https://geotimes.co.id/opini/koruptor-bersarang-di-kota-pendidikan/
Apa Mungkin Dunia Tanpa Korupsi? Ada yang bilang dunia tanpa korupsi adalah sebuah utopia. Melalui pemikirannya yang out of the box, Allan Weisman mencoba memotret, sisi lain kehidupan manusia. Membayangkan sebuah dunia tanpa manusia, karena dalam pemikirannya manusia adalah mahluk' Omnivora', pemakan segala.Â
Termasuk menjadi serigala bagi manusia lainnya. Bacaan pemikirannya tentang "Dunia Tanpa Manusia"-nya, menjadi karya fenomenal non fiksi terbaik 2007. Muatannya adalah sebuah bentuk kegamangan satir, kerisauan akan masa depan bumi yang makin bertumbuh sekaligus juga makin rusak yang dituangkannya dengan cara yang berbeda. Mengaduk pemikiran, membenturkan nalar dan realitas negeri utopia.
Dunia nirkorupsi?
Lalu dalam pola yang identik, kita mencoba membayangkan realitas 'kejahatan' lain yang telah menjadi candu dan 'wabah' mencemaskan, korupsi!. Bagaimana jika dunia tanpa kecurangan, tanpa kejahatan dan tanpa korupsi?. Karena Ebola, HIV-AIDS dan MERS memiliki obat, tapi tidak dengan tindak koruptif yang mencemari otak seperti Alzeimer.
Dan manusia sejenis Nicollo Machiavelli yang memprovokasi kejahatan agar populis, benar-benar lenyap dari bumi?. Sosok Machiavelli adalah diplomat, filsuf dan politikus Italia yang terkenal karena pemikirannya tentang politik dan kekuasaan. Karya fenomenalnya The Prince (Sang raja), dianggap melegalkan tipu muslihat, kelicikan, dusta, serta kekejaman dalam menggapai kekuasaan.Â
Bagi beberapa filsuf lain, kuasa juga dianggap selalu asimetris: yang kuatlah yang selalu menentukan segala hal. Plato, misalnya, menyebut -- dalam dialognya dengan Trasymachus -- bahwa "keadilan adalah kepentingan orang yang lebih kuat". Dan Thucydides pernah juga menyebut bahwa dalam relasi antarnegara "yang kuat akan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan, sementara yang lemah akan menanggung apapun yang mesti mereka derita".
Dalam pemikiran yang 'di luar kebiasaan" Weisman menceritakan tentang alam yang memenangkan segala jenis pertarungan. Dan manusia hanya menjadi obyek penderita yang 'menyaksikan' alam kembali ke bentuknya semula, back to nature. Gagasan buku tersebut seperti sebuah satir tentang kerinduan akan kedamaian dan gerak idealisme yang luwes. Bicara kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan persis seperti seharusnya. Mengapa?, karena dunia hari ini adalah "dunia lain" bagi perdamaian, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran. Wujudnya hari ini hanyalah simbol, gambar namun tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya.
Dunia hari ini adalah dunia yang tercemar, terkontaminasi "kepentingan" dan nafsu serakah manusia. Bayangkan saja, orang bersepakat mendirikan negara agar mendapat pengakuan de jure dan de facto, memiliki kedaulatan dan tidak seenaknya dirongrong dan dijajah oleh bangsa lain. Namun aneh dan fatalnya, 'penjajahan' justru lahir dari perut ibu negerinya sendiri, di tanah airnya sendiri. Ketika orang banyak (baca; rakyat) menyediakan ruang bagi orang yang dipercaya di pemerintahan menjadi wakil rakyat, ternyata disalahgunakan, kepercayaan diperjualbelikan dalam politik uang. Dan lebih masygul lagi karena harta hasil menjual "nuraninya" hanya untuk memenuhi perut, nafsu dan kuasanya sendiri persis seperti yang digambarkan oleh Machiavelli.
Bayangkan jika para wakil rakyat menganut dogma sesat Machiavelli, " "... Membunuh sahabat seperjuangan, mengkhianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki agama; kesemua hal ini tidak dapat digolongkan sebagai tindakan yang bermoral, namun dapat memberikan kekuatan..." "... Manusia tidak segan-segan (lebih) membela orang yang mereka takuti dibanding yang mereka cintai. Karena cinta diikat oleh rantai kewajiban ... Pada saat manusia telah mendapatkan apa yang diinginkannya, rantai tersebut akan putus. (Sebaliknya) rasa takut tidak akan pernah gagal...".
Dan puncak dari kejahatan homo homoni lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya) adalah ketika semua orang di puncak kekuasaan berteriak dengan riang, "pemimpin harus ditakuti, bukan dicintai". Karena dalam dunia politik, ketakutan akan menyebabkan kepatuhan terhadap pemimpin, walaupun dalam keadaan terpaksa. Sedangkan kecintaan selain menyebabkan kepatuhan juga menyebabkan pemberontakan?.
Tak diragukan lagi, pemikirannya yang "cemerlang' tentang politik dan kekuasaan nakal, menyebabkan hampir semua pemimpin di dunia pernah membaca buku The Prince. Kabarnya, Napoleon selalu tidur dengan buku ini berada di bawah bantalnya. Begitu pula dengan Raja Frederick, Tsar Peter Yang Agung, Joseph II, Adolf Hitler, Bennito Mussolini, Lenin, dan Stalin. Michael H. Hart pun menjuluki buku ini sebagai "Buku Pedoman Para Diktator".(dalhar;12/2009).Â