Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengungkap Perjumpaan Budaya Tionghoa Pada Karya Arsitektur Nusantara

12 Februari 2021   21:56 Diperbarui: 15 Februari 2021   22:03 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Motif Hias Naga pada ti9ang masjid Kuno di Pulau Haruku. Maluku. Sumber: Balai Arkeologi Maluku, 2011

Sejak abad pertengahan dimulai abad 10 Masehi, Indonesia merupakan salah satu pintu gerbang dan jalur padat lalu lintas perdagangan. Puncaknya, sejak abad 15 M hingga abad 19M, wilayah Nusantara menjadi area lalu lintas perdagangan dari Arab, Tionghoa, India dan Eropa. 

Maka tidak heran, ketika mobilitas perdagangan itu menciptakan pertemuan silang budaya antar para pedagang dari negeri seberang di wilayah perairan Nusantara. 

Pedagang utama yang memainkan peran itu antara lain adalah pedagang Arab dan Tionghoa. Pengaruh budaya, adalah salah satu bentuk transformasi yang paling jelas diamati dan meninggalkan tapak-tapaknya yang hingga sekarang dapat diamati dan dijejaki. 

Salah satu bentuk pengaruh budaya yang paling populer adalah pengaruh arsitektur, produk kebudayaan yang tak dipungkiri berkembang terus dan perkembangannya dipengaruhi berbagai anasir kebudayaan dari banyak medan pengaruhnya. 

Di Nusantara, sejak abad 16 M, pengaruh yang cukup melekat dalam perkembangan arsitektur adalah pengaruh budaya Tionghoa. Bukti ini secara arkeologis masih dapat diamati jejaknya pada bangunan-bangunan kuno, termasuk masjid kuno. Pada saat bersamaan budaya Nusantara dan  Tionghoa saling menjumpai. 

Akulturasi Budaya Tionghoa dan Budaya Nusantara

Kajian yang menarik menyangkut arsitektur kuno, adalah kemungkinan adanya pengaruh arsitektur dan pertukangan Tionghoa, sebagaimana yang telah dibahas oleh Handinoto (2010) menyangkut pengaruh pertukangan Tionghoa pada bangunan masjid Kuno di Jawa abad 15-16 M.  

Di Jawa ia menyebut beberapa masjid Kuno yang mendapat pengaruh Tionghoa, antara lain masjid Agung Demak (1479), Masjid Kudus (1537) dan Masjid Mantingan di Jepara (1559). 

Ketiga masjid itu dikatakan mendapat pengaruh Tionghoa, kesimpulan ini dihasilkan dari identifikasinya baik dari konstruks masjid, motif hias dan sebagainya (Handinoto, 2010).  

Menyangkut pengaruh Tionghoa terhadap wilayah nusantara, Ahmad Sanusi Hasan (2010) mengatakan kerajaan champa di Indo Cina memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam dan arsitektur Tionghoa. 

Bagian selatan Asia Tenggara, dikenal sebagai wawasan nusantara melayu, yang merupakan Indonesia dan Malaysia. 

Berbagai kesimpulan menyangkut pengaruh arsitektur Tionghoa ini, berkaitan dengan banyak teori dan kesaksian yang diajukan oleh banyak ahli sebelumnya menyangkut pengaruh Islam di Jawa, antara lain (Qurtuby, 2003), Graaf (1998), Dennys Lombart (1994), Mulyana (2005) dan banyak ahli lainnya. 

Mereka mengajukan teori yang sama, yang menyatakan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara (terutama di Pulau Jawa), dibawa oleh komunitas Tionghoa-Muslim (Handinoto, 2010:152). 

Hal ini juga berimbas pada arsitektur masjid, yang berdasarkan teori dan kesaksian para ahli itu merupakan pengaruh Tionghoa. Qurtuby (2003), juga Handinoto (2010) mengatakan pada abad 15-16 M merupakan masa yang disebutnya sebagai Sino-Javanese Muslim Culture.

Bukti arkeologi di lapangan seperti konstruksi Masjid Demak (terutama soko tatal penyangga masjid), ukiran batu padas di masjid Mantingan dan hiasan piring porselin dan elemen tertentu pada masjid Menara di Kudus. 

Selain juga, ukiran kayu di Gresik, elemen-elemen yang terdapat di keratorn Cirebon berserta taman Sunyaragi dan sebagainya semuanya menunjukkan adanya pengaruh pertukangan Tionghoa yang kuat sekali (Qurtuby 2003 dalam Handinoto, 2010:153).

Pengaruh Tionghoa kemungkinan juga dapat diidentifikasi di beberapa bangunan tradisional baik, keraton, masjid maupun makam di wilayah Cirebon, yakni dengan adanya seni hias tempel.

Seni hias tempel keramik merupakan salah satu budaya yang masih bisa disaksikan sampai saat ini, yang banyak dijumpai pada bangunan-bangunan tradisional baik keraton, masjid, maupun makam. 

Sementara itu  seni huas temple keramik Tionghoa dengan motif cerita salah satu bagian dari Alkitab Perjanjian Lama, pada salah satu bagian Masjid Abang Panjunan menunjukkan adanya toleransi ataupun integrasi antar agama (Wibisono, 2004:3).

Bangunan masjid Abang Panjunan, Cirebon dengan hiasan dinding keramik Tionghoa. Sumber; Naniek.H Wibisono, Puslit Arkenas, 2003
Bangunan masjid Abang Panjunan, Cirebon dengan hiasan dinding keramik Tionghoa. Sumber; Naniek.H Wibisono, Puslit Arkenas, 2003
Bahkan menurut Graaf (1985), ada kemungkinan seni rupa Jawa dan Bali zaman pra Islam memiliki lebih banyak unsur dan motif Tionghoa daripada yang diungkapkan hingga kini.

Pengaruh Arsitektur Tionghoa dan Cerita Asal-Usul Leluhur Nama Marga di Maluku

Secara tipologis, merujuk pada arsitektur masjid kuno di Jawa, yang banyak dipengaruhi unsur budaya Hindu-Jawa, maupun budaya Jawa. Soal pengaruh pertukangan Tionghoa pada wajah arsitektur masjid di beberapa wilayah Nusantara, adakah pengaruh itu juga dapat dijumpai di wilayah Maluku? 

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa masjid kuno di Maluku, pada umumnya juga memiliki kesamaan dengan masjid Kuno di Jawa, terutama dalam arsitektur atap, yakni atap tumpang atau susun, yang merupakan pengaruh Hindu-Jawa. 

Tentang pengaruh pertukangan Tionghoa, jika fakta di Jawa digeneralisasi untuk kasus masjid Kuno di Maluku, beberapa diantaranya dapat diterapkan dan dapat menjadi bahan analogi atau perbandingan. 

Tradisi tutur masyarakat di Pulau Haruku, Maluku terdapat cerita tentang penyebar Islam yang disebut Upuka Pandita Mahuang, yang dipercaya berasal dari Tionghoa 

Selain itu juga tradisi tutur tentang marga Pattiasina yang juga dipercaya sebagai leluhur yang berasal dari Tionghoa. Pattiasina asal kata Pati dan Sina, yang berarti Raja dari Cina (Tionghoa). Jika tradisi tutur ini menjadi acuan, maka kemungkinan besar memang terdapat pengaruh komunitas muslim Tionghoa di Maluku. 

Dari fakta di lapangan untuk arsitektur masjid, pengaruh Tionghoa tampak jelas dari ukiran motif Naga di pintu beranda atau serambi. Selain itu ukiran-ukiran yang mengantarai atap tumpang tiga, berupa motif flora, tidak menutup kemungkinan juga merupakan pengaruh unsur pertukangan Tionghoa.

Soal yang berkaitan dengan hal ini, Reid (2011) menjelaskan terlepas dari semua kontinuitas dengan masa lampau Hindu-Jawa, masjid di Indonesia abad ke 16 dan 17 M mempunyai bentuk khasnya sendiri, yang pada dasarnya sama dari Aceh di barat hingga Maluku di Timur. 

Bangunan utamanya persegi empat, seringkali dilengkapi serambi di sebelah timur, tembok tipis dan empat tiang kayu besar untuk menunjang atap jerami yang berlapis-lapis. Kemudian, adanya tembok bata yang kuat biasnaya mengelilingi keseluruhan kompleks. 

Asal-usul pola ini tidak banyak diperdebatkan, khususnya apakah atap berlapis-lapis tersebut kelanjutan dari penggambaran Gunung Meru Hindu-Jawa, seperti yang terdapat di Bali (Guillot 1985, Tjandrasasmita, 1985) atau pola yang berasal dari Tionghoa muslim seperti di Demak dan Jepara abad 15 M (Slametmulyana, 1976). 

Menurut Reid (2011) bisa jadi orang-orang Tionghoa membantu pembangunan beberapa masjid besar, tapi gaya masjid yang sama tidak akan diterima di seluruh kepulauan Asia Tenggara pada abad ke 16 kecuali jika gayanya turut mengambil pola-pola agama dan bangunan yang lebih tua. 

Salah satu ciri spesifik dan mungkin yang paling menonjol adalah arsitektur masjid di Pulau Haruku, yakni Masjid Kuno Hatuhahamarima di Negeri Rohomoni, dengan motif hias naga yang sangat identik dengan pengaruh budaya Tionghoa. 

Bahkan, lebih dari itu terdapat beberapa masjid kuno di Maluku, yang memiliki hiasan berbentuk simbol buah nenas. Menurut Ahli Feng Sui yang mengetahui mengenai arti dan makna dalam sembahyang etnis Tionghoa, Bambang ES mengatakan, buah nenas merupakan lambang mekarnya rezeki. (https://medanbisnisdaily.com/).

Motif Hias Naga pada ti9ang masjid Kuno di Pulau Haruku. Maluku. Sumber: Balai Arkeologi Maluku, 2011
Motif Hias Naga pada ti9ang masjid Kuno di Pulau Haruku. Maluku. Sumber: Balai Arkeologi Maluku, 2011
Simbol buah nanas, pada masjid kuno di Desa Kaitetu, Maluku Tengah. Sumber: Balar Maluku
Simbol buah nanas, pada masjid kuno di Desa Kaitetu, Maluku Tengah. Sumber: Balar Maluku
Menurut Anas Biranul (2007), temuan arkeologis memastikan bahwa hubungan naga (lung/long) dengan kebudayaan Tionghoa telah berlangsung sejak 6000 tahun. Bentuk naga muncul dalam berbagai ungkapan seni Tionghoa, seperti pada arsitektur, corak kain dan keramik.

Naga sarat dengan makna simbolis. Naga merupakan binatang mitologis dalam kebudayaan Tionghoa dan dianggap sebagai lambang ras Tionghoa yang dianggap memiliki nilai-nilai magis, spiritual, kebaikan dan kemakmuran serta kebijaksanaan. 

Sebagai simbol kebaikan, naga merefleksikan kebesaran dan restu. Naga dihubungkana dengan konsep maskulin, cahaya, dan matahari dalam kosmologi Tionghoa (Yang) yang dikaitkan dengan cuaca, air dan hujan serta penguasa sungai, lautan, air terjun. 

Ia menghadirkan intisari kehidupan, melahirkan kehidupan serta melimpahkan kekuasaan dalam bentuk empat musim, membawa air hujan, kehangatan matahari, angin dari lautan, dan tanah dari bumi.

Pada dasarnya, arsitektur bangunan kuno di Nusantara, juga termasuk di Maluku, dapat diidentifikasi untuk menghasilkan kesimpulan tentang bagaimana perjumpaan budaya Tionghoa dengan budaya Nusantara. 

Demikian,

Salam Budaya....Salam Lestari

Salam Hormat

 

Bahan Bacaan : 

1.  Guillot, C dan H. Chmabert-Loir, 2007 Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Jakarta. Komunitas Bambu
2. Handinoto, 2010 Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada Masa Kolonial.Yogyakarta. Graha Ilmu.
3. Hasan, Ahmad Sanusi, 2010 Islam Came to South East Asia From China:Evidence from Traditional Chinese Roof Design in Kampung Laut's Old   Mosque, Malaysia. Canadian Social Science. Vol. 6, No. 5, 2010, pp. 01-15 ISSN. 1712-8056
4. Handoko, Wuri, 2011 Jejak Pengaruh Budaya Tionghoa Pada Perkembangan Islam di Maluku. Kapata Arkeologi Vol. 7 No. 12
5. Reid, Anthony 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid 1: Tanah Di Bawah Angin. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
6. Wibisono, H. Naniek, 2017 Seni Hias Tempel Keramik Kesultanan Cirebon: ToleransiDalam Kebhinekaa. Kapata Arkeologi Vol 13 No. 2
7. Tjandrasasmitha, Uka 2009 Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun