Tapi bener, sepanjang tahun 2020 ini saya memang terlalu serius, sampai-sampai tidak pernah menonton televisi, termasuk nonton acara hiburan dan komedi. Semuanya terasa garing. Mungkin di mata, hati dan otak saya, para komedian di televisi lama-lama kelihatan tidak lucu.Â
Mau komedi situasi, seperti facebooker (masih ada gak ya? hehehe), atau Opera Van Java, Talkshow dan sebagainya, semakin lama terasa semakin membosankan. Bahkan setahun ini, sepanjang tahun 2020 ini praktis saya memang hampir tidak pernah nonton acara komedi di televisi. Semua terasa garing.Â
Indonesia butuh ketawa. Ya, memang kita semua butuh ketawa. Ketawa yang mengalir alamiah, dengan hanya menonton gaya Tarzan, Kadir, Basuki, Doyok dan lain-lain, yang serasa begitu mengalir dan natural di panggung Srimulat. Gaya lawakan Srimulat, yang tampaknya lebih mewakili sense orang Indonesia pada umumnya.Â
Gaya Srimulat yang masing-masing mewakili dirinya sendiri. Bercerita tentang keseharian yang natural. Peristiwa-peristiwa sederhana yang dialami sehari-hari. Srimulat mampu membawa kehidupan kesehariannya, ke atas panggung komedi, yang membuat setiap penonton terpingkal-pingkal.Â
Gaya Srimulat yang mengalir, tidak perlu terlalu serius membaca script dan skenario. Semuanya lebih banyak bumbu improvisasi yang tidak dibuat-buat. Kalaupun dibuat-buat tetap terasa lucu dan segar karena memang identik dengan kesehariannya.Â
Tapi, panggung Srimulat sekarang justru sudah tidak ada. Dan rupanya, gaya Srimulat ternyata juga tidak menggenerasi. Kenapa? Karena kita sekarang semuanya sudah terlalu serius. Srimulat tergerus zaman.Â
Gaya Srimulat, seperti tidak bisa direplikasi atau diduplikasi. Tidak bisa ditiru oleh generasi pelawak zaman now. Sayangnya pula, ternyata para komedian Srimulat, tidak menurunkan bakat melawak kepada anak-anaknya.Â
Mengapa tidak ada regenerasi pelawak Srimulat? Karena zaman now melahirkan generasi-generasi yang terlalu serius dengan gaya zamannya. Zaman sekarang.Â
Pelawak atau komedian zaman now, kehilangan jati dirinya. Melawak di televisi, kehilangan substansi. Semakin lama semakin kehabisan materi. Kemudian mlipir, bicara politik, bicara hal-hal lain yang sebenarnya tidak lucu. Kalaupun dibuat lucu, sangat sementara, lalu garing kembali.Â
Dibikin lucu, dipaksakan lucu, akhirnya penonton justru ngenes, yang dilihatnya lucu bukan lawakannya, tapi justru lucu melihat komedian tak mampu lagi melucu atau melawak.Â
Belum lagi, komedian yang sibuk dengan kehidupannya sendiri di luar panggung. Disorot kamera, sampai seluk beluk kehidupan dapur dan kamar tidurnya. Sibuk melayani gosip atau melempar gosip. Lalu ide lawakannya jadi ambyar.Â