Mohon tunggu...
Eko Prabowo
Eko Prabowo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

http://wustuk.com\r\n\r\nhttps://soundcloud.com/rakjat-ketjil-music

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pameran Musik "Rock Memberontak: Melawan Pemangkasan Kenikmatan"

19 Januari 2016   11:30 Diperbarui: 19 Januari 2016   13:36 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Poster Pameran Musik "Rock Memberontak: Melawan Pemangkasan Kenikmatan" (desain oleh draCill)"][/caption]Menikmati musik hari ini rasanya sungguh berbeda dengan dulu. Bukan perkara kualitas musiknya (karena itu tergantung selera dan keluasan cakrawala rasa masing-masing penikmatnya), melainkan soal kelengkapan menunya. Ibarat kata makanan, dulu musik disuguhkan 4 sehat 5 sempurna, hari ini disajikan dengan standar junk food, seadanya saja. Kenikmatan musik kita sudah dipangkas. Dirampas!

Kita bisa panjang lebar berkeluh kesah menyalahkan industri musik dan pemilik modal. Ada benarnya juga. Merekalah yang sudah dengan sengaja menghapus artwork dari album musik, meniadakan poster konser layak koleksi dan desain t-shirt yang layak pakai. Lebih parah, mereka dengan pertimbangan matang sudah menyunat kadar agresi (dan gugatan) dari lagu-lagu rock kita dan menjadikan konser rock sekadar hingar bingar ledakan tata suara dan tata cahaya yang membutakan mata, tanpa makna.

Cara lain, yang tentu saja jauh lebih elegan, adalah melawan melalui pameran, mendorong perubahan dengan cara intelek, bukan dengan turun ke jalanan. Ya, meski terdengar agak absurd, pameran adalah salah satu cara terbaik untuk menyampaikan pesan dan menggugah kesadaran publik.

Jadilah. Sebuah pameran tentang perlawanan tersebut akan digelar di Studio Sang Akar, Jl. Tebet Dalam 1, No. 22, Jakarta Selatan, selama 14 hari penuh, dari 23 Januari hingga 5 Februari 2016 yang akan datang. Pameran musik itu diberi tajuk “Rock Memberontak: Melawan Pemangkasan Kenikmatan”. Ngeri, ya?

Apa yang akan bisa dipetik publik yang mengunjungi pameran ini? Nah, ini yang sangat menarik.

Sigit D. Pratama yang berperan sebagai kurator, dengan dramatis, menyusun 16 komponen pameran yang keseluruhannya bercerita mengenai musik. Bukan musik pada umumnya, melainkan musik sebagaimana kita, penggemar musik sungguhan, memahaminya.

Ketika pertama kali membuka pintu Studio Sang Akar, melihatlah ke kanan. Di dinding putih terpampang judul buku “Rock Memberontak” dalam sticker transparan berukuran besar. Selamat datang ke alam pikiran para pemberontak yang menolak suguhan musik seadanya saja.

Lanjutkan langkah, tataplah ke depan. Ilustrasi Davro menyuguhkan dua sosok musisi pemberontak yang sudah melegenda di kancah grunge lokal, Che Cupumanik dan Robi Navicula. Merekalah sumber utama naskah buku “Rock Memberontak”. Senafas dengan buku yang membongkar isi pikiran keduanya, Davro membongkar citra Che dan Robi ke dalam komponen-komponen kecil penyusun semesta mereka, seperti buku, sumber pangan, dan alam liar yang terancam.

Mulai titik itu, jadilah orang Indonesia pada umumnya, yang selalu berjalan di sisi kiri. Telusuri dinding-dinding studio. Di sana akan kita temukan poster-poster konser layak koleksi milik komunitas Pearl Jam Indonesia dan Navicula. Itulah akar dari semua ini. Penulis, desainer, ilustrator, fotografer, hingga tokoh yang diceritakan dalam buku “Rock Memberontak”, semua berasal (dan masih berinteraksi) dari sana, Pearl Jam Indonesia. Poster-poster itu, tentu saja, dibuat dengan sangat baik oleh Iroel.

Melanjutkan langkah, kembali kita akan bertemu dengan ilustrasi buatan Davro. Dalam detil yang memesona, dia menyuguhkan “Mafia Hukum” dan “Dua Senja Pohon Tua”, yang merupakan materi dari dua buku yang berbeda. Melalui ilustrasi tersebut, kita akan disadarkan pada kenyataan bahwa musik punya dimensi non-bunyi yang sama detil dan menyihirnya, juga kaya makna. Dimensi itu, barangkali, hanya ada di ruang pameran seperti ini, bukan di industri musik sesungguhnya.

Hasil jepretan Rudolf Maurits, yang lebih dikenal sebagai Si Bobo, jadi menu berikutnya. Dari konser bawah tanah hingga konser di Monas yang megah, Bobo jeli merekam momen. Melalui lensa kameranya dia merekam, dengan akurat, betapa konser rock saat ini demikian lebar spektrum kualitasnya, hingga kita, sebagai penikmat, mustahil mengharapkan sebuah standar pengalaman tertentu. Konser besar bisa saja berakhir hambar. Penikmat musik, atau bahkan musisinya sekalipun, silakan terima nasib. Kualitas konser sepenuhnya berada dalam kuasa sponsor, para pemilik modal.

Lalu hadirlah interpretasi mengerikan Davro atas lagu “Broken Home” yang ditulis Che Cupumanik. Gambaran kaca-kaca yang luluh lantak dan tak mungkin disusun kembali bertabrakan dengan kehadiran gitar yang utuh seolah tak tersentuh. Pesannya satu, bahwa untuk bertahan dari carut marutnya keadaan, seorang musisi hanya perlu berpegang pada musiknya. Itu saja.

Dengan ajaib, Sigit D. Pratama menjadikan ilustrasi itu sebagai jembatan yang menghubungkan tak tentu arahnya konser rock yang ditangkap Bobo dengan keinginan terdalam kita akan suguhan konser rock sesungguhnya yang ditangkap oleh Adi. Dalam foto konser hitam putih Adi, kita melihat, merasakan, dan merindukan, konser rock yang panas, intim, dan penuh energi seperti milik Besok Bubar, Cupumanik, dan Navicula. Itulah konser-konser yang menginspirasi. Itu yang kita mau.

Narasi yang disusun apik oleh kurator, menyuguhkan dimensi-dimensi non-bunyi dari musik rock, membawa kita pada kesadaran puitis tentang kehilangan. Betapa kenikmatan kita selama ini sudah demikian banyak dipangkas. Dirampas!

Sebagai menu intelek, panelis yang terdiri dari Jimmy Ph. Paat (dosen UNJ), Sari Wulandari (dosen DKV Binus), dan Buddy Ace (jurnalis musik) akan membedah buku “Rock Memberontak”. Bersama, mereka akan membongkar dan menemukan kekurangan-kekurangan buku tersebut, agar dapat dijadikan pijakan bagi buku selanjutnya, yang barangkali tidak lagi akan ditulis oleh Eko Wustuk. Bedah buku itu akan digelar pada Sabtu, 23 Januari 2016, pukul 16.00 WIB, beberapa saat setelah pembukaan pameran.

Tak kalah intelek, penutupan pameran pada 5 Februari 2016, pukul 20.00 WIB, akan menyuguhkan bedah lagu. Che Cupumanik dan Raditya Adi Nugraha (videografer) akan membeberkan proses kolaborasi Che dengan Robi di kediaman Ian Zat Kimia di Bali, saat mereka menulis dan merekam lagu “Jiwa Yang Berani”. Lagu itu sendiri mereka tulis khusus untuk buku “Rock Memberontak”. Syukur-syukur Che berkenan membawakan lagu tersebut dalam format akustik, menemani draCill yang sudah menyatakan kesiapannya bergitar akustik membawakan beberapa nomor lagu milik Placebo.

Pameran musik “Rock Memberontak: Melawan Pemangkasan Kenikmatan”, meski terdengar sedikit absurd, barangkali adalah yang kita perlukan untuk mengubah keadaan. Bagaimana pun, keadaan tidak akan pernah bisa diubah dengan keluh kesah, melainkan dengan perbuatan. Pemberontakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun