Dulu sekali, zaman nenek kita, istri selalu identik dengan sumur, dapur, kasur. Itu dulu sekali, kemudian semua stereotype itu dibongkar oleh R.A Kartini, dengan perjuangan emansipasi wanitanya.Â
Sejak itu, wanita mendapat tempat yang lebih layak dalam kontruksi sosial dan lingkungannya. Termasuk soal peran wanita dalam setiap aspek kehidupan, khususnya jika bicara tentang Indonesia.Â
Dalam bidang politik, bahkan wanita diberi porsi tersendiri melalui regulasi yang mengikat, yakni ambang batas minimal 30% senat atau DPR, diisi oleh kaum wanita.Â
Bagaimana dalam rumah tangga? Soal peran istri dalam urusan penghasilan keluarga? Sebenarnya beberapa waktu lalu, topik pilihan Kompasiana soal tukar peran Istri dalam rumah tangga, sedikit banyak berhubungan dengan soal ini. Yakni istri bekerja untuk menambah penghasilan suami. Lalu kemudian pertanyaan semakin berkembang lagi, bagaimana jika istri memiliki penghasilan lebih besar daripada suami?
Dalam kacamamata konstruksi sosial, khususnya soal kesetaraan gender, fenomena ini sebenarnya biasa saja. Apa yang salah jika istri mempunyai penghasilan lebih besar.Â
Hal ini karena ruang untuk itu memang sudah terbuka lebar. Hanya sikap suami saja yang perlu dipertanyaakan, soal gengsi, harga diri dan sebagainya. Ini soal stigma suami bahwa jika suami penghasilannya lebih rendah, menurunkan derajat dan wibawa suami.Â
Itu khan stigma, yang sebenarnya dilahirkan oleh pikiran negatif dan kondisi psikologis suami, karena terlanjur, memberi label bahwa istri adalah bekerja sebagai ibu rumah tangga dan mengurus anak.Â
Untuk soal ini saya pernah membahasnya dalam artikel berjudul "Relasi Suami Istri dan Bertukar Peran dalam Kacamata Sosial Budaya". Stigma pada suami yang menyebabkan seolah-olah jika istri bekerja, berprofesi dan berpenghasilan lebih tinggi dari suami.Â
Oleh karena hal itu maka suami dianggap sebagai kepala rumah tangga yang lemah, kurang berwibawa dan penghormatan terhadap suami menjadi berkurang kadarnya.Â
Itu adalah stigma pada suami, yang sebenarnya lahir dilatarbelakangi oleh tradisi patrilineal (garis ayah, laki-laki) sebagai tolak ukur dalam pemosisian peran laki-laki dan ayah dalam kehidupan sosial. Juga oleh kondisi psikologi sosial yang turut mengkondisikan lingkungan sosial yang sedemikian sudah terbentuk.Â