https://geotimes.co.id/opini/demokrasi-dan-geliat-korupsi/
Ada dua persoalan mutakhir yang mengemuka dan menarik untuk menjadi kajian kita. Pertama dalam kaitan mengawal proses tahapan pileg dan pilpres 2019, sekaligus bersisian dengan komitmen dan kerja besar kita memberantas korupsi yang nyaris tanpa henti.
Disharmoni antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kelihatannya akan menambah daftar koruptor yang akan masuk ke parlemen di Indonesia.Â
Daftar ini akan melengkapi temuan data koruptor, setelah dirilis daftar 2.357 koruptor yang berstatus PNS oleh Badan Kepegawaian Negara (BPN). Data ini cukup mencengangkan dalam kaitan kerja kita memberantas rasuah di Indonesia yang dimotori oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Aceh menempati urutan ke 7 dari 34 provinsi dengan 89 orang koruptor (provinsi 19 orang, kabupaten maupun kota 76 orang). Data tersebut dirilis BPN berdasarkan penelusuran data rekapitulasi di Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham.Â
Data ini terhitung sejak program Pendaftaran Ulang PNS (PUPPNS) pada akhir 2015. Saat ini baru 317 koruptor dari total keseluruhan kasus secara nasional yang telah diberhentikan dengan tidak hormat sebagai PNS. Pemecatan dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) masing-masing wilayah (Serambi, 14/9/2018).
Toleransi diberikan oleh pemerintah kepada PNS dan ASN yang terbukti korupsi dan keputusan pengadilannya telah inkrah (berkekuatan hukum tetap), hingga akhir 2018 ini. Legalitasnya tertuang dalam Surat Keputusan Bersama antara Mendagri Tjahyo Kumolo, Menpan-RB Syafruddin dan Kepala BKN Bima Harta Wibisana. SKB ini merupakan wujud komitmen tiga institusi dengan KPK dalam kerangka kerja besar memberantas korupsi.
Polemik tanpa solusi
Di saat rilis panjangnya daftar koruptor PNS yang telah masuk dalam hirarki pemerintahan kita, justru pada saat yang sama, barisan baru para koruptor sedang menunggu antrean untuk menjadi "penumpang" baru di gedung dewan. Bisa jadi daftar koruptor atau calon koruptor itu akan menjadi pengisi kotak Pandora baru, dan ketika dibuka kelak maka kita akan dibebani dengan kerja-kerja memberantas korupsi yang lebih massif lagi. Barangkali analogi yang tepat untuk realitas ini adalah, seperti 'menyimpan' duri dalam daging.
Hingga saat ini disharmoni dan sinergi kerja antara KPU dan Bawaslu belum menunjukkan sinkronisasi, bahkan belum terlihat adanya itikad baik dari kedua belah pihak untuk meluruskan persoalan terkait larangan mantan napi koruptor maju sebagai bakal calon legislatif yang belum terakomodir secara jelas jalan keluarnya.
Silang pendapat ini dilatarbelakangi perbedaan dua legalitas yang menjadi acuan hukumnya. Diketahui KPU menyatakan mantan napi korupsi tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai bacaleg dengan berpedoman pada Peraturan KPU (PKPU) nomor 20 tahun 2018 yang melarang mantan napi korupsi maju sebagai calon wakil rakyat. Sementara Bawaslu justu meloloskannya melalui sidang sengketa dengan berpedoman pada Undang-Undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 yang tidak memuat larangan mantan korupsi untuk menjadi anggota legislatif.