"Makasih ya mas, doakan kami berjodoh hingga pelaminan" kata sahabatku, seorang perempuan yang kukenal sejak kami menjadi mahasiswa di kampus yang sama.Â
Penyesalan. Ya, hanya penyesalan yang tertinggal. Penyesalan yang tak pernah mampu tergantikan oleh perihal apapun. Entah itu penyesalan mereka berdua. Ataupun penyesalanku sendiri. Penyesalanku karena mempertemukan mereka berdua.Â
Badai angin memisahkan mereka diantara deru rindu yang terus memburu. Namun tak pernah sampai. Keduanya hilang digulung debu. Perjumpaan yang sia-sia. Dan kabar angin ternyata benar. Perpisahan adalah jalan terbaik, setelah pertemuan terakhir yang mengenaskan.Â
Sisa hujan akhir Desember menjemput hujan awal januari yang bisu. Ketika badai menjadi hujan yang menghias pelangi sesudahnya.Â
Sepasang kekasih yang dipertemukan oleh hujan. Namun akhirnya dipisahkan pula oleh hujan. Â Dibawah rintik hujan Januari, keduanya saling berjanji dan saling pergi.Â
"Aku sudah membangun ruang luka, yang tak pernah terlupa, bro" katanya padaku di suatu sore. Sahabat yang tak pernah mengenal bahasa luka, itu akhirnya untuk pertama kali kudengar mengatakan tentang luka.Â
"Luka siapa? Lukamu atau luka dia" tanyaku penuh selidik.Â
"Luka kami bro" jawabnya singkat.Â
Aku tak meneruskan percakapan. Aku cukup tahu, bahasa dia tentang luka mereka adalah pasti adanya. Dia tak pernah berbohong. Tepatnya dia tak bisa berbohong.Â
"Kenapa luka?" Akhirnya akupun tetap bertanya. Pertanyaan yang sebenarnya tak ingin kusampaikam ditengah luka yang mendera mereka.Â
Sahabatku, lelaki yang kukenal sejak kanak-kanak itu hanya melihatku termangu. Tak ingin menjawab dan tak ingin berkata-kata.Â