Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Dari Zaman Batu hingga Zaman Digital, Sungai adalah Urat Nadi Kehidupan

1 Agustus 2021   15:16 Diperbarui: 2 Agustus 2021   09:16 1737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Sungai Musi. Sumber: Jelajah Kompas

Sungai adalah nafas zaman, urat nadi kehidupan dari masa prasejarah, hingga masa modern. Dari zaman batu hingga zaman digital. 

Tak ada satupun periode perjalanan zaman yang tak bergantung dari sungai. Sumber air kehidupan, nafas yang menghidupi perjalanan zaman. Kehidupan umat manusia, bergantung pada sungai, sebagai sumber air untuk kebutuhan hidup. 

Zaman prasejarah, manusia masa lampau, menggantungkan hidupnya pada sungai, sebagai sumber memperoleh air, yang menjadi kebutuhan vital untuk bertahan hidup. 

Saya teringat ketika masih menjadi arkeolog di Maluku, ada tiga buah sungai purba di Pulau Seram, yang sangat terkenal. Masyarakat menyebut Tiga Batang Aer, yaitu Sungai Tala, Sungat Eti dan Sungai Sapalewa. 

Sungai Tala, mengalir dari hulu ke muara di pesisir selatan Pulau Seram. Sungai Sapalewa, mengalir dari hulu ke peisisir utara Pulau Seram. Sedangkan Sungai Eti, mengalir dari hulu ke pesisir barat Pulau Seram. 

Dimanakah gerangan hulunya? Konon baik Sungai Tala, Eti dan Sapalewa, hulunya terletak pada lokasi dan titik yang sama, saling bertemu. Dari titik hulu yang sama itulah mengalir Sungai Tala, Eti dan Sapalewa. Sehingga mitologi masyarakat Pulau Seram khususnya, menyebut Tiga Batang Aer.

Semua pertemuan hulu sungai Tala, Eti dan Sapalewa, itu konon berada di sebuah pegunungan, yang sangat terkenal sebagai gunung teritingi kedua di Pulau Seram, yakni Murkele, yang ketinggiannya mencapai 2.750 mdpl. Bersisian dengan gunung tertinggi, Gunung Binaya dengan ketinggian, 3000an mdpl. 

Di pertemuan hulu tiga sungai itu, hulu Tiga Batang Aer itu, konon kehidupan bermula. Sebuah tempat pemukiman atau peradaban awal orang Maluku bermula. Nunusaku, mitologi yang hingga detik ini masih terus diperbincangkan di berbagai kalangan masyarakat di Maluku. Mitologi Nunusaku, yang sangat dipercaya sebagai cikal bakal kehidupan masyarakat Maluku bermula.  

Baca Juga : Orang Maluku dan Mitologi Nunusaku, Tentang Mitos Peradaban Awal dan Asal Usul

Faktanya, jejak-jejak kehidupan purba ditemukan di aliran-aliran sungai Tiga Batang aer itu. Di Sapalewa, bukti arkeologi menemukan jejak alat-alat batu prasejarah, masa plestosen hingga holosen. 

Di Sungai Tala, tahun 1930an, ditemukan rock art atau seni cadas purba. Sementara di daerah aliran sungai Eti, di bagian barat Pulau Seram, banyak di temukan jejak-jejak megalitik. 

Hingga sekarang, sungai-sungai itu masih mengalir, dari hulu di pegungan sampai di muara, pesisir pantai, menandai perjalanan peradaban di Pulau Seram. Sungai-sungai itu kini, menjadi daerah resapan air, sumber air untuk kehidupan pertanian di wialayah Pulau Seram. 

Di Wilayah Maluku Utara, terutama di Pulau Halmahera, bisa disebut sungai-sungai yang menjadi nafas dan urat nadi kehidupan, sejak masa lampau, masa prasejarah, hingga masa perdagangan, bahkan masa modern saat ini. 

Sungai-sungai besar, menandai urat nadi kehidupan sebagai pintu masuk jalur perdagangan sungai dan laut. Di Halmahera Utara, terdapat Sungai Kao, yang pada masa lalu memiliki peran penting sebagai pintu masuk jalur perdagangan. Kapal-kapal dagang dari laut dan muara, memasuki sungai untuk mengambil komoditi. 

Seiring itu, pusat-pusat perdagangan dan pemukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) terbangun. Pemukiman lama Kao, di wilayah Halmahera Utara, bukti adanya peran sungai dalam urat nadi perdagangan, yang menghubungkan perdagangan di wilayah pedalaman dengan di wilayah pesisir. 

Di Sungai Kao, bahkan hingga sekarang, masyarakat petani sagu masih memanfaatkan sungai untuk menghilir batang-batang sagu, daerah hutan ke pabrik pengolahan sagu. Kegiatan yang sebenarnya, sudah berlangsung sejak masa kerajaan dulu, yang bertahan hingga sekarang. 

Ilustrasi Pemanfaatan sungai untuk menghilir batang-batang sagu ke tempat industri pengolahan sagu. Sumber: Balar Maluku/Wuri Handoko
Ilustrasi Pemanfaatan sungai untuk menghilir batang-batang sagu ke tempat industri pengolahan sagu. Sumber: Balar Maluku/Wuri Handoko

Situs Kampung Kao Lama, di Halmahera menjadi bukti peran sungai yang mampu menumbuhkan pusat-pusat pemukiman baru di pedalaman. Jejak arkeologi membuktikan adanya kampung di tepi Sungai Kao, yang disebut Sungai Ake Jodo (Air Jodoh). 

Di Halmahera barat, terdapat sungai Akelamo, sungai yang menghubungkan antara wilayah pesisir barat wilayah Kerajaan Jailolo dengan wilayah pedalamannya. Di DAS Akelamo, juga menjadi jalur perhubungan sungai, jalur masuk perdagangan dari wilayah pesisir ke wilayah pedalaman. 

Konon perdagangan kopra sejak abad 17, sudah ramai di wilayah itu selain cengkeh tentu saja. Bahkan di DAS Akelamo, menjadi semacam daerah perebutan antara Spanyol, Portugis dan juga penguasa lokal. 

Di DAS Akelamo, terdapat benteng Kolonial, yaitu Benteng Sabuga, ketika masih dalam penguasaan Sapnyol, lalu berubah namanya menjadi Bentang Sayloko, ketika dikuasai Portugis. 

Di Halmahera Utara, terdapat Sungai Loloda, di tepi sungainya, pernah berdiri Kerajaan Loloda, salah satu dari lima penguasa di wilayah Maluku, selain Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Loloda kemudian hancur, dikalahkan oleh Belanda, sehingga pada abad 17 M, kerajaan itu sudah tidak ada lagi dan disebut sebagai kerajaan yang hilang. 

Baca Juga : Loloda, Menemukan Sejarah Yang Hilang

Beralih ke Sulawesi Selatan, Sungai Walannae yang membentang dari hulu ke muara di Kabupaten Soppeng, adalah sungai purba yang menyimpan jejak-jejak kehidupan purba pada masa prasejarah. Situs prasejarah Sungai Walannae, dianggap sebagai situs prasejarah paling tua di Sulawesi Selatan. 

Menurut arkeolog Budianto Hakim, seorang peneliti senior di Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, para ahli sebagai situs tertua dan merupakan situs yang kaya tinggalan arkeologi dan tidak akan pernah habis untuk penelitian tentang manusia purba, budaya dan lingkungannya. 

Di situs Purba Sungai Wallanae, juga ditemukan sebaran alat-alat batu yang sangat sederhana serta didukung oleh penemuan fosil binatang purba yakni spesies stegodon dan gajah bersama dengan babi dan spesies babi yang telah punah (Celebochoerus Heekereni). Nama yang merujuk penemu pertama, seorang arkeolog Belanda, bernama Van Hekereen, yang pertama kali meneliti di sana pada tahun 1947. 

Ilustrasi Peta Sebaran Situs-situs di tepi aliran Sungai Walennae, Bone Barat. Sumber: Dokumentasi Balar Sulsel/Budianto Hakim, 2018
Ilustrasi Peta Sebaran Situs-situs di tepi aliran Sungai Walennae, Bone Barat. Sumber: Dokumentasi Balar Sulsel/Budianto Hakim, 2018

Menurut Budianto Hakim, keberadaan situs-situs di sepanjang merupakan contoh kecenderungan manusia purba menghuni lingkungan sungai. Kondisi ini dapat dipahami mengingat keberadaan air memberikan keragaman manfaat. 

Selain untuk memenuhi kebutuhan pokok, ketersedian air dalam suatu lingkungan akan mengundang berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Keberadaan air memberikan kesuburan bagi pertumbuhan berbagai tanaman, juga mobilitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya. 

Pendek kata, kebutuhan-kebutuhan itu, dalam rentang waktu yang berbeda, menunjukkan sungai sangat penting dan vital perannya untuk menjaga nafas kehidupan umat manusia. 

Coba, kita tengok sebentar, di Sumatra Selatan, Sungai Musi sampai hari ini adalah ikon kota Palembang. Di masa lampau, Sungai Musi adalah wilayah DAS, dimana Kerajaan Sriwijaya berdiri. Banyak temuan arkeologi membuktikan, bahwa Kerajaan Sriwija berdiri di tepian Sungai Musi. Salah satu bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Palembang adalah Sungai Musi. 

Ilustrasi, Sungai Musi. Sumber: Jelajah Kompas
Ilustrasi, Sungai Musi. Sumber: Jelajah Kompas

Hingga sekarang, Sungai Musi dimanfaatkan sebagai sarana angkutan penumpang dari Palembang Ilir ke Palembang Ulu, angkutan gas, serta puluhan tongkang yang mengangkut batubara setiap hari. 

Belum lagi, kalau kita singgung soal Sungai Bengawan Solo, adalah sungai purba yang sangat populer, membentang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Di Sepanjang DAS Bengawan Solo, situs-situs arkeologi di temuukan. Dari Situs prasejarah yang dihuni manusia prasejarah hingga munculnya pemukiman dan situs-situs masa sejarah. 

Bengawan Solo mengalir dari mata air di Pegunungan Seribu, perbatasan Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) dan Kabupaten Pacitan (Jawa Timur) menuju ke utara bermuara di Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Ilustrasi, Sungai Bengawan Solo. Sumber: Surabaya.net
Ilustrasi, Sungai Bengawan Solo. Sumber: Surabaya.net

Sungai Benagwan Solo, juga menjadi ikon Pulau Jawa, sehingga maestro Gesang, menciptakan lagu yang sangat legendaris "Bengawan Solo", yang selalu dinyanyikan dari generasi ke generasi, bahkan lintas negara dan lintas benua. 

Nah, yang menarik pula, Sungai Ciliwung di Jakarta. Anda tahu, bahwa Sungai Ciliwung yang membelah Jakarta, kota megapolitan yang hiruk pikuk itu, adalah sungai purba?

Sejarawan sekaligus penulis buku sejarah Jakarta Jj Rizal mengatakan awal peradaban Jakarta berada di Sungai Ciliwung, sekitar 5.000 tahun yang lalu (Kompas).   

Ali Akbar, Arkeologi Universitas Indonesia, dalam bukunya, Zaman Prasejarah di Jakarta dan Sekitarnya, menjelaskan beberapa wilayah di Jakarta, diperkirakan berasal dari 2000–1000 Sebelum Masehi.

Sementara itu, berdasarkan analisis radiometri terhadap contoh arang hasil ekskavasi di situs Pejaten (Jakarta Selatan) tahun 1975, menunjukkan bahwa situs ini berasal dari sekitar 1000 Sebelum Masehi hingga 500 Masehi

Terbentang dari hulu yang terletak di daerah Bogor yang meliputi kawasan Gunung Gede, Gunung Pangrango dan Cisarua hingga kawasan hilir di pantai utara Jakarta, Sungai Ciliwung mempunyai panjang 120 Km dengan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) 387 Km2.

Ilustrasi, Sungai Ciliwung di Jakarta. Sumber: Kompas
Ilustrasi, Sungai Ciliwung di Jakarta. Sumber: Kompas

Belum lagi, sungai-sungai lain di pulau-pulau besar di Nusantara, contohnya di Pulau Kalimantan. Sangat banyak kalau kita mau daftar dan uraikan satu persatu. Yang pasti kita semua paham, sungai adalah urat nadi kehidupan sejak masa prasejarah hingga masa modern ini. Sejak zaman batu hingga zaman digital. 

Sungai selalu menjadi sumber kehidupan. Berapa banyak sungai-sungai di zaman modern ini, yang dimanfaatkan sebagai sumber pengairan untuk pertanian sawah, ladang dan pertanian lainnya. 

Belum lagi, juga banyak terdapat sungai-sungai besar dengan debit air yang maksimal menjadi sumber pembangkit listrik, di samping juga waduk-waduk yang ada. 

Pendek kata, kita semua harus melestarikan sungai. Menjaga peran dan manfaatnya untuk kehidupan, kini dan hingga masa yang akan datang. Sungai urat nadi kehidupan, baik di desa maupun di kota. Sungai adalah nafas. 

Demikian. Salam lestari...

Semoga bermanfaat. 

Salam Hormat.
Mas Han. Manado, 1 Agustus 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun