Di Minahasa Selatan, banyak ditemukan tinggalan megalitik menhir atau batu tegak yang dikenal dengan Batu Tumotowa, juga lesung dan lumpang batu, yang pada masa lampau menandai sebagai perkakas yang digunakan sebagai ritual sakral, selain itu juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk perlatan menumbuk biji-bijian.Â
Bahkan dalam beberapa tulisan saya sebelumnya, menyimpulkan bahwa daratan Minahasa, terutama di bagian selatan, merupakan daerah sentra pangan, memiliki surplus pangan sehingga mampu swasembada pangan.
Ketahanan pangan masa lampau, menjadi pelajaran berharga untuk pengembangan pertanian dan olah pangan di masa kini dan di masa yang akan datang.Â
Demikian juga di Minasahasa lainnya, semisal Minahasa Tenggara, meskipun bukti-bukti temuan waruga terbilang minim, namun banyak ditemukan pula lesung dan lumpang batu. Karakter budaya yang sama dengan wilayah Minahasa Selatan.Â
Dengan demikian, warna budaya antara Minahasa dan Minahasa Utara dengan Minahasa Sleatan dan Minahasa Tenggara berbeda, menunjukkan kemultibudayaan masa lampau dengan jelas dapat dilihat.Â
Minasaha dan Minahasa Utara, identik dengan peti kubur batu waruga, sedangkan di Minahasa Selatan dan Minahasa Tenggara identik dengan budaya lesung dan lumpang batu.Â
Meskipun berbeda karakter warisan budaya bendanya, namun kedua wilayah itu menunjukkan karakter tradisi dan budaya tak benda yang sama, yakni tradisi kerjasama dan gotong royong yang kuat.Â
Warisan budaya itu, dapat memberikan pelajaran penting berdasarkan nilai dan makna kebudayaannya tentang sejarah perkembangan peradaban sejak masa lampau ribuan tahun lalu, hingga masa sekarang di era kemajuan teknologi.Â
Kita lihat, tradisi Mapalus atau gotong royong hingga sekarang masih dipraktekkan, tidak saja pada masyarakat tradisional di pedesaan, maupun masyarakat yang kehidupannya lebih modern di perkotaan.Â