Mohon tunggu...
Wuri Puspita
Wuri Puspita Mohon Tunggu... -

mahasiswi ilmu sosial dan politik di Universitas Gadjah Mada angkatan 2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masa Depan Politik Lokal di Indonesia

7 Juni 2011   23:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:45 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Sudah 12 tahun berlalu sejak pemerintahan era orde baru berakhir dan proses reformasi berjalan di Indonesia, rezim Orde Baru yang diyakini dalam 32 tahun kekuasaannya banyak memberi perkembangan dalam hal pembangunan ekonomi di Indonesia yang pada saat orde lama begitu terpuruk. Rezim yang juga memiliki beberapa kekurangan dibalik kesuksesannya tersebut diantaranya yaitu begitu kuatnya peran eksekutif di dalam menyelenggarakn pemerintah, KKN yang merajalela, kekerasan oleh militer terhadap warga sipil, hingga sampai kepada melemahnya rasa kebangsaan dan nasionalisme warga negara Indonesia pada saat itu. Faktor yang terakhir disebutkan tersebut merupakan refleksi dari apa yang terjadi di Indonesia pada rezim Orde baru yaitu terlalu menekankan pembangunan dan pemulihan ekonomi Indonesia tanpa diikuti oleh penguatan rasa memiliki negara dan bangsa Indonesia itu sendiri. Dengan adanya reformasi maka jalur untuk berkembangnya politik lokal di beberapa daerah di Indonesia menjadi lebih terbuka lebar, walaupun pada masa Orde Baru politik lokal di Indonesia juga sudah berkembang, namun perkembangan tersebut dapat dikatakan “semu” karena pemerintahan daerah pada masa Orba tersebut terkesan hanya sebagai pelengkap jalannya pemerintahan saat itu. Di dalam paper kali ini saya akan mencoba untuk melihat bagaimanakah dinamika politik lokal yang terjadi di Indonesia pasca Orde Baru hingga saat ini, serta bagaimanakah masa depan politik lokal di negara yang baru saja mengenal dan belajar demokrasi ini.

Pembahasan

Dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 (yang selanjutnya diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) serta PP No. 129 Tahun 2000 perihal pemekaran daerah menjadi payung hukum bagi daerah – daerah di Indonesia untuk memekarkan wilayahnya keluar dari daerah lama mereka. Jumlah pemekaran yang terjadi pun langsung melonjak tinggi sejak tahun 1999 sampai saat ini, terhitung sebanyak 7 provinsi, 129 kabupaten, serta 26 kota baru hasil pemekaran daerah terbentuk pada periode 1999 – 2006.[1] Lonjakan jumlah daerah hasil pemekaran yang terjadi hanya dalam kurun waktu 7 tahun tersebut dapat berarti banyak hal, disatu sisi banyaknya jumlah daerah yang ingin memekarkan dirinya dapat dipandang sebagai gambaran betapa tingginya kesadaran berpolitik dan demokrasi masyarakat di tingkat daerah sehingga mereka menginginkan adanya pemekaran wilayah, tetapi di satu sisi yang lain hal tersebut juga dapat dilihat sebagai momentum bagi para penguasa lokal maupun nasional untuk dapat memekarkan wilayahnya masing – masing agar kepentingan yang mereka perjuangkan dapat berhasil berjalan dengan adanya pemekaran tersebut (tujuan pragmatis). Tentu saja jika dipandang secara teoritis maka dengan adanya pemekaran wilayah seharusnya masyarakat yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dapat meningkat kesejahteraannya, lebih dapat bersikap dewasa di dalam kehidupan berbangsa yang heterogen, serta dapat menikmati akses pelayanan publik secara lebih dekat dibandingkan sebelumnya. Namun banyak ditemukan kasus di beberapa daerah perihal keefektifan pemekaran yang dilakukan, beberapa daerah hasil pemekaran wilayah justru menemui stagnansi bahkan kemunduran dalam bidang kesejahteraan ekonomi maupun keamanan masyarakatnya. Sumber – sumber pendapatan daerah (PAD) yang berkurang karena adanya pemekaran misalnya, menjadi contoh salah satu penyebab stagnansi dan kemunduran kesejahteraan ekonomi di beberapa wilayah, kemudian adanya pengelompokkan wilayah berdasarkan suku, agam, ataupun ras tertentu menjadi pemicu timbulnya konflik baru di daerah – daerah hasil pemekaran dengan daerah yang berbatasan dengan daerah baru tersebut. Minimnya aparatur negara yang profesional juga merupakan penghambat bagi terciptanya pelayanan publik yang dekat dengan masyarakat, di beberapa daerah dapat ditemukan kasus kurangnya aparatur negara tersebut sehingga pelayanan publik pun menjadi tersendat.

Walaupun begitu terdapat beberapa daerah yang dapat dikatakan berhasil dengan adanya pemekaran di wilayahnya, seperti yang tertulis di dalam buku “Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi” karya Tri Ratnawatiyaitu Provinsi Banten yang berpisah dengan Provinsi Jawa Barat, Provinsi Gorontalo yang berpisah dengan Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Maluku Utara yang berpisah dengan Provinsi Maluku, dan Provinsi Bangka Belitung yang berpisah dengan Provinsi Sumatera Selatan.[2] Keberhasilan daerah – daerah tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya yaitu adanya sumber – sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang wilayah tersebut miliki sehingga keberlangsungan ekonomi daerah tersebut tidak sepenuhnya bergantung pada DAU dari pemerintah, kemudian tersedianya SDA yang memadai sehingga Bagi Hasil yang terjadi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dapat terlaksana, dan juga kesiapan para masyarakat serta aparatur negara di wilayah – wilayah baru tersebut semakin mendorong terciptanya keberhasilan di daerah – daerah yang telah disebutkan tadi.

Dari beberapa perbandingan yang telah disebutkan diatas maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya pemekaran wilayah dapat memicu terciptanya kemajuan di wilayah – wilayah hasil pemekaran, politik lokal yang terdapat di daerah – daerah pun dapat tumbuh secara baik dan rasa kebangsaan tumbuh secara perlahan – lahan. Tetapi fakta yang terjadi sampai saat ini berbanding terbalik dengan semua pandangan teoritis tersebut. Apa yang terjadi saat ini di Indonesia adalah maraknya pemekaran wilayah yang hanya didasarkan pada kepentingan sekelompok penguasa ataupun pengusaha tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat di wilayah itu sendiri. Politik lokal di Indonesia sampai saat ini bahkan menjadi sebuah “pisau bermata dua” yang di satu sisi diyakini dapat memperkaya dan memperkuat keragaman bangsa Indonesia, tetapi di sisi lain menjadi penghancur bagi terciptanya rasa kebangsaan itu sendiri. Pengelolaan desentralisasi – yang menjadi alat untuk “memainkan” politik di tingkat lokal – di Indonesia masih jauh dari sempurna. Mulai dari persyaratan pemekaran wilayah yang terlalu mudah untuk dipenuhi sampai pada aspek – aspek praktis seperti yang sudah disebutkan diatas menjadi penyebab mengapa sampai dengan saat ini Indonesia belum menemukan arti kebangsaannya sendiri dan mengapa sampai saat ini fenomena – fenomena politik di tingkat lokal masih dapat dikatakan jalan ditempat secara umum.

Masa depan Politik Lokal di Indonesia sebenarnya dapat berakibat baik ataupun buruk kedepannya. Kecakapan dari pemerintah untuk mengatur tata kelola desentralisasi beserta aspek – aspek lainnya dan juga kedewasaan masyarakat Indonesia sendiri lah yang akan menentukan apakah Politik Lokal nantinya akan membawa kebaikan atau keburukan bagi negara ini. Menurut saya, sebenarnya politik lokal di Indonesia dapat berkembang ke arah yang lebih baik. Desentralisasi menurut pandangan saya dapat membawa perubahan yang besar nantinya untuk negara ini, bagaimana seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa adanya animo yang tinggi dari daerah – daerah di Indonesia untuk memekarkan wilayahnya sebenarnya merupakan satu bukti bahwa – terlepas dari ada atau tidaknya niat – niat buruk dari penguasa – kesadaran untuk memulai tata kelola pemerintahan di tingkat lokal sudah tumbuh. Suatu kebijakan tentunya tidak akan dapat berjalansecara efektif tanpa adanya kesadaran dari pelaku maupun pembuat kebijakan itu sendiri untuk mensukseskan kebijakan yang telah dibuat.

Jika dipandang dari segi keefektifan penerapan desentralisasi bagi jalannya pemerintahan, mungkin dapat dikatakan bahwa sistem desentralisasi yang ada saat ini justru membuat beban yang harus ditanggung oleh pemerintah nasional menjadi membengkak jumlahnya, karena adanya dana – dana yang harus disalurkan oleh pemerintah nasional terhadap daerah – daerah di Indonesia melalui DAU (Dana Alokasi Umum) ataupun DAK (Dana Alokasi Khusus). Kemudian jika dipandang dari segi keamanan dan rasa persatuan bangsa, jika penerapan desentralisasi yang dilakukan akan terus seperti saat ini maka bukan tidak mungkin bangsa Indonesia – bangsa yang sebenarnya belum terbentuk secara sempurna – akan benar – benar musnah karena konflik berkepanjangan antar daerah, dalam memperebutkan perbatasan wilayah misalnya. Tentunya pemerintah harus segera menanggapi hal – hal seperti itu agar kedepannya politik lokal yang diharapkan bisa lahir dan berkembang di daerah – daerah dapat tumbuh dengan baik. Proses penyatuan bangsa yang juga belum pernah selesai dilakukan sejak era kolonial sampai saat ini pun harusnya menjadi perhatian dari pemerintah. Saya berpendapat bahwa sebenarnya sebagus apapun regulasi ataupun sehebat apapun instansi yang mengatur jalannya desentralisasi di tingkat daerah tidak akan mempunyai kekuatan dan kontribusi yang berarti untuk meminimalisirkan konflik yang terjadi antar daerah, antar suku, agama, dan juga ras tanpa adanya rasa persatuan di dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Jika rasa kebangsaan sudah dimiliki oleh masing – masing daerah di Indonesia, rasa saling memiliki antara satu daerah dengan daerah yang lain, antara elemn masyarakat yang satu dengan elemen yang lainnya, maka sesungguhnya desentralisasi jelas akan memberikan dampak yang positif untuk kemajuan Indonesia dalam bidang ekonomi maupun politik itu sendiri. Tetapi apa yang terjadi saat ini tidak seperti itu, disamping dari masing belum terbentuknya bangsa Indonesia secara menyeluruh, pusat perhatian pemerintah pun tidak dapat dipungkiri hanya mengedepankan aspek teknis dan teoritis dari apa yang disebut dengan desentralisasi. Walaupun banyak kekurangan misalnya, namun UU No. 32 Tahun 2004 sudah dapat dikatakan mencakup aspek – aspek yang penting di dalamnya untuk mengatur jalannya desentralisasi, kemudian para aparat pemerintah ataupun kaum teknokrat yang berkualitas juga sudah mulai bermunculan satu per satu sebagai pelaksana ataupun pengawas jalannya desentralisasi di daerah – daerah.

Apa yang dilupakan oleh pemerintah sebenarnya adalah suatu hal yang seperti sudah disebutkan diatas, adalah hal yang sangat penting dan diperlukan adanya dalam kehidupan bernegara dimanapun, yaitu rasa memiliki antar elemen masyarakat atau dapat disebut juga pembentukan bangsa. Seharusnya pemerintah dapat dengan rata membagi konsentrasi antara pembentukan bangsa di satu sisi dengan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat di sisi yang lain. Konsentrasi yang paling utama harus dijalankan oleh pemerintah nasional adalah “bagaimana caranya agar tiap – tiap daerah di Indonesia merasa saling memiliki dan terciptanya bangsa Indonesia yang sesungguhnya” dan kemudian masalah peningkatan kualitas hidup masyarakat dapat pemerintah nasional delegasikan wewenangnya kepada masing – masing daerah dengan tetap mengawal dan mengawasi jalannya proses tersebut. Desentralisasi jelas diperlukan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah – daerah yang selama ini kurang mendapat perhatian dan layanan dari pemerintah, juga untuk meningkatkan ekonomi suatu daerah maka desentralisasi mutlak diperlukan adanya. Seperti tujuan awal dari diterapkannya desentralisasi di Indonesia, yaitu untuk memajukan dan meratakan pembangunan ekonomi di daerah, seharusnya sampai saat ini konsentrasi utama dari diadakannya desentralisasi adalah dalam aspek – aspek tersebut. Bagaimana nantinya masing – masing daerah dapat secara otonom menjalankan pemerintahan dan perekonomian di daerahnya masing – masing sehingga lambat laun perekonomian nasional pun akan ikut terdorong untuk menjadi lebih berkembang. Kemudian di satu sisi pemerintah pusat tetap mengawasi dan memberikan pengawalan terhadap jalannya pembangunan tersebut disamping menjalankan tugas utamanya yaitu membentuk bangsa Indonesia. Yang terlihat saat ini adalah terlalu luasnya cakupan kerja dari pemerintah nasional walaupun memang sudah diterapkannya sistem desentralisasi di Indonesia, namun tampaknya pemerintah nasional masih memiliki kontribusi dan campur tangan yang cukup besar terhadap jalannya pemerintahan secara keseluruhan di berbagai daerah. Kemudian juga masih begitu mudahnya suatu daerah mengajukan proposal untuk memekarkan wilayahnya menjadi salah satu masalah tersendiri bagi pemerintah. Jelas saja bahwa suatu daerah yang baru dimekarkan pasti memiliki suatu masalah yang harus diselesaikan dengan wilayah tetangga, admnistrasi, dan hal – hal lainnya, jika masalah – masalah baru tersebut muncul secara tiba – tiba dan dalam jumlah yang besar pasti akan menyulitkan pemerintah sendiri untuk mengawasi jalannya desentralisasi di daerah – daerah yang ada. Padahal atas izin pemerintah sendiri lah maka suatu daerah dapat memekarkan wilayahnya. Dibutuhkannya syarat – syarat yang lebih tepat guna untuk pemekaran dan juga peninjauan kembali terhadap beberapa wilayah hasil pemekaran yang dianggap tidak berhasil harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi masalah – masalah yang ada selama ini. Mengutip dari tulisan Tri Ratnawati dalam bukunya yang berjudul Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksimaka terdapat beberapa solusi alternatif untuk mengurangi masalah di daerah baruhasil pemekaran menurut beliau, yaitu :

1.Revisi UU No. 32/2004 terutama dalam segi pengetatan persyaratan pemekaran dan juga harus adanya periode percobaan bagi daerah – daerah yang akan dimekarkan agar dapat diketahui seberapa siapnya daerah tersebut untuk menjadi daerah otonom.

2.Pembentukan daerah baru harus melibatkan Gubernur setempat agar dapat membantu menyelesaikan masalah yang mungkin nantinya akan muncul.

3.Harus adanya grand strategy atau cetak biru reformasi kewilayahan agar nantinya dapat diketahui seberapa banyak seharusnya jumlah maksimal provinsi, kabupaten/kota yang ada di Indonesia.

4.Penetapan pemekaran suatu daerah hanya dilakukan oleh pihak pemerintah saja tanpa harus melalui DPR dan DPD, karena menurut beliau pemerintah memiliki data dan sumber daya yang memadai dan juga agar terciptanya check and balances antara pihak legislatif dan eksekutif maka disini peran DPR dan DPD hanya mengawasi jalannya pemekaran yang disetujui oleh pemerintah.

5.Restrukturisasi tim DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah) yang saat ini lebih banyak diisi oleh pejabat.

6.Harus adanya peningkatan fungsi dan kerja dari DPD sehingga DPD dapat bekerja secara lebih optimal

7.Prioritas utama dari pemekaran wilayah haruslah daerah – daerah yang ada di perbatasan dan juga daerah – daerah yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat.

8.Harus diperhatikannya faktor – faktor non ekonomi yang berkembang di masyarakat lokal agar nantinya pemekaran yang terjadi tidak menimbulkan potensi perpecahan antar ras, suku, maupun agama yang besar.

9.Pembatalan pembentukan kecamatan baru yang sering dilakukan oleh daerah – daerah melalui peraturan daerahnya masing – masing.

10.Harus adanya kesadaran dari para elit lokal untuk lebih mementingkan kalkulasi rasional dibandingkan dengan motif emosional belaka.[3]

Secara pribadi saya setuju dengan sebagian besar solusi alternatif kebijakan yang diusulkan oleh Tri Ratnawati diatas. Tetapi saya memandang bahwa masalah utama yang harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah pusat maupun lokal untuk saat ini adalah “bagaimana caranya untuk membangun rasa kebangsaan yang kuat di Indonesia”. Jelas sekali bahwa suatu rasa kebangsaan yang kuat pasti nantinya akan menimbulkan keharmonisan dalam kehidupan bernegara, karena setiap daerah nantinya akan menyadari bahwa walaupun mereka memiliki perbedaan denga daerah – daerah lain tetapi perbedaan tersebut adalah wujud dari satu kesatuan bangsa yang disebut bangsa Indonesia. Masa depan politik lokal di Indonesia tidak sepenuhnya hitam dan juga tidak akan sepenuhnya putih, tergantung bagaimana nantinya pemerintah dapat mengelola kebijakan – kebijakan yang ada. Peran elemen masyarakat yang lain dan juga partai politik dibutuhkan disini untuk nantinya membantu pemerintah menigkatkan kesadaran kebangsaan negara Indonesia dalam masyarakat. Walaupun begitu untuk dapat mencapai masa depan yang lebih baik jelas harus dilakukan perubahan secara total terhadap praktek pemekaran daerah yang saat ini sedang berlangsung, yang dapat dimulai dari merevisi UU No. 32 Tahun 2004 misalnya sebagai dasar pedoman pembentukan daerah baru. Jika hal – hal seperti itu dapat diperbaiki dan diganti dengan sistem ataupun peraturan yang lebih baik, maka desentralisasi dan masa depan politik lokal di Indonesia akan dapat berkembang ke arah yang lebih baik kedepannya.

Daftar Pustaka

Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

[1] Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 13

[2] Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 22

[3] Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 36 - 41

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun