Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Negeri Pasir Angin, Banten: Kisah yang Belum Terbaca

17 Februari 2023   03:27 Diperbarui: 17 Februari 2023   19:13 2039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Tua Pasir Angin dengan tiang-tiang kayu penyangganya. Sumber : Dok. pribadi, 2022

Dua jam perjalanan dari Jakarta menuju Banten, bukanlah perjalanan panjang dan melelahkan, apalagi bagi kami yang terbiasa melintas di jalanan di wilayah timur Indonesia. Jalanan, seringkali melintasi desa, kampung dan hutan serta perbukitan. 

Sebaliknya, Jakarta-Banten dengan kendaraan darat, melewati jalan aspal dan padatnya lalu lintas jalanan ibukota, tentu bukan sensasi yang mengesankan. Biasa saja, bahkan terasa sedikit membosankan. 

Begitu juga, pikiran kami terutama saya yang baru pertama kalinya akan menginjakkan kaki di Tanah Jawara, Banten. 

Di kepala saya, Banten sama saja Jakarta, gedung-gedung menjulang di tengah kota, kepadatan lalu lintas di jalan raya, dan beberapa kesemrawutan di pinggiran kota. 

Ah, ternyata Banten cukup berbeda dengan Jakarta. Meskipun berjarak tak begitu jauh,  tapi wajah berbeda begitu rupa. Itu kesan saya, setelah menginjakkan kaki di Kota Serang. Ini Kota Serang, Banten atau Kota Masohi, di Pulau Seram, Maluku ya? Begitu saya bicara dalam hati. 

Mungkin kenangan di Maluku begitu melekat, sehingga saya membandingkan dalam hati, Kota Serang dengan Kota Masohi di Pulau Seram, Provinsi Maluku. Iya, walaupun memang ada tradisi tutur masyarakat di salah satu satu negeri, di pesisir selatan Pulau Seram, bahwa di masa lalu punya hubungan sejarah dengan Serang, Banten. 

Jalan masuk menuju Masjid Pasir Angin di Desa Pager Batu, yang terletak di wilayah perbukitan, Kabupaten Pandeglang. Sumber: Dokumen pribadi, 2022
Jalan masuk menuju Masjid Pasir Angin di Desa Pager Batu, yang terletak di wilayah perbukitan, Kabupaten Pandeglang. Sumber: Dokumen pribadi, 2022

Di dalam Kitab Negarakertagama juga disebutkan, Pulau Seram dengan sebutan Seran. Soal sejarah selalu saja ada misteri yang tak terungkap, selalu saja ada pertanyaan yang tak terjawab dan selalu saja ada peristiwa dan kisah yang terlupa. Bukankah demikian? 

Kembali soal Kota Serang, Banten. Aih, saya tak ingin membanding-bandingkan antara Jakarta dengan Banten, yang hanya berjarak 2 jam perjalanan darat yang mulus. 

Banten, adalah kota dengan aura sakral yang terus melekat, magis dan berkharisma. Aura kejayaan masa lalu

Aura itu terasa sanga melekat dan tiba-tiba menyusup ke dalam ubun-ubun kepala saya. Membuat saya berimajinasi tentang Banten di masa lalu. Para jawara dan debus, seperti menghadang di depan mata. 

Dalam sejarah, Banten disebut sebagai penguasa maritim, menguasai jaringan perdagangan lada, di wilayah nusantara bagian barat. Kota kyai, santri dan jawara yang masyur. Pusat niaga dan Islamisasi yang ramai dengan gerak niaga dan pendidikan pesantrennya. 

Kota kosmopolitan, tempat bertemunya para saudagar kaya dari berbagai negara. Kota yang terbuka, menguasai sumberdaya alam, di darat dan di laut. Kota dengan pelabuhan-pelabuhannya yang ramai, tempat para saudagar bertemu dan bertukar dagang. Tiba-tiba, hiruk pikuk aktivitas perdagangan masa lalu membayang di kepala. 

Baca juga : Tradisi Sasapton, Mengungkap Diplomasi Kultural Masa Keemasan Banten

Kota kosmopolitan di pesisir yang hiruk pikuk, ramai oleh para saudagar itu, seperti tanda tanya yang ramai pula. Pelabuhan-pelabuhan Banten di pesisir, tempat para saudagar bertransaksi. Juga kapal-kapal dagang yang membawa muatan, bertukar komoditi. Kemudian, diantara para saudagar itu ada pula ulama-ulama penyebar Islam, juga saudagar Tionghoa, Eropa, India, Persia dan banyak yang lainnya. 

Sebelum pusat kota berpindah ke daerah pesisir, Banten Girang adalah pusat kota sebelumnya, yang berada di daerah pedalaman. Dalam berbagai penelitian arkeologi, sejarah, maupun antropologi, sudah sering menyebut dan mengangkat hal ihwal warisan budaya di Banten Girang. 

Kajian arkeologi tentang Banten Girang, menyebutkan bahwa Banten Girang adalah pusat ibukota Banten, sebelum memasuki zaman Islam, di periode abad 10 hingga awal abad 16 M. 

Setelah itu kisah berganti, Banten Girang hilang, berganti ke Banten Lama, pusat kota Kesultanan Islam Banten, yang berkembang sejak paska periode Banten Girang. Sejak periode itu, berkembanglah Banten, sebagai kota kosmopolitan yang menguasai jaringan perdagangan rempah di Selat Sunda. 

Jaringan perdagangan, yang menempatkan kekuasaan Islam, sebagai sumbu peradaban di zaman itu. Banten, kemudian mengalami puncak keemasannya. Kota kosmopolitan terbangun di bawah pemerintahan kesultanan. Masjid Agung Banten, Keraton Surosowan dan berbagai landmark kota Islam yang kosmopolitan menjadi ikon peradaban kota yang berkembang. 

Baca juga : Menapak Banten Lama, Mengungkap Lokal Jenius yang Terlupa

Hingga kini kesejarahan Banten dengan semua kisah kejayaannya masa lalu, tak bisa dilepaskan dengan warisan budaya yang kita kenal dan kita masih bisa saksikan yaitu, peninggalan Benteng Keraton Surosowan, Masjid Agung Banten, Istana Kaibon, Benteng Spelwijk, Menara Pacinan, Kelenteng Avolokiteswara dan sebagainya. Semuanya itu mewakili sejarah kejayaan Banten di masa lalu. 

Meski demikian, di puncak sebuah bukit, orang tidak begitu mengenal, peninggalan masjid kuno di Desa yang berada di ketinggian 1700 mdpl, yaitu Desa Pasir Angin. Padahal, dari berbagai catatan sejarah, meskipun sangat minim, konon Desa Pasir Angin di Kabupaten Pandeglang Banten, adalah salah satu pusat perkembangan Islam di masa Kerajaan Banten di abad 16-17M.

Bagian dalam Masjid Tua Pasir Angin. Sumber : Dok. pribadi, 2022
Bagian dalam Masjid Tua Pasir Angin. Sumber : Dok. pribadi, 2022

Konon di Pasir Angin, berdiri pertama kali pusat pembelajaran Islam, yakni pesantren tempat orang belajar tentang Islam. Untuk informasi ini perlu kiranya pendalaman riset lagi. Namun, mata dan kepala saya melihat langsung bukti arkeologis, sebuah masjid kuno yang sangat khas, yang mencirikan arsitektur masjid dengan atap tumpangnya. Masjid kuno Pasir Angin itu, terhimpit diantara rumah-rumah penduduk. Kondisi ini tampak semakin menyembunyikan bukti sejarah yang masih misterius. 

Hampir tidak ada riset dan artikel ilmiah yang mengungkap kesejaraha masjid tua ini. Masjid dengan ciri khasnya, berupa ciri masjid 'menggantung' atau bentuk "panggung" yang rendah yakni badan masjid berada di atas tanah dengan umpak-umpak penyangganya. 

Di bawahnya terdapat kolong, yang sebenarnya membuat saya penasaran, apa gerangan yang terdapat di bagian kolong masjid itu. Namun rasa penasaran saya, tak sempat terbayar, mengingat sulitnya untuk melihat, sebab masjid terhimpit rumah-rumah penduduk di pemukiman desa yang padat itu. 

Terdapat tiang masjid penyangga berjumlah hingga sekitar 16 (enam belas) tiang, dengan empat tiang utama (soko guru) berada di bagian ruangan tengah masjid, yang menghubungkan dengan bumbungan dan atap tumpang masjid berjumlah tiga susun atap. 

Ciri khas arsitektur atap tumpang yang menguatkan bahwa masjid tua ini sepertinya memang dibangun di kisaran abad 16-17 M. Sayangnya tak banyak bukti pendukung untuk menguatkan bukti sejarah ini, kecuali jika dihubungkan dengan sejarah kejayaan Banten di abad 16-17 sebagai penghasil lada dan sekaligus pusat emporium di wilayah barat nusantara. 

Masjid Tua Pasir Angin dengan tiang-tiang kayu penyangganya. Sumber : Dok. pribadi, 2022
Masjid Tua Pasir Angin dengan tiang-tiang kayu penyangganya. Sumber : Dok. pribadi, 2022

Keberadaan Masjid Tua Pasir Angin tentu menarik untuk diperbincangkan, mengingat keberadaannya seakan tenggelam oleh keberadaan Keraton Surosowan dan Masjid Agung Banten. Sekali lagi keberadaan masjid tua Pasir Angin, tentu bukan untuk dibanding-bandingkan dengan Masjid Agung Banten, sebagai bukti diterima Islam sebagai agama publik atau agama kerajaan yg diterima secara sah dan mendapat legitimasi politik oleh penguasa Banten pada masa itu. 

Tentu, keberadaan Masjid Tua Pasir Angin justru menguatkan bahwa Islamisasi bukan hanya berlangsung di wilayah pesisir, namun juga di wilayah pegunungan. Tentu pula, keberadaan Masjid Tua Pasir Angin, tidak untuk dibanding-bandingkan soal kronologi Islamisasi apakah wilayah pegunungan lebih dulu menganut Islam, kemudian selanjutnya pesisir? Atau sebaliknya? Atau bisa jadi berlangsung di waktu yang sama. 

Kolam atau sumur di samping masjid, deg sumber air yang alami dan segar. Sumber: Dok. pribadi, 2022
Kolam atau sumur di samping masjid, deg sumber air yang alami dan segar. Sumber: Dok. pribadi, 2022

Yang pasti, keberadaan Masjid Tua Pasir Angin yang tersembunyi, diantara himpitan rumah penduduk saat ini, seperti menemukan kisah tentang Banten yang belum sempat terbaca. Masjid Pasir Angin, menjadi saksi sejarah yang masih tersembunyi dan menjadi kisah yang menarik untuk terus dibaca. 

Kisah sejarah tentang Banten melalui sudut pandang ini, tentang Masjid Tua Pasir Angin yang tersembunyi diantara himpitan rumah penduduk di puncak bukit, Desa Pager Batu, Pandeglang. Dari sini, kita akan tertarik untuk terus mengungkap kisah sejarah tentang Banten, yang tak pernah usai. 

Demikian, salam budaya..salam lestari

Salam hormat

Wuri Handoko

Jakarta, 17 Februari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun