Dalam heningnya pergantian hari, Dialog Dini Hari terdengar menenangkan. Bening denting gitar Dankie mengiringi vokalnya yang lembut dan muram. Bersama salah satu pasangan pemain bas dan drum terbaik di negeri ini, ia menceritakan perenungannya tentang cinta.
Dua album beredar di pasar dan satu lagi sedang dalam proses peluncuran, Dialog Dini Hari bukanlah kumpulan musisi rata-rata. Mereka unggul dalam bunyi maupun makna.
Sang Air, single terbaru yang diperdengarkan secara free di halaman Facebook mereka, membawa saya pada pemaknaan personal. Pemaknaan yang besar kemungkinannya 100% meleset dari makna sesungguhnya lagu ini.
Di telinga saya, yang belakangan ini capek mendengarkan omong kosong pejabat negeri, Sang Air adalah simbol dari kita, rakyat yang menderita. Rakyat yang tenang dalam diam di bagian awal lagu. Beriak dan gelisah pada verse kedua. Berdiri dan mengancam di chorus. Hingga akhirnya berderap melawan di seperempat bagian akhir lagu nan merdu!
Mengusap kening luruhkan benci, aku adalah Sang Air...
Ya, rakyat jelata memang hanya bisa menerima. Menelan semua kebohongan dan berdiam diri seolah tiada yang salah.
Jerihku adalah gelombang, kuasaku adalah samudera...
Tapi rakyat juga manusia. Dan manusia, pada akhirnya, selalu menemukan cara untuk bertahan. Senantiasa melawan.
Akulah Sang Air... Sang Air... Tram-tam-tam-ta-ra-ram... Tram-tam-tam-ta-ra-ram...
Dan ketika kami menjadi satu, butir-butir air perlawanan itu, kami berderap sebagai gelombang. Gelombang perubahan yang akan menelan semua kebohongan itu. Menyapu pantai kehidupan. Menuliskan sejarah baru. Sejarah kami sendiri. Sejarah rakyat jelata. Sejarah Sang Air...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H