Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Otonomi Anak, Sebaiknya DiBebaskan Atau Dikurung?

27 Juli 2016   21:17 Diperbarui: 10 Desember 2021   11:32 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam banyak pengalaman, anak-anak sekolah yang sedikit bandel, memiliki kemampuan berteman dan di kemudian hari menemukan jalan suksesnya dengan memanfaatkan “jaringan” pertemanannya, dibandingkan sisi intelektualitasnya. Sementara anak-anak yang cenderung “akademis”, menemukan kesuksesan intelektualnya, namun pertemanannya terbatas pada kelompok dan lingkungan tertentu. Ini tentunya tidak menjadi basis argumen untuk membenarkan bahwa pemberian kebebasan serta merta memberi dampak positif pada mental anak, sementara pembatasan otonomi akan serta merta melemahkan mental anak. Karena lingkungan juga beradaptasi dengan perubahan.

Lingkungan berubah

Di antara ruang otonomi anak yang dibutuhkan untuk beradaptasi dengan lingkungan, model dan modus kejahatan juga bermetamorfosis. Perkembangan tehnologi juga menyumbang jenis kejahatan baru melalui ruang maya yang rentan kejahatan, namun sulit diawasi dan dideteksi. Dunia maya di masa kini dapat menghubungkan antara korban dengan pelaku kejahatan dalam modus yang hampir tidak terdeteksi sebagai bentuk kejahatan pada awalnya. Kecuali ketika korban dan pelaku bertemu dan kejahatan terjadi kemudian karena peluang dan kesempatan yang lebih besar yang tercipta setelahnya.

Bentuk kejahatan tidak melulu pencurian, penipuan, namun juga bisa berbentuk bullying, kekerasan melalui tindakan (action), maupun melalui kata-kata (verbal), namun dalam banyak kasus menyebabkan korban anak-anak bunuh diri karena rasa malu dan tertekan karena dikucilkan lingkungan pergaulan dan kelompoknya. Namun yang lebih fatal adalah ketika anak-anak digiring oleh “teman maya” untuk memenuhi ajakan bertemu dan kemudian berakhir dengan bermacam kasus kejahatan, seperti perampokan, pelecehan seksual maupun pembunuhan.

Pengaruh lain adalah pemahaman anak terhadap realitas yang berubah, fantasi film maupun games memberikan pemahaman baru yang radikal terhadap anak-anak dalam memandang realitas. Sehingga sesuatu yang semu dapat menjadi sangat realistis, sebaliknya yang realistis dapat menjadi semu. Peperangan menjadi aksi yang umum ketika anak-anak terbiasa mengakses “fantasi perang” dalam dunia virtualnya. Perkelahian menjadi hal yang jamak dan dimaknai sebagai sesuatu yang bisa dilakukan ketika dibutuhkan.

Lebih buruk ketika fantasi seksual juga menjadi bahan tontonan dan contoh yang tidak bernilai bahaya bagi tubuhnya secara fisik maupun biologis. Sehingga kasus married by accident alias hamil diluar nikah, menjadi hal yang tidak dapat ditangkal dengan mudah. Harus ada pemahaman yang umum dan intens diberikan kepada anak-anak untuk penguatan pemberian ruang otonomi anak. Seiring berkembangnya jenis bahaya yang mengintai anak-anak, pemahaman itu harus selalu diberikan, terutama oleh para orang tua dan sekolah.

Belum lama berselang kasus kejahatan seksual anak di sebuah sekolah internasional di Jakarta, membuat prihatin kita semua. Lingkungan yang notabene dilengkapi dengan segala macam aturan dan jaminan bahwa lingkungan sekolah adalah “rumah kedua” yang aman bagi anak. Kenyataannya justru menjadi ruang kejahatan yang fatal. Jauh dari jangkauan orang tua yang telah menyerahkan tanggung jawab sejak jam masuk hingga jam keluar sekolah.

Pemahaman tentang solusi mengatasi persoalan kejahatan seksual anak yang selama ini cenderung diabaikan kemudian menjadi isu yang hangat dibicarakan. Pemahaman anak-anak tentang urusan seks dan sebagainya menjadi tuntutan yang mulai harus ditanamkan pada anak dalam pendekatan religius. Anak-anak harus memahami atonomi tubuhnya untuk mengetahui apa yang dapat membahayakan, perilaku yang mengarah pada kejahatan atas tubuhnya. Sehingga sekedar ‘berteriak’ dan marah ketika ada bagian tubuhnya yang sensitif diganggu menjadi hal yang harus sudah dipahami anak-anak sejak dini.

Berbagai jalan keluar dilakukan dengan medium kurikulum sekolah, maupun materi pembelajaran yang sedikit banyak memberikan penjelasan tentang tubuh, organ intim dan bahaya yang mengintainya. Anak-anak perempuan menjadi salah satu subyek yang memiliki kekuatiran lebih besar. Sekalipun anak laki-laki juga rentan dari kejahatan seksual, seperti sodomi.

Menurut Jared, sekalipun pandangannya didasarkan pada pengalamannya melihat berbagai jenis kelompok bangsa dan suku tertentu dalam beradaptasi dan memberikan ruang otonomi pada anggota suku, klan dan keluarganya. Pada akhirnya otonomi dalam kadar tertentu dibutuhkan anak sebagai bagian dari otonomi individualnya. Untuk memberikan ruang belajar dan pembelajaran tentang hidup dan kehidupan. Dengan memahami realitas kehidupan yang sebenarnya, dengan bimbingan lingkungan keluarga, sekolah, alam melalui internalisasi nilai-nilai religius dalam semua jenis medium yang memungkinkan bisa terkoneksi, baik realitas maupun nirkabel yang tanpa batas. Selamat Hari Anak Nasional!

* Hanif Sofyan, Darussalam, Banda Aceh. Email: acehdigest@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun