Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menapak Banten Lama, Mengungkap Lokal Jenius yang Terlupa

29 November 2022   10:20 Diperbarui: 29 November 2022   18:48 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi publik di Indonesia, apalagi kalangan arkeolog, sejarawan, antropolog, etnograf dan para akademisi di hampir seluruh kampus Indonesia, pasti mengenal Kerajaan Banten Lama. Sebuah kerajaan yang menguasai jaringan maritim di wilayah Indonesia barat pada masa puncak perdagangan rempah nusantara. 

Kerajaan Banten Lama yang saat ini berada di Kota Serang, Provinsi Banten adalah warisan sejarah nusantara yang mewakili kebesarannya sebagai penguasa maritim. Dari sana distribusi dan pertukaran rempah, terutama lada meluas seantero jagat. 

Karya para peneliti dan akademisi tentang Banten sudah banyak diterbitkan, baik buku, jurnal ilmiah, maupun karya-karya ilmiah yang dipresentasikan dalam berbagai seminar. Namun, banyak budaya lokal Banten, sebenarnya belum terungkap. Bagaimana Sultan sebagai penguasa lokal dalam hubungan dengan masyarakatnya? Tidak secara detil dan lengkap dijelaskan. 

Ada banyak misteri masa lalu yang hingga kini belum terungkap dan tergambarkan dengan baik. Selalu ada misteri yang terlupa untuk diungkap. Terlalu banyak pertanyaan, yang terlewat untuk dijawab. Semua itu karena kebesaran sejarah Banten Lama, yang tak pernah lekang dimakan waktu. 

Apakah kita pernah mendengar rangkaian permainan tradisional Sasapton, yang digelar tiap hari sabtu sebagai lokal jenius Banten dalam diplomasi politik dan kultural? Apakah kita sudah familiar dengan strategi pertahanan dalam falsafah kelolakan Banten Gawe Kuta Baluwarti, Bata Kalawan Kawis? Pernahkah kita tahu bahwa pada masa tertentu Banten menerapkan mata uang sendiri, Wang Sawe, dalam sistem pertukaran dan perdagangan di Banten masa lalu? Bagaimana otoritas Sultan sendiri sebagai penguasa, sekaligus ulama dan pedagang? Bagaimana pula Banten di masa lalu, adalah kota yang sangat terbuka, sehingga menjadi kota kosmopolitan yang maju, identik sebagai kota dagang yang multikultural? 

Dalam aspek sejarah dan arkeologi, bahasan tentang kota kosmopolitan Banten, sudah banyak diulas. Banyak arkeolog, sejarawan, budayawan mengulas Banten dalam berbagai sudut pandang. 

Para arkeolog, sejarawan dan budayawan sudah banyak mengungkap bagaimana ciri kosmopolitan banten, sebagai kota multikultur dimana Banten menjadi titik pertemuan para pedagang dari berbagai latar budaya asal negaranya. 

Pertemuan para saudagar Tionghoa, Arab, Eropa bahkan juga India menjadikan Banten menjadi kota kosmopolitan yang ramai. 

Banten, adalah kota kosmopolitan yang maju budaya maritimnya, menjadi pusat perdagangan rempah, terutama lada yang menyebar ke seluruh dunia. 

Namun, Banten tetaplah ruang dan lapangan ilmu pengetahuan yang luas. Semakin banyak dibahas, semakin banyak pula hal yang terlupa. 

Saya, yang selama bertahun-tahun lebih banyak bergulat di dunia arkeologi bagian timur Nusantara, juga merasakan ada ruang informasi kesejarahan dan kebudayaan di Banten, yang masih perlu diisi. 

Oleh karenanya, ketika ada tim riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengajak saya dalam tim risetnya, serta merta saya sambut dengan gembira. Tim riset diketuai oleh Rismawidiawati dari Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban (PRKKP) di bawah payung Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra (OR Arbastra).  

Menjadi menarik, ketika Banten menjadi medan lapangan penelitian yang selama ini cukup padat, namun lebih didominasi oleh cara melihat kesejarahan Banten dalam cara pandang ekonomi dan politik. Belum lagi, jika menilik Banten masa lalu, dalam berbagai cara pandang itu, lebih banyak diisi oleh cara pandang kolonialisme. Banten, dilihat sebagai kota kosmopolitan, kota kesultanan yang tenggelam setelah episode panjang kolonialisme Belanda. 

Ilustrasi: Menara Pecinan Tinggi, di Kampung Dermayon, Serang, Banten. Sumber : Abd. Rahman Hamid/Tim Riset PRKKP BRIN, 2022
Ilustrasi: Menara Pecinan Tinggi, di Kampung Dermayon, Serang, Banten. Sumber : Abd. Rahman Hamid/Tim Riset PRKKP BRIN, 2022

Ketua tim riset Rismadiawati didampingi Roni Tabroni dari PRKKP BRIN dan Abd. Rahman Hamid dari UIN Intan Lampung, sebagai anggota tim riset dalam suatu diskusi mengatakan, melihat Banten dalam cara pandang demikian, seperti melihat kebesaran Banten dibalik tirai kelambu. Ada bayangan yang samar. Oleh karenanya, perlu menyibakkan tirai kelambu itu agar melihatnya lebih jelas. Tirai kelambu itu adalah budaya lokal Banten, yang belum sepenuhnya tersibak. 

Tidak mungkin, Banten, yang demikian besar, demikian masyur, jika tidak dilandasi basis lokalitas budayanya. Mungkin publik mengenal debus, tradisi lokal Banten yang berkembang masa Keislaman Banten pada puncak kejayaannya. Namun, rasanya dalam sebuah sistem kelembagaan sultan, budaya lokal lainnya memegang peran penting dalam menjaga kebesaran Banten yang inklusif. 

Banten sebagai sebuah pemerintahan kesultanan, mampu bertahan menguasai jaringan kekuasaan dan keagamaan juga jaringan niaga rempah dalam hal ini lada, di tengah persaingan global pada masa itu, adalah pertanyaan yang masih perlu diangkat.

Oleh karenanya, riset yang dilakukan di Banten, dalam khazanah keagamaan dan peradaban menjadi penting untuk menjawab bagaimana modalitas kultural Banten dalam menguasai jaringan keagamaan, kekuasaan dan perniagaan di wilayah bagian barat nusantara masa itu. 

Gawe Kuta Balawarti, Bata Kalawan Kawis

Gawe Kuta Balawarti, Bata Kalawan Kawis  adalah salah satu basis lokal untuk memahami filosofi Banten dalam membangun pertahanan (baca: kekuasaan). 

Konsep itu bukan hanya dalam arti harafiah 'membangun kota benteng, dengan bata dan karang'. Namun memiliki filofosi simbolik tentang budaya 'kebantenan'. Gawe kutha balawarti, bata kalawan kawis, adalah sebuah instrumen lokal jenius (kecerdasan lokal) pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf (1570-1580) dalam menerapkan konsep bertahan dan sekaligus berkuasa dalam geopolitik dan geokultural Banten pada masa itu. 

Secara simbolik, filosofi itu sebagai simbol atau perlambangan dalam mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki Banten serta menggerakkan energi masyarakat Banten dalam membangun sebuah benteng pertahanan. Sementara benteng pertahanan itu sendiri, adalah simbol kekuasaan yang harus dipertahankan. 

Sumberdaya yang dimaksud adalah sumberdaya lingkungan, baik yang dibuat ataupun diambil dari lingkungan setempat. Dalam proses itu sumberdaya masyarakatnya, juga memegang peran penting dalam proses membangun benteng pertahanan. 

Bata (batu bata) yang dibuat oleh masyarakat, ataupun kawis (batu karang) yang tersedia. Kedua sumberdaya itu menunjukkan harmoni antara masyarakat (sosial) dengan alam atau lingkungannya. Kedua hal itu berpadu harmonis, karena di dorong oleh otoritas Sultan secara politik, kemasyuran, kewibawaan dan juga kehormatan secara kultural dan sosial. 

Titah Sultan, baik bersifat imperatif (perintah) maupun karena kewibawaan, kemasyuran, ataupun kehormatan menjadi energi yang menggerakkan masyarakat untuk mengelola lingkungan demi kehormatan dan kewibawaan kesultanan itu sendiri. 

Di balik filosofi Gawe Kuta Balawarti, Bata Kalawan Kawis yang terwujud secara arkeologis atau material kulturnya dalam bentuk benteng pertahanan,  ada ruh peradaban, yang menggambarkan harmonisasi Sultan dengan rakyatnya dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam untuk kemajuan pemerintahan kesultanan. 

Ilustrasi : Tampak jejak reruntuhan Keraton Surosowan, Banten. Sumber: Rismawidiawati, 2022
Ilustrasi : Tampak jejak reruntuhan Keraton Surosowan, Banten. Sumber: Rismawidiawati, 2022

Maka tak heran, jika Lada sebagai sumberdaya yang dihasilkan oleh kesuburan lahan pertanian Banten, menjadi produk andalan yang mampu dipasarkan secara luas melalui penguasaan maritim. Kesultanan Banten mampu menguasai jaringan perdagangan maritim di wilayah barat Nusantara. Bahkan berdasarkan filosofi ini pula pada masa pemerintahan Maulana Yusuf antara 1570-1580, perekomian Banten tidak hanya bersandar pada kekuatan perdagangan lada. 

Sultan, juga membuat kebijakan untuk rakyatnya membuka lahan-lahan pertanian persawahan di pesisir pantai. Kebijakan Sultan Maulana Yusuf itu, diterapkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam kerajaan Banten.

Dengan demikian, Gawe Kuta Balawarti, Bata kalawan Kawis, adalah falsafah lokal yang menggambarkan dualitas kekayaan sumberdaya alam, bata sebagai simbol tanah di daratan dan kawis sebagai simbol kekayaan laut atau maritim. 

Dua sumberdaya alam inilah, yang jika dikelola dengan baik, dipadukan akan memberikan kemakmuran bagi masyarakat banten. Oleh karena itu, dalam filosofi ini, membangun pertahanan dimaksudkan pula bahwa sultan dan rakyatnya mampu mengelola dan memadukan kekayaan sumberdaya di darat dan sumberdaya di laut (kekayaan maritim).

Sasapton, Diplomasi Kultural Politik Kekuasaan Banten

Tradisi Sasapton, adalah tradisi lokal Banten yang berkembang pada abad 16-17 M, masa Sultan Abdul Mufakkir Mahmud Abdul Kadir. Tradisi ini terus berlanjut hingga masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. 

Dalam sebuah wawancara, Sasapton digambarkan sebagai tradisi adu ketangkasan, baik katangkasan menunggang kuda, bermain pedang dan permainan lainnya yang digelar setiap hari Sabtu, yang berlangsung di alun-alun kesultanan. Diceritakan bahwa sasapton adalah permainan menunggang kuda, disertai ketrampilan si penunggang kuda bertanding olah raga tertentu. 

"Jadi pertunjukan apapun tentang bermain kuda, bermain pedang dan lainnya, bahkan pentas tari-tarian dan sandiwara yang diceritakan dalam sejarah lisan dan  manuskrip. Dalam permainan itu bahkan melibatkan para saudagar mancanegara yang bermukim di Banten, seperti saudagar Tionghoa, Arab, India bahkan Eropa dan tampil di tengah hiburan masyarakat itu" kata Abah Yadi, yang dikenal sebagai budayawan Banten itu. 

Dalam pandangan kami, tim riset PRKKP BRIN, Sasapton bukan hanya tentang turnamen olah raga yang digelar setiap sabtu di alun-alun kesultanan.  Sasapton adalah tradisi lokal, yang menjadi instrumen kesultanan untuk melakukan diplomasi kebangsaan berbasis kultural. 

Pada masa itu, Sasapton menjadi salah satu ciri penanda kesultanan Banten dalam hubungan diplomatik baik secara internal maupun eksternal. Penjelasan ini dapat disimpulkan berdasarkan pada cara pihak kesultanan mengorganisir pertunjukan permainan yang diadakan setiap hari sabtu. Oleh karena itu dikenal dengan sebutan sasapton (turnamen hari sabtu). 

Ilustrasi : Pelataran Masjid Agung Banten. Sumber : Rismawidiawati, 2022
Ilustrasi : Pelataran Masjid Agung Banten. Sumber : Rismawidiawati, 2022

Selain itu, pelibatan sasapton yang tidak mengenal golongan, bisa dilakukan oleh kalangan bangsawan dan rakyat biasa di alun-alun kesultanan sebagai simbol pusat otoritas pemerintahan, adalah upaya sultan merangkul sekaligus membuka ruang bagi rakyatnya untuk berbaur dengan kalangan istana. Selain itu pelibatan para saudagar mancanegara, juga dimaknai sebagai upaya diplomasi kultural politik kekuasaan Sultan, dalam menjalin hubungan diplomatik dengan bangsa-bangsa lain untuk menjaga kerjasama perdagangan. 

Sayangnya, sumber-sumber informasi tentang Sasapton, hingga saat ini masih sangat terbatas. Narasi sasapton, ditampilkan dengan sangat minimal dan sambil lalu dalam berbagai karya ilmiah tentang kesejarahan Banten. Sangat disayangkan pula, tradisi Sasapton sudah menghilang, beberapa abad lalu. 

Oleh karena itu Tim  PRKKP masih akan terus menelusuri jejak Sasapton dengan lebih detil, untuk mengungkap sekaligus jika memungkinkan merekonstruksi tradisi Sasapton, bukan hanya dalam rangka memproduksi pengetahuan (knowledge production). 

Namun juga, mereproduksi nilai (value reproduction), dengan harapan tradisi Sasapton dapat ditampilkan kembali dalam kehidupan kekinian sebagai model dalam membangun diplomasi politik kebangsaan, baik antara pemerintah dengan masyarakat maupun dengan negara-negara luar. 

Reproduksi nilai dan juga menampilkan kembali tradisi Sasapton di Banten,  akan menciptakan peluang kerjasama dan peningkatan ekonomi masyarakat dari sumber pariwisata. 

Demikian. Salam Budaya...Salam Peradaban... Salam Lestari

Wuri Handoko. Serang, 25 November 2022

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun