Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa Anak Jaksel dan Vickynisasi, Dilema dan Tantangan terhadap Bahasa dan Identitas Keindonesiaan

13 Januari 2022   09:57 Diperbarui: 13 Januari 2022   18:24 1805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bahasa di dunia (freepik.com/rawpixel.com)

Fenomena perkembangan bahasa hari-hari ini, sebenarnya memberikan gambaran kondisi keterancaman pemertahanan Bahasa Indonesia dan Identitas Keindonesiaan di tengah perkembangan bahasa itu sendiri. 

Kita memang memahami bahasa itu sangat berkembang mengikuti perkembangan zaman, namun berdampak pada kondisi Bahasa Indonesia, sebagai bahasa pemersatu (lingua franca) juga identitas Keindonesiaan, terancam keberadaannya. 

Kemampuan bilingual atau dwibahasa, bukan berarti harus mencampuradukkan teks dalam bertutur kata atau berbicara, karena bisa kehilangan konteksnya. Sehingga pesan yang ingin disampaikan kadang menjadi terpotong-potong, tidak jelas maksud sebenarnya. 

Pesan yang tersampaikan dengan bahasa yang campur aduk selain bisa terjadi penyimpangan makna, bahkan juga kehilangan makna dari yang sebenarnya ingin disampaikan. 

Tentu kondisi ini memprihatinkan. Jika Bahasa Indonesia saja sebagai bahasa penghubung dan pemersatu terancam keberadaannya, apalagi bahasa-bahasa daerah. Padahal ini yang sedang dikuatkan oleh pemerintah. 

Melalui Badan Bahasa Kemendikbud dan Balai Bahasa seluruh Indonesia, kini sedang giat meneliti dan mengumpulkan bahasa-bahasa daerah yang terancam hilang dan kemudian menyusun kamus bahasa daerah. 

Fenomena Bahasa Anak Jaksel dan Vickynisasi : Tantangan Bagi Pelestarian Bahasa Indonesia dan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI)

Untuk program pelestarian bahasa Indonesia, Balai Bahasa Kemendikbud seluruh Indonesia bahkan melaksanakan  program Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) untuk seluruh masyarakat Indonesia.

UKBI memiliki fungsi yang amat strategis, tidak hanya untuk meningkatkan kualitas bahasa Indonesia serta penggunaan dan pengajarannya di dalam dan luar negeri, tetapi juga untuk memupuk sikap positif dan rasa bangga masyarakat Indonesia terhadap bahasanya (UKBI Kemendikbud).

Dikutip dari UKBI, Berbahasa Indonesia adalah sebuah uji untuk mengukur kemahiran seseorang dalam berbahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis (UKBI Kemendikbud). 

Fenomena bahasa anak Jaksel di tengah perjuangan pemertahanan bahasa dan identitas Keindonesiaan. Sumber: Eventkampus.com
Fenomena bahasa anak Jaksel di tengah perjuangan pemertahanan bahasa dan identitas Keindonesiaan. Sumber: Eventkampus.com

Hal ini mengingat betapa pentingnya Bahasa Indonesia,  dalam fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia menjadi sarana penghubung dan pemersatu seluruh anak bangsa di seluruh wilayah Nusantara. 

Oleh karenanya, fenomena bahasa anak Jaksel, adalah tantangan dan juga dilema di tengah perjuangan terhadap pemertahanan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa Indonesia. 

Fenomena bahasa anak Jaksel, mengingatkan kita terhadap fenomena Vickynisasi. Kita ingat tentunya, Vicky Prasetyo, artis yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba menjadi sangat populer karena memperkenalkan bahasa nyelenehnya, yang kemudian dikenal dengan Vickynisasi. 

Vicky Prasetyo menggunakan bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Inggris yang gak jelas maksud dan tidak jelas atau tidak pas penempatannya. Terdengar asing, aneh dan lucu. Namun justru itu yang membuatnya populer. 

Populernya Vicky Prasetyo, bukan saja karena keanehannya berbahasa, namun karena respon publik di Indonesia yang memberi ruang atau panggung untuk kenyelenehan atau keanehan berbahasa Vicky Prasetyo.

Tampaknya, publik Indonesia juga gemar atau senang dan mudah menerima sesuatu yang baru dan aneh. 

Psikologi massa memang dihadapkan pada kondisi mental kebanyakan orang senang mendengar hal yang baru, asing dan aneh bahkan nyeleneh. 

Histeria massa kemudian menangkap hal-hal yang berbeda sebagai nilai kebaruan (novelty) di tengah kondisi sosial yang stagnan atau kondisi sosial yang sangat dinamis, cenderung ruwet. Sehingga hal baru sedikit saja sudah membuat heboh publik dan dengan mudah bisa menerima hal-hal yang dianggapnya baru dan berbeda. Dianggapnya sebagai sebuah fenomena kebaruan dan di luar kebiasaan. Hal-hal di luar kebiasaan, dianggap dan direspon secara berlebihan, dan bahkan cenderung latah. 

Demikianlah, sehingga di jagat medsos seringkali kita membaca teks tentang publik kita yang mudah heran, mudah latah dan juga mudah kagum, tanpa menilai secara kritis dan cerdas. Alih-alih, bahkan ikut menjadi pemandu sorak dan meramaikan keanehan atau yang di luar kebiasaan. 

Bahasa Anak Jaksel dan Vickynisasi di Tengah Penguatan dan Pemertahanan Bahasa Indonesia

Perkembangan bahasa anak Jaksel dan fenomena Vickynisasi adalah kenyataan yang tak mudah dihilangkan. Atau bahkan berkembang bersama di tengah berbagai tantangan memperjuangan identitas melalui pemertahanan Bahasa Indonesia. 

Apapun keadaannya, seperti itulah kondisi masyarakat Indonesia belakangan ini. Demikianlah cara masyarakat menunjukkan eksistensi dirinya dengan memberikan kode dan simboliknya secara sosial.

Soal fenomena itu sebenarnya sah-sah saja. Namun jika sudah menyangkut soal bahasa, kebudayaan dan identitas Keindonesiaan, kita perlu lebih cerdas dalam melihat fenomena agar tidak mudah atau rentan kehilangan identitasnya sebagai anak bangsa dari sebuah bangsa yang besar. 

Bahasa dan kebudayaan yang besar yang kita miliki, diwariskan dari leluhur bangsa ini untuk dijaga dan dipertahankan. Hanya dengan kekuatan bahasa dan kebudayaannya identitas Keindonesiaan kita menjadi kuat dan mampu menjawab tantangan global.  

Jadi, bagi saya fenomena bahasa anak Jaksel dan Vickynisasi harus dilihatnya dalam kacamata Keindonesiaan yang lebih jernih. 

Di satu sisi fenomena perkembangan bahasa adalah kenyataan yang sulit atau bahkan tak bisa dihindari. Namun di sisi lain. penguatan-penguatan terhadap pemertahanan Bahasa Indonesia juga harus tetap diperkuat dan lebih diperkuat lagi, sehingga Bahasa Indonesia tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri. 

Oleh karena itu pemerintah atau bahkan Individu sudah selayaknya membuat garis batas yang jelas maupun garis batas imajiner antara penguatan Bahasa Indonesia dengan perkembangan bahasa anak Jaksel, Vickynisasi maupun fenomena kebahasaan lainnya. 

Garis batas itu yang jelas maupun imajiner dengan cara kewajiban penggunaan bahasa Indonesia di ruang-ruang publik. Sedangkan batasan terhadap fenomena bahasa Jaksel, Vickynisasi sebisa mungkin dibatasi berada di ruang privat, keluarga dan ruang publik yang sangat terbatas. 

Kondisi ini harus dibuat regulasi atau garis batas yang jelas. Sedangkan secara imajiner penguatan etika berbahasa di dalam pergaulan sehari-hari baik dengan keluarga, sahabat dan handai tolan baik bersifat privat maupun ruang publik yang sangat terbatas dibutuhkan penguatan nilai-nilai etis berbahasa pergaulan. 

Hanya dengan cara demikian, kita menemukan relevansi penguatan bahasa Indonesia dan Identitas Keindonesiaan dalam menyongsong perkembangan zaman dan tantangan global. 

Demikian. Salam Bahasa Indonesia...Salam Lestari...

***

Salam hormat 

Mas Han. Manado, 13 Januari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun