Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Nostalgia yang Sakral, Saat Obor-Obor Menyalakan Desa di Malam Seribu Bulan

19 April 2021   16:42 Diperbarui: 21 April 2021   13:47 2196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga puluh lima tahun lalu, ketika usia saya baru beranjak sepuluh tahun, ingatan Ramadhan di masa lalu adalah ketika kami kecil berkeliling desa membawa dan menyalakan obor. Kami melakukan karnaval atau pawai obor. Entah saat ini masih berlangsung atau tidak. 

Yang jelas, pawai obor, keliling desa di malam dua puluh tujuh ramadhan atau kemudian dikenal sebagai malam pitu likur atau malam lailatur qadar adalah suatu peristiwa yang tak lekang dimakan zaman. Kegembiaraan larut dalam pawai obor, seperti ingatan tentang masa lalu yang sangat syahdu dan sakral. 

Obor-obor membuat desa kami yang saat itu belum ada listrik menjadi terang benderang. Obor-obor seperti sedang menyalakan desa, obor-obor membuat desa terang benderang, seperti desa yang dipayungi bulan purnama, ketika itu. 

Anak-anak kecil berbaris memenuhi jalan desa. Mereka membawa obor setiap orang satu. Lalu dengan berbaris rapi dan berjalan perlahan sambil membawa obor, mereka melantunkan shalawat dan puji-pujian. Beberapa orang yang lebih dewasa menabuh rebana, sebagian ada pula yang memukul gong dan kentongan. 

Suara riuh rendah terdengar di jalanan desa yang ramai dan terang benderang oleh pawai obor itu. Obor-obor menyalakan desa, membuat desa menjadi terang benderang, seperti dipayuni purnama, ketika itu. 

Ya, pawai obor itu sebenarnya bagian dari ritual, namun saya kecil tak paham soal itu, tak paham soal bahwa pawai obor itu sebagai bagian ritual desa menyambut malam lailatul qadar, atau yang kemudian setelah saya beranjak dewasa, lebih mengenal dengan sebutan malam pitu likur. Ritual yang skaral, kata orang-orang desa saya yang lebih dewasa dari saya, saat itu. 

Ritual pitu likur pada malam tanggal 27 Ramadhan, adalah ritual sakral di desa kami, saat bulan puasa. Memang malam itu adalah malam-malam terakhir ramadhan, sebelum menyambut lebaran idul fitri. Namun, semalam yang terang benderang di desa kami itu, seperti momentum langka yang tak mudah dilupakan. 

Pawai Obor di malam lailatul qadar. Sumber: koranmalut.co.id
Pawai Obor di malam lailatul qadar. Sumber: koranmalut.co.id
Nostalgia ramadhan yang benar-benar melekat pada jiwa-jiwa anak-anak kami masa itu, sehingga hingga sekarang ingatan itu selalu hidup. Ya, malam pitu likur, malam sakral yang diagungkan di bulan penuh berkah, bulan suci ramadhan. 

Entah apa hubungannya antara malam suci lailatul qadar di malam ke dua puluh tujuh ramadhan itu dengan arak-arakan atau pawai obor. Namun ketika itu kami kecil, hanya tahu bahwa pawai obor adalah wujud rasa syukur dan gembira bahwa kemenangan yang sebentar lagi tiba, yakni hari raya idul fitri. 

Selain itu, kami tahu bahwa untuk menyiapkan obor jumlahnya ratusan buah itu, yang tampak memadati jalanan desa di malam itu, pasti ada proses awal, usaha yang serius dari para orang tua kami atau kakak-kakak kami. 

Pagi-pagi benar, matahari belum menampakkan diri sepenuhnya, udara dingin dan segar, penduduk sudah sibuk pada pagi buta itu. Tampak beberapa pemuda, keluar dari rumah, membawa parang dan seutas tali, dililitkan di pinggang juga digantung di pundak. Mereka tampak semangat, beberapa orang tua mengiringi langkah mereka. 

Mereka hendak memotong bambu, beberapa ruas bambu disiapkan untuk pawai obor sebentar malam. Begitulah kira-kira persiapan malam pawai obor itu, untuk menyambut malam lailatul qadar. 

Usai tarawih dan tadarus, saya kecil melihat para santri desa di masjid-masjid atau langgar di beberapa lingkungan desa setingkat RW menyiapkan obor, kapas atau kain dan minyak tanah. Mereka sudah siap menyalakan desa, membuat terang benderang desa dengan nyala obor yang berantai di sepanjang jalan desa. 

Saya kecil dan ratusan anak-anak lainnya sudah bersiap, berbaris sambil memegang obor. Obor tinggal dinyalakan, beberapa rumah juga memasang obor di halaman dan pagar rumahnya, yang rata-rata terbuat dari pagar bambu, waktu itu. 

Beruntung penulis bisa mengabadikan ingatan tentang malam ke duapuluh tujuh ramadhan di masa kecil dulu, walaupun ingatan itu pasti tidak utuh dan banyak yang terlupa.  

Peringatan malam Lailatul Qadar adalah sebuah peringatan yang umum dilakukan oleh komunitas Islam,begitu juga dikampung saya, tempat masa kecil saya dulu. Walaupun masa kecil dulu, saya tidak paham benar tentang segala ritual itu, yang saya pahami hanya tradisi pawai obor di malam duapuluh tujuh ramadhan atau malam pitu likur. 

Ingatan masa kecil itu hanya menangkap bahwa suasana ramadhan pada malam itu, riuh rendah dengan alunan shalawat ratusan orang, baik anak, remaja, pemuda, pemudi, orang tua di jalanan desa sambil membawa obor dan menabuh rebana, gong dan kentongan. 

Suasana yang sehari sebelumnya diramaikan oleh para orang tua dan pemuda menyiapkan bambu-bambu untuk membuat obor, mengisi dengan minyak tanah dan menyumpal dengan kain dan kapas di ujungnya yang akan dinyalakan. 

Suasana malam pawai obor yang hampir seluruh penduduk keluar rumah di malam yang terang benderang karena pawai obor itu. Suasana malam yang terang benderang, riuh rendah suara shalawat dan puji-pujian, malam yang sakral juga syahdu yang bercampur riuh rendah gelak tawa dan canda serta keceriaan anak-anak membawa obor. 

Nostalgia suasana ramadhan saat kecil dulu, yang paling terngiang dan teringat adalah nostalgia sakral, ketika obor-obor menyalakan desa di malam seribu bulam, malam pitu likur atau malam keduapuluh tujuh ramadhan. 

Ritual sakral bulan ramadhan yang tak pernah lekang dimakan zaman. Tapi entah sekarang, ketika zaman sudah memasuki era digital, adakah pawai obor masih dinyalakan di seluruh Nusantara atau sebagian sudah hilang? 

Demikian...romansa dan nostalgia ramadhan yang tak terlupakan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun