika interupsi air laut jauh masuk ke daratan ketika itu juga "era krisis air" dimulai. Water Crisis Begins!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun