Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Optimisme Aceh Pintar

16 September 2019   18:13 Diperbarui: 29 Januari 2021   22:28 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Juni 1997, Kishore Mahbubani, ekonom dan diplomat Singapura hadir di International Conference On Thinking ke-7 di Singapura, dan mempresentasikan gagasan kontroversial, "Bisakah Orang Asia Berpikir?". Lalu menerbitkankan esai-nya dalam National Interest pada musim panas 1998. 

Tentu bukan tanpa dasar Mahbubani mengutarakan argumentasinya Di luar dugaannya publikasi ilmiahnya ini tak merangsang orang Asia bereaksi. Reaksi sebaliknya justru muncul dari kalangan Barat, asumsinya bisa jadi karena kemunculan gagasannya tak sesuai momentum atau tidak tepat dalam citarasa politik. Terutama jika orang Asia mempertanyakan pertanyaan mendasar tentang dirinya sendiri atau masa depannya. Mahbubani berkeyakinan orang Asia inferior di hadapan Barat, ini bukan perkara kolonisasi fisik, tetapi kolonisasi mental.

Disisi lain Joseph Stiglitz, ekonom Bank Dunia menangkap realitas perubahan di Asia dengan optimis dan menuangkannya dalam sebuah artikel di Asian Wall Street Journal. "Keajaiban Asia Timur adalah nyata. Transformasi ekonomi Asia Timur telah menjadi salah satu prestasi luar biasa dalam sejarah. Gelombang yang dramatis yang mencakup harapan hidup lebih lama, kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, dan jutaan orang lainnya telah mengentaskan dirinya dari kemiskinan, dan saat ini mengarah pada kehidupan penuh harapan.

Lantas dimana posisi Indonesia dan Aceh dalam konstelasi besar tersebut? Bagaimana kita memposisikan diri, menjadi bangsa yang tidak hanya membeo, namun menciptakan trend baru. Apakah dalam konteks institusi perguruan tinggi, kita akan terus bertahan hanya menjadi "mesin" pencetak sarjana unsich, tanpa membuat perubahan dan menciptakan trend yang bisa menggiring kebijakan memakmurkan Aceh masa depan?.

Apakah kita dibebani pertanyaan besar Mahbubani,"bisakah orang Asia berpikir?". Menariknya, modalitas orang Asia berkecenderungan mempertahankan kepribadian Asia-nya, sekalipun belajar tentang Barat. Sehingga realitas yang muncul adalah sintesis atau sinkretis, berupa pola pikir holistik, tidak terkekang oleh batasan.

Basis argumentasi di atas penting dikaji lebih mendalam untuk membangun pondasi baru ketika melakukan sebuah perubahan, reformasi atau bahkan revolusi arah pembangunan pendidikan masa depan. Perubahan dan transformasi adalah sebuah keniscayaan bagi perguruan tinggi. Perguruan tinggi berada pada posisi yang dinamis di tengah masyarakat. 

Kondisi semakin kompleks ketika menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0. Revolusi industri adalah titik balik yang mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan manusia, yang ditandai dengan dominasi internet.

Sesungguhnya perubahan era baru itu telah diprediksi John Naisbitt dalam bukunya "8 Megatrend Asia Yang Mengubah Dunia". Salah satunya wujud perubahan trend dari industri padat karya menjadi teknologi canggih. Ketika ekonomi global terus berubah dari abad industri ke abad informasi, kunci produktivitas bukan lagi terletak pada murahnya ongkos tenaga kerja, melainkan pada pemanfaatan teknologi canggih sebaik-baiknya. Dalam sejarah planet ini, internetlah eksperimen terbesar yang melibatkan anarki. Setiap menit, ratusan juta orang membuat dan menyerap konten digital yang tak terhitung banyaknya, dalam dunia daring (online) yang tidak terikat hukum bumi.

Dimana kita?

Kendati kebangkitan perguruan tinggi di Indonesia (termasuk Aceh) dipandang terlambat, namun berada dalam posisi yang relatif kuat memasuki abad informasi dengan berbagai keuntungan; Pertama, memiliki penduduk yang relatif muda (berkah demografi); Kedua, sebagai pendatang yang terlambat dalam pembangunan, Indonesia memiliki kesempatan emas memasang infrastruktur canggih versi terbaru.

Ketiga; tidak perlu mendapatkan pendidikan ulang atas perubahan sistem perangkat teknologi lama ke baru, yang diandalkan periode industrial ke pendidikan abad informasi; Singapura adalah contoh sukses, memiliki catatan rekor luar biasa dalam upayanya beralih dari teknologi impor ke teknologi buatan dalam negeri. Hanya 10 tahun berubah dari ekonomi pusat usaha manufaktur menjadi pusat kegiatan riset dan pengembangan, dengan kesibukan bidang komputer, tehnologi media, rekayasa dasar.

Pemerintah Singapura melakukan investasi jangka panjang dalam riset dan pengembangan. Menteri Pendidikan negara itu memiliki budget khusus sebesar $35,7 juta bagi riset dasar di dua universitasnya. Riset dasar mencakup bio-teknologi dan farmasi, mikroelektronika, perangkat lunak komputer dan pencitraan komputer-computer imaging.

Melalui transformasi tiga generasi, yaitu, Humboldtian, teaching university dan research university, kini perguruan tinggi bertransformasi menuju perguruan tinggi generasi 4.0 (fourth generation university) yaitu entrepreneurial university. Elemen pokok dalam gagasan entrepreneurial university adalah pergeseran kegiatan penelitian dari basis individual menjadi kelas kolektif atau berkelompok.

Perluasan misi pendidikan menjadi pendidikan pengembangan organisasi di luar kampus melalui pelembagaan inkubator bisnis dan pengembangan startup companies. Lembaga ini melahirkan lulusan sarjana, organisasi baru dan perusahaan rintisan, sehingga perguruan tinggi menjadi simpul dari jaringan perusahaan-companies network.

Komersialisasi global dan penerimaan secara luas terhadap hasil-hasil inovasi menjadi ukuran keberhasilan. Cirinya adalah adanya riset bersama antara perguruan tinggi dan industri yang sejalan dengan program pemerintah. Hilirisasi hasil-hasil riset untuk peningkatan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sesuai dengan visi-misi pemerintah Indonesia dalam Pembangunan 2015-2020 (Nawa Cita).

Proses konvergensi yang kita saksikan akibat dari globalisasi dewasa ini praktis menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan (ekonomi, bisnis, budaya, politik, ideologi), termasuk menjamah tataran system, process, actors, dan events. Sehingga wujud strategi, kebijakan, kurikulum pendidikan perguruan tinggi menemukan tantangan yang tak lagi sederhana. Konteks Universitas Era Revolusi Generasi Keempat-enterpreneur university, mendorong tumbuhnya iklim berusaha mandiri dalam format industri kreatif berbasis digital, menciptakan lapangan kerja dan berkontribusi mengatasi kemiskinan.

Kebutuhan paling urgen adalah ketersediaan basis data yang kuat, kelompok think thank, jejaring (network) dan cetak biru (blueprint) arah kebijakan pendidikan tinggi dalam kerangka jangka pendek, menengah dan panjang berbasis perubahan revolusi industri 4.0 yang mensyaratkan SDM yang bervisi enterpreneurship.

Dalam usianya yang telah dewasa, sejak kelahiran Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Darussalam, dan kelahiran fakultas pertama di tahun 1959, ekspektasi masyarakat terhadap pendidikan Aceh menjadi semakin besar, terutama dengan gagasan besar Aceh Hebat dan Aceh Carong, Aceh Meuadab. Maka siap tidak siap, kawah candradimuka pendidikan Aceh tersebut harus mampu menanggung konsekuensi, hadir sebagai representasi kemajuan dan perubahan pendidikan dan Aceh Baru yang dinamis. Beranjak dari era Humboldtian menuju Fourth Generation University tanpa harus kehilangan jati dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun