Akibatnya muncul polemik yang tak berkesudahan yang sangat mengganggu kerja-kerja tehnis penyelenggaraan tahapan pileg dan pilpres tahun 2019 mendatang. Padahal kedua lembaga tersebut berada dalam satu institusi penyelenggara pemilu, namun bertentangan pendapat, dan saling menegasikan dalam menjalankan kewenangan dan tugas kelembagaannya.
KPU bertanggung jawab atas seluruh pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu 2019, sedangkan Bawaslu mengawasi jalannya pelaksanaan tahapan pemilu, pelanggaraan pemilu, serta penyelesaian sengketa pemilu. Sementara sengketa internal antara mereka justru tak kunjung menemukan solusinya.
Tentu saja kebuntuan komunikasi akibat cara pandang yang berbeda akan berbuntut pada tahapan pelaksanaan pemilu yang justru menjadi tidak sederhana karena dibebani persoalan sengketa, yang akan terus menuai gugatan. Terutama dalam kaitan dengan daftar calon legislatif yang terindikasi positif sebagai koruptor, namun tetap melenggang ke gedung dewan perwakilan rakyat. Indikasi beratnya persoalan terkait Pileg juga diutarakan oleh Kapolri, Jendral Tito Karnavian, bahwa ancaman keamanan pada pelaksanaan pileg lebih rawan dari pada pilpres (Serambi, 14/9/2018).
Jika jalan buntu ini tak menemukan solusi konkret, kemudian mekanismenya dibiarkan ditentukan "pasar", meminjam istilah ekonomi, artinya rakyat sendiri yang akan memutuskan pilihannya, berdasarkan latar belakang (track record) para bacaleg, tentu menjadi bias.
Setidaknya terdapat tiga persoalan yang terimbas dengan kasus tersebut, yaitu: Pertama, tidak seluruh informasi terkait latar belakang calon yang terindikasi korupsi diketahui oleh masyarakat secara luas, kecuali jika dalam Daftar Calon Tetap (DCT) dan saat pemilihan, diterakan bahwa yang bersangkutan adalah koruptor, sesuatu yang mustahil tentunya.
Kedua, menjadi pembelajaran buruk bagi demokrasi kita, karena ketika cap koruptor ditandai sebagai musuh yang harus dibasmi, namun sosok koruptornya justru didorong menjadi salah satu calon pemimpin dan dijagokan sebagai representasi atau perwakilan aspirasi rakyat di gedung dewan yang terhormat yang dikuatkan dengan legitimasi Undang-Undang.
Dan, ketiga, inisiatif dan kerja keras pemerintah mendorong pemberantasan korupsi yang dikomandani KPK menjadi sebuah aksi semu alias sekedar kamuflase belaka. Tahapan seleksi pileg dengan para koruptor di dalamnya, hanya akan menjadi atraksi demokrasi dan pemberantasan korupsi semu.Â
Seolah pemerintah abai dan bersikap apatis atas realitas yang sebenarnya dapat ditangani sejak awal sebagai tindak preventif, dari pada membuang energi percuma untuk mengurusi persoalan sengkarut hukum yang kelak bisa saja muncul ketika putusan pengadilan berlaku inkrah (tetap).
Membangun kesepahaman
Dibutuhkan kesepahaman dan itikad baik dari kedua belah pihak untuk penyelesaian sengketa internal tersebut. Membangun diskusi dan komunikasi dua arah yang intensif antara KPU dan Bawaslu untuk menghindari benturan penafsiran atau perbedaan pandangan yang dibangun dalam sebuah code of conduct atau wujud komunikasi yang disepakati diantara KPU, Bawaslu dan DKPP. Sebagaimana diwacanakan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini.
Persoalan ini akan terus menjadi blunder tak berkesudahan, jika ketidaksepahaman tidak diimplementasikan sejalan dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga.Â