https://bykateward.medium.com/32-lessons-from-millennial-philosopher-king-ryan-holiday-b95a888f9060
oleh hanif sofyan-acehdigest
Menimbang-nimbang penuturan Ryan Holiday, dalam Trust Me, I'am Lying rasanya ada benarnya. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan urusan politik konteks Indonesia, dan juga Aceh. Begitu pula dalam kaitan menuliskan pikiran di media.
Keyakinan publik bisa diacak-acak oleh survey politik-berbayar (baca: by order) atau debat kusir para politikus di media. Konon lagi ketika informasi personal publik bisa dicatut menjadi medium pemenangan, seperti dalam kasus Donald Trump yang menghebohkan.Â
Mark Zuckerberg sampai harus memuat kata maafnya di New York Times dan tiga media kondang lainnya, atas ketidakberdayaannya tidak bisa mencegah kebobolan manipulasi media. Pun harus menggelontorkan jutaan dolar 'membersihkan' puing-puing pencurian data facebook untuk pemenangan Trump yang kontroversial itu.
Ketika Ryan Holiday blak-blakan memproklamirkan dirinya sebagai manipulator media, Tim Ferriss penulis buku terlaris #1 versi New York Times, The 4-Hour Workweek menyebutnya, setengah Machiavelli, setengah Ogilvy. Itu tidak lebih karena Niccol Machiavelli adalah diplomat, politikus dan filsuf Italia, figur utama dalam realitas teori politik, era Renaisans Eropa.Â
Pikiran-pikiran dan penganutnya (baca: MACHIAVELIS atau Makiavelis) menjadi simbol untuk orang yang melakukan hal buruk dengan menghalalkan segala cara dalam mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan).
Dalam konteks politik, merebut kekuasaan melalui pemungutan suara adalah menggelontorkan dana besar-besaran untuk "membeli" suara rakyat, melakukan berbagai kebohongan terhadap publik, dan melakukan tindakan kriminalisasi untuk memperoleh elektabilitas maksimal adalah wujud nyatanya.
Dalam konteks media, mungkin bisa digambarkan sebagai idealisme yang berbalut manipulasi berita dengan bumbu tertentu untuk menutupi maksud tersembunyi; popularitas. Meskipun mungkin tidak sepenuhnya mengenyampingkan kebenaran. Seperti kata David Mackenzie Ogilvy, yang dikenal luas sebagai "Bapak Periklanan" menurut New York Times.Â
Pada tahun 1962, majalah Time menyebutnya sebagai "penyihir yang paling dicari di industri periklanan." Ia berkeyakinan dengan prinsip-prinsip Ogilvy, terutama bahwa fungsi periklanan ialah "menjual dan bahwa periklanan produk apapun yang berhasil berdasarkan pada informasi mengenai konsumennya".Â
Ketika semua muara informasi mengedepankan 'syahwat' orang banyak maka informasi itu menjadi popular dan benar?. Tidak peduli apakah itu akan "melukai" atau sekedar mencari pembenaran agar populer. Yang penting turuti saja apa maunya khalayak!.