Di Sungai Tala, tahun 1930an, ditemukan rock art atau seni cadas purba. Sementara di daerah aliran sungai Eti, di bagian barat Pulau Seram, banyak di temukan jejak-jejak megalitik.Â
Hingga sekarang, sungai-sungai itu masih mengalir, dari hulu di pegungan sampai di muara, pesisir pantai, menandai perjalanan peradaban di Pulau Seram. Sungai-sungai itu kini, menjadi daerah resapan air, sumber air untuk kehidupan pertanian di wialayah Pulau Seram.Â
Di Wilayah Maluku Utara, terutama di Pulau Halmahera, bisa disebut sungai-sungai yang menjadi nafas dan urat nadi kehidupan, sejak masa lampau, masa prasejarah, hingga masa perdagangan, bahkan masa modern saat ini.Â
Sungai-sungai besar, menandai urat nadi kehidupan sebagai pintu masuk jalur perdagangan sungai dan laut. Di Halmahera Utara, terdapat Sungai Kao, yang pada masa lalu memiliki peran penting sebagai pintu masuk jalur perdagangan. Kapal-kapal dagang dari laut dan muara, memasuki sungai untuk mengambil komoditi.Â
Seiring itu, pusat-pusat perdagangan dan pemukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) terbangun. Pemukiman lama Kao, di wilayah Halmahera Utara, bukti adanya peran sungai dalam urat nadi perdagangan, yang menghubungkan perdagangan di wilayah pedalaman dengan di wilayah pesisir.Â
Di Sungai Kao, bahkan hingga sekarang, masyarakat petani sagu masih memanfaatkan sungai untuk menghilir batang-batang sagu, daerah hutan ke pabrik pengolahan sagu. Kegiatan yang sebenarnya, sudah berlangsung sejak masa kerajaan dulu, yang bertahan hingga sekarang.Â
Situs Kampung Kao Lama, di Halmahera menjadi bukti peran sungai yang mampu menumbuhkan pusat-pusat pemukiman baru di pedalaman. Jejak arkeologi membuktikan adanya kampung di tepi Sungai Kao, yang disebut Sungai Ake Jodo (Air Jodoh).Â
Di Halmahera barat, terdapat sungai Akelamo, sungai yang menghubungkan antara wilayah pesisir barat wilayah Kerajaan Jailolo dengan wilayah pedalamannya. Di DAS Akelamo, juga menjadi jalur perhubungan sungai, jalur masuk perdagangan dari wilayah pesisir ke wilayah pedalaman.Â
Konon perdagangan kopra sejak abad 17, sudah ramai di wilayah itu selain cengkeh tentu saja. Bahkan di DAS Akelamo, menjadi semacam daerah perebutan antara Spanyol, Portugis dan juga penguasa lokal.Â
Di DAS Akelamo, terdapat benteng Kolonial, yaitu Benteng Sabuga, ketika masih dalam penguasaan Sapnyol, lalu berubah namanya menjadi Bentang Sayloko, ketika dikuasai Portugis.Â