Sialnya, model politik ini adalah sesuatu yang jamak di dunia perpolitikan kita. Padahal ini satu sumber penyakit politik kita yang menumbuhsuburkan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) penyakit laten yang tidak ada obatnya. Bahkan penyakit ganas sejenis Ebola, AIDS, Sars dan virus Zika yang terbaru masih ditemukan obat penangkalnya.
Pembelajaran penting bagi para eksekutif dan legislatif kita, tentunya, harus dimulai dari tidak terlambat lagi dalam pelaporan APBA 2016 dan berikutnya adalah tidak terlambat lagi dalam penyusunan RAPBA untuk periode 2017 mendatang. Alokasi waktu yang panjang dalam penyusunan RAPBA 2017 nanti, setidaknya akan mengefektifkan pilihan-pilihan kebijakan anggaran terutama yang pro rakyat.
Jangan memalukan
Faktor logis, realistis menjadi faktor pertimbangan penting dalam menyusun anggaran, agar sesuai kebutuhan pembangunan untuk menyejahterakan rakyat. Faktor ini setidaknya juga akan berpengaruh pada pilihan-pilihan kebijakan anggaran, sekalipun berbalut dengan hasil koalisi “dagang sapi”. Artinya jangan sampai pilihan orang-orang cerdas di parlemen dan di pemerintahan memalukan kita. Apalagi sampai mempertunjukkan secara vulgar, kepentingan dan kebutuhan untuk memperkaya diri dengan “kenduri anggaran”.
Apalagi dalam proses panjang penyusunan anggaran berbagai aspirasi, masukan dari seluruh penjuru sudah menjadi amunisi bagi anggota dewan dan pemerintahan dalam penyusunan anggaran. Melalui Musrembang diserap berbagai aspirasi penting yang jelas merujuk kepada kebutuhan pembangunan masing-masing daerah dalam kapasitas mensejahterakan rakyat.
Jika data bernilai ratusan juta tersebut tidak digunakan dalam proses penyusunan anggaran tentu saja menjadi sangat mubazir. Jika para penyusun anggaran hanya berpikir, trial and error dalam menyajikan RAPBA sekadar menghindari deadline dan menunggu koreksi Kemendagri agar tidak dicap telat juga bukan solusi cerdas. Jika mau realistis, tentu bukan di gedung dewandan di pemerintahan untuk “cari makan” yang notabene adalah cuma kerja titipan (amanah) mengurus uang negara untuk rakyat.
Kebutuhan kita paling krusial adalah “meluruskan” RAPBA kita berdasarkan koreksi kemendagri yang nyata-nyata memang realistis untuk direvisi. Maka sebagaimana diskursus yang menguat ketika kisruh APBA 2016 yang nyaris dipergubkan dan pilihan solusinya menyerahkan tanggung jawab APBA kepada eksekutif, sementara legislatif meningkatkan pengawasan.
Solusi yang sama yang harus kita semua lakukan pascaproses koreksi Kemendagri selesai dan masuk pada tahapan proses penggunaan APBA, adalah mengawasi dengan ketat sepak terjang para penanggungjawab dana APBA tersebut termasuk mencermati hasil auditnya. Kita juga menunggu janji Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) --saat masih dipimpin Abraham Samad-- untuk “lebih rajin” mengunjungi Aceh, agar nanggroe syariah ini tidak makin tercoreng dengan selemak korupsi yang merajalela.
* Hanif Sofyan, Mahasiswa Program Magister Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry, tinggal di Tanjung Selamat, Aceh Besar. Email: acehdigest@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H