PENDAHULUAN
Pernahkan kita sadari bahwa sesungguhnya wanita itu punya kekuasaan juga? Mungkin kita tidak pernah menyadarinya, kita lihat ibu kita, beliau bisa dikatakan sebagai figure yang sangat berkuasa dalam rumah tangga[1]. Ibu menggunakan kekuasaanya sebagai pengatur jalannya keluarga, seperti berbelanja, mengatur waktu tidur, memasak, mendidik dan mendampingi anak, sampai mengerjakan semua urusan kerumahtanggan. Coba kita ingat kembali, kita semua pasti kenal dan sekali dengan sosok ibu. Di rumah, tiap apapun yang kita lakukan, ibulah yang selalu berkuasa atas kita, beliau selalu bisa membujuk kita untuk belajar, makan dan bahkan melarang kita melakukan sesuatu. Dengan bujukan itu, ibu selalu bisa menguasai kita, bujukan tersebut sesungguhnya merupakan dimensi kekuasaan yang dimiliki ibu, kita tidak pernah menyadari, bahkan ibu sendiri tidak menganggap itu sebagai suatu kekuasaan. Itu semua kodrat dan naluri alamiah keibuan yang dimiliki wanita. Melihat gambaran cerita seperti diatas, bukankah kita semua melihat bahwa perempuan juga bisa berkuasa, bisa memberdayai anaknya, dengan sifatnya yang keibuan, kesabaran dan penuh kelembutan bisa menghasilkan sosok anak yang berhasil. Dengan begtu tidak menutup kemungkinan juga kan bila wanita duduk dalam kancah politik, akan membawa suasana yang minim kekerasan dan otoriter macam laki-laki.
Kemudian apa yang sebenarnya membuat masyarakat cenderung menganggap remeh keberadaan wanita dalam politik, atau kemampuan wanita dalam mengelola kekuasaan. Coba kita ulas kembali mengenai pola pikir masyarakat tentang gender. Gender itu berbeda dengan jenis kelamin (sex). Sudah jelas bila jenis kelamin merujuk pada organ vital/ biologis antara laki-laki dan perempuan, sedangkan gender adalah seperangkat peran yang, seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin yang dibentuk oleh faktor sosial[2]. Seringkali gender menjadi sebuah pengekang bagi wanita, dimana dia kurang bebas dalam mengaktualisasi dirinya. Terlalu banyak pandangan stereotype dari masyarakat yang sudah tertanam dari jaman dahulu bahwa wanita tidak bisa sekuat dan tidak punya kekuasaan seperti laki-laki. Masyarakat selalu terpaku pada pemahaman kodrati wanita yang hanya sebagai makhluk lemah dan butuh perlindungan, hanya berguna sebagai “konco wingking”, hal tersebut sungguh menempatkan wanita dalam posisi yang dirugikan. Padahal wanitapun seharusnya punya kesempatan untuk menunjukkan kapabilitas mereka. Perempuan berhak untuk menjadi apa saja, dimana saja, dan berprestasi layaknya lelaki. Saya mencoba mendobrak penilaian masyarakat tersebut dari kacamata feminis.
Feminism, adalah ideologi pembebasan perempuan, yang meyakini bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena konstruksi gender[3].Feminism muncul sebagai suatu gerakan dan himpunan gagasan yang ditujukan untuk meningkatkan status dan kekuasaan perempuan. Ia mempertanyakan hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, yang secara konvensional dipertahankan sebagai ‘hal yang alami’[4]. Sebenarnya perjuangan tentang gender, dimana wanita selalu menjadi warga kelas dua, bukan hanya dalam ranah karir/ pekerjaan, banyak sekali akibat diskriminasi gender wanita mengalami kekerasan, pelecehan, pengekangan dan penindasan. Namun pada makalah ini akan saya fokuskan pada fenomena wanita dan politik, dimana jaman sekarang yang sudah memasuki tahap emansipasi, banyak wanita yang membuktikan dirinya mampu bersaing dan pemimpin layaknya laki-laki.
PEMBAHASAN
Anggapan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat kita adalah bahwa wanita itu mahluk lemah dan butuh perlindungan, sedangkan laki-laki adalah mahluk kuat penuh kuasa. Anggapan tersebut sudah terlalu kolot apabila diaplikasikan dalam abad 21 ini, apalagi sudah sejak lama wanita punya hak untuk sejajar dengan lelaki, atau kita kenal dengan emansipasi. Tidak semua orang berpikir modern seperti wanita juga boleh berkarir, ada saja masyarakat yang masih bersikukuh pada pemikiran spectrum feminitas kuno dimana kemanjaan, kesimpatikan, kepekaan terhadap kebutuhan sesame, saling memahami, mudah terharu, hangat, lembut, keibuan, ramah, pasrah, periang, pemalu, mudah memberi pujian, setia, tidak berbicara kasar, mudah terbujuk, atau bahkan kekanak-kanakan[5]. Masyarakat dengan pola pemikiran feminitas kuno memiliki stereotip bahwa wanita tidak mengenal kekuasaan. Karena feminitas menurut mereka tidak memuat ketegaran, ketegasan dan keperkasaan.
Apa yang terlintas di pikiran kita kalau melihat foto tersebut? Itu adalah foto bupati Bantul periode 2010-2015 yaitu dengan Ibu Hj. Sri Surya Widati atau lebih dikenal masyarakat sebagai Ibu Ida Samawi sebagai bupati dan Bapak Drs. Sumarno sebagai wakilnya. Ibu Ida adalah bupati wanita pertama di bantul. Ini merupakan bukti nyata kan bahwa wanita juga bisa menjadi pemimpin dan sukses layaknya pria. Masih banyak juga wanita-wanita yang terjun di kancah politik selain Bu Ida. Hal yang selanjutnya menghantui pikiran kita setelah kekaguman terhadap Bu Ida adalah bagaimana bisa beliau mendobrak tradisi dan stereotype masyarakat tentang pemahaman wanita tidak mampu berkuasa.
Dalam pemahaman masyarakat kolot, politik dan segala perilakunya dipandang sebagai aktivitas maskulin, dimana sikap kemandirian, agresif dan bebas berpendapat, sehingga tabu bila seorang wanita punya keinginan untuk terjun ke dunia politik. Namun semua itu harus kita hilangkan, abad 21 ini banyak wanita yang berani mendobrak tradisi, mengejar mimpinya tanpa peduli tradisi diskriminasi gender. Apalagi sekarang mulai banyak digencarkan tentang affirmative action yang sengaja untuk memancing wanita supaya maju dan menyejajarkan dirinya sama seperti lelaki. Seperti tindakan memberi quota 30% bagi wanita untuk duduk di parlemen, walaupun terkesan belum sejajar seperti quota pria, namun setidaknya perlahan-lahan ide ini akan membangun semangat emansipasi wanita. Affirmative action menurut saya memang tidak begitu efektif, belum adil juga bila dirasa. Kenapa harus dibatasi 30% untuk perempuan, kalau memang berniat memberi kesempatan wanita untuk memperjuangkan kemampuannya. Memang pada kenyataanya affirmative action belum banyak menarik keberanian wanita untuk terjun di kancah politik, itu karena tidak dibarengi dengan pandangan masyarakat dan terutama laki-laki yang masih memandang rendah wanita. Wanita itu memang lemah lembut tapi bukan berarti dia lemah dalam hal otak dan kemampuan.
Sungguh kagum bila melihat wanita yang berani mendobrak tradisi, kehebatan dan keberanian wanita itu mungkin dipandang sebagai suatu bentuk “tindakan kepepet” karena desakan faktor ekonomi. Tapi bukan itu fokus perhatian saya, kesetaraan, penyeragaman dan pembuktian bahwa wanita itu juga bisa berkuasa.
Bila melihat bagan diatas memang wanita belum bisa sejajar sepenuhnya dengan laki-laki. Itu karna masih beredar stereotype di masyarakat akan ketabuan wanita untuk menjadi pemimpin. Namun kembali ke pemikiran optimis bahwa perlahan-lahan akan semakin banyak tumbuh wanita yang berani mendobrak tradisi untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi yang terbaik.
Coba kita pandang wanita dan kekuasaan dalam perspektif feminis[8], dimana metode berkuasa wanita tidak kalah dengan pria. Kekuasaan dalam perspektif feminis adalah kekuasaan yang penuh kasih sayang. Dimana dalam kekuasaanya, wanita tidak akan berfokus pada kepentingan pribadinya semata, namun justru diperjuangkan untuk mencapai tujuan. Dalam menjalankan kekuasaanya wanita bisa saja terlihat tidak begitu maskulin, dimana dalam pengelolaan kekuasaanya, akan diasosiasikan seperti pola pengasuhan ibu kepada anak-anaknya seperti: kekuasaan untuk memanipulasi, kekuasaan pribadi yaitu suatu kemampuan dimana wanita mampu juga menggerakkan orang lain dankekuasaan ketidakberdayaan.
Bila berbicara tentang wanita sebagai seorang pemimpin, sebenarnya sudah hal baru lagi. Di indonesia, pada jaman penjajahan sering kita dengar tentang wanita-wanita yang berani mendobrak tradisi dan menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan memperjuangkan kepentingan kaum sesamanya. Lain lagi di jaman sekarang, di era reformasi ini sudah banyak perempuan yang sadar dan berani memperjuangkan haknya atas kesetaraan dengan laki-laki, mereka sudah berani menduduki bidang sosial, politik, kesehatan, industri sampai pendidikan. Berarti tidak ada salahnya kalau pada abad 21 ini banyak bermunculan wanita di kancah politik, wanita berkuasa. Tak sulit sekarang menemukan wanita yang menjadi kuli, menjadi sopir dan bahkan menjadi preman yang itu semua diketahui sebagai pekerjaan kaum lelaki. Lalu apa bedanya dengan menjadi seorang pemimpin di kancah politik, ada argumen feminitas kuno dimana tabu bagi wanita untuk bekerja atau melakukan hal yang tidak sesuai kodratnya.
Berikut adalah peluang dan hambatan keterlibatan perempuan dalam perlemen[9]:
Peluang dan hambatan dapat dilihat berdasarkan analisis peluang dan hambatan dengan model SWOT (Strength, Weakness, Oppurtunity, dan Treat) atau KEKEPAN (Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman)
1.Strength (kekuatan): Jumlah perempuan indonesia (50,3%) ebih besar dari laki-laki (49,7%); Adanya dukungan dan motivasi dari pemerintah untuk lebih memberdayakan perempuan; Kaum perempuan secara logika lebih mampu menyuarakan aspirasi dan suara perempuandengan lebih baik daripada laki-laki karena lebih banyak bicara dengan hati daripada laki-laki dengan rasio.
2.Weakness (kelemahan): Budaya masyarakat yang masih menganggap bahwa perempuan tabu untuk berkiprah di dunia politik; Kaum perempuan lebih banyak menggunakan hati/perasaan sehingga dalam hal mengambil keputusan kurang berani; Bagi perempuan yang sudah berkeluarga, mempunyai kecenderungan ”apa kata suami”, sehingga apabila menjadi anggota legislatif kadang aspirasi kurang akurat; Jumlah perempuan yang berpendidikan tinggi, yang berarti mempunyai tingkat intelektual yang lebih baik ternyata lebih sedikit dari laki-laki.
3.Opportunity (peluang): Secara de jure yang ada dalam UU No. 12 tahun 2003 tentang pemilu, pasal 65 ayat (1) menetapkan tentang perwakilan perempuan sebesar 30% di lembaga legislatif; Semakin banyak organisasi perempuan yang dapat menampung aspirasi perempuan; semakin banyak parpol yang mendaftarkan diri untuk mengikuti pemilu 2004, sehingga perempuan mempunyai banyak pilihan untuk menyalurkan aspirasinya di dunia politik; Terbentuknya berbagai jaringan organisasi perempuan yang peduli terhadap suara perempuan.
4.Treath (ancaman/hambatan): Kultur budaya patriarkhis; Ketidakberdayaan perempuan untu meninggalkan urusan rumah tangga; perempuan di pedesaan masih tertinggal pendidikannya; policy partai kurang responsif terhadap eksistensi perempuan dan kadang jauh dari perspektif perempuan; Media massa kurang mengekspos potensi perempuan.
Dengan melihat peluang dan hambatan tersebut, kita harus sadar akan potensi perempuan dan memanfaatkan peluang yang ada. Kelemahan dan hambatan harus disampingkan. Berikut ini adalah strategi pencapaian kuota 30% perempuan dalam parlemen[10] adalah melalui:
·Perubahan paradigma kekuasaan, kalau dulu ”kekuasaan terhadap yang lain”, sekarang ”kekuasaan bersama yang lain”
·Menghimbau bahkan mengharuskan tiap parpol agar mencantumkan kriteria seleksi kandidat secara transparan dan adil gender sehingga tidak diskriminatif terhadap kandidat perempuan.
·Menghimbau dan mengharuskan tiap parpol agar menerapkan kuota 30% bagi pencalonan kandidat perempuan.
·Menghimbau dan mengharuskan parpol agar mencantumkan nama kandidat perempuan pada urutan atas atau ziping dengan nama kandidat laki-laki.
Sekali lagi sebagai seorang yang menganut feminism, saya ingin melihat semua wanita punya kesempatan dan kelebihan utuk maju dan mengaktualisasikan dirinya , menunjukkan pada dunia, masyarakat dan kaum laki-laki bahwa kemampuan mereka sama. Kurangnya keberanian dan partisipasi politik dari kaum perempuan dimungkinkan karena mereka dan masyarakat luas belum mengatahui dampak feminism dalam politik. Bila dicermati dampak perempuan dalam politik justru membawa warna dalam dunia politik, yaitu feminism berhasil membangun kemandirian perempuan, pengakuan terhadap kesamaan (secara formal), lahirnya kesejahteraan yang lebih pro perempuan, mengurangi tirani gender, dan reward terhadap perempuan mulai meningkat walaupun masih terlalu sedikit[11]. Sebaiknya dampak-dampak yang bisa mendorong para perempuan untuk terjun dalam ranah politik ini disosialisasikan missal dalam kegiatan darmawanita, pengajian atau kegiatan perempuan lainnya, kita semua sebagai wanita merasa perlu dan butuh sosok pemimpin yang bisa mengaktualisasikan kebutuhan dan kebijakan yang pro akan nasib wanita
KESIMPULAN
Makalah berjudul Mendobrak Tradisi: Kiprah Wanita Dalam Meramaikan Panggung Politik berusaha menata ulang pikiran masyarakat tentang diskriminasi gender, dimana hal tersebut membuat wanita berada dalam perasaan terkekang dan dibatasi ruang ekspresifnya. Bila berbicara tentang wanita sebagai seorang pemimpin, sebenarnya sudah hal baru lagi. Di indonesia, pada jaman penjajahan sering kita dengar tentang wanita-wanita yang berani mendobrak tradisi dan menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan memperjuangkan kepentingan kaum sesamanya, seperti Christina Martha Tiahahu, R.A. Kartini, Tjut Nya’ Dien, dll. Lain lagi di jaman sekarang, di era reformasi ini sudah banyak perempuan yang sadar dan berani memperjuangkan haknya atas kesetaraan dengan laki-laki, mereka sudah berani menduduki bidang sosial, politik, kesehatan, industri sampai pendidikan.
Berarti tidak ada salahnya kalau pada abad 21 ini banyak bermunculan wanita di kancah politik, wanita berkuasa. Memang selama ini partisipasi wanita dalam parlemen hanya diberi quota 30% yang merupakan suatu affirmative action, tapi itu saja belum dirasa memihak feminism karena wanita masih dibatasi, sedang laki-laki tidak ada batasan. Tak sulit sekarang menemukan wanita yang menjadi kuli, menjadi sopir dan bahkan menjadi preman yang itu semua diketahui sebagai pekerjaan kaum lelaki. Lalu apa bedanya dengan menjadi seorang pemimpin di kancah politik, ada argumen feminitas kuno dimana kemanjaan, kesimpatikan, kepekaan terhadap kebutuhan sesame, saling memahami, mudah terharu, hangat, lembut, keibuan, ramah, pasrah, periang, pemalu, mudah memberi pujian, setia, tidak berbicara kasar, mudah terbujuk, atau bahkan kekanak-kanakan[12]. Masyarakat dengan pola pemikiran feminitas kuno memiliki stereotip bahwa wanita tidak mengenal kekuasaan. Karena feminitas menurut mereka tidak memuat ketegaran, ketegasan dan keperkasaan. Terbukti kan bahwa argumen kolot tidak relevan lagi dengan kenyataan yang ada sekarang.
Para perempuan indonesia harus berani mengambil kesempatan untuk berkompetisi. Yang membedakan laki-laki dan perempuan hanya fisik saja, bukan kemampuan. Banyak wanita yang perkasa di luar sana. Mari kita perjuangkan kesetaraan dan buktikan bahwa wanita juga bisa memimpin.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Cantor, Dorothy W, dkk. 1998. Women In Power: Kiprah Wanita Dalam Dunia Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Moss,Julia Cleves. 2007. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Marsh, David and Gerry Stoker. 2010. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Perkuliahan:
Diambil dari power point perkuliahan Metodologi Ilmu Politik berjudul Feminisme.
Internet:
Diunduh dari http//:securitystudiesupdate.files.wordpress.com/2009/09/22.jpg?w=284&h=183 pada Rabu 5 Januari 2010 pukul 20.15 WIB.
Diunduh dari http//:securitystudiesupdate.files.wordpresss.com/2009/09/11.jpg?w=300&h=201. Pada Rabu 5Januari 2010 pukul 21.18 WIB.
Diunduh dari http://www.menarame.co.cc/2007/09/kuota-30-perempuan-di-parelemen.html. pada Sabtu 8 Januari 2010 pukul 19.15 WIB.
[1] Dorothy W. Cantor, dkk. 1998. Women In Power: Kiprah Wanita Dalam Dunia Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 71.
[2] Julia Cleves Mosse. 2007. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 3.
[3] Diambil dari power point perkuliahan Metodologi Ilmu Politik berjudul Feminisme.
[4]David Marsh and Gerry Stoker. 2010.Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung: Penerbit Nusa Media. hal. 131.
[5] Dorothy W. Cantor, dkk. 1998. Women In Power: Kiprah Wanita Dalam Dunia Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hal. 47.
[6] Diunduh dari http//:securitystudiesupdate.files.wordpress.com/2009/09/22.jpg?w=284&h=183 pada Rabu 5 Januari 2010 pukul 20.15 WIB.
[7] Diunduh dari http//:securitystudiesupdate.files.wordpresss.com/2009/09/11.jpg?w=300&h=201. Pada Rabu 5Januari 2010 pukul 21.18 WIB.
[8] Dorothy W. Cantor, dkk. 1998. Women In Power: Kiprah Wanita Dalam Dunia Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 75.
[9] Diunduh dari http://www.menarame.co.cc/2007/09/kuota-30-perempuan-di-parelemen.html. pada Sabtu 8 Januari 2010 pukul 19.15 WIB.
[10]Diunduh dari http://www.menarame.co.cc/2007/09/kuota-30-perempuan-di-parelemen.html. pada Sabtu 8 Januari 2010 pukul 19.15 WIB.
[11] Diambil dari power point perkuliahan Metodologi Ilmu Politik berjudul Feminisme.
[12]Dorothy W. Cantor, dkk. 1998. Women In Power: Kiprah Wanita Dalam Dunia Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hal. 47.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H