Hujan itu kemarau.
Saat kau menunggunya,
dengan rindu yang gersang
Bila kau merasakannya,
dengan hati yang risau
Jika kau bermandi telanjang,
memasang bidang dadamu
dengan amarah
Hujan tetap kemarau,
karena kau tampung derasnya
dengan secawan kegetiranÂ
Jika kau rasakan rintiknya
yang dingin, namun api
di kepalamu, kau biarkan
menyala-nyala
Tapi kemarau itu hujan,
ketika kau angkat
kedua tangan dan wajahmu
ke langit, lalu menundukÂ
dan merapatkannya ke bumi
Hujan dan kemarau itu,
pergantian musim belaka
semua tergantung caramu
memandang langit dan matahari
Sebenarnya,
hujan tetaplah hujan
kemarau tetaplah kemarau
keduanya tak saling menyakiti
apalagi saling meniadakan
Hujan dan kemarau saling menghidupi
karena keduanya titisan ruh dari langit
Hanya satu bertukar waktu
dalam rindu-rindu
yang sukma
Sama yang malih rupa
dalam jiwa-jiwa
yang fana
***
Mas Han. Manado, 17 November 2021, saat langit mendung menjelang malam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H