Pernahkah sahabat berpikir, mengapa hampir setiap rumah makan, selalu menyediakan menu makan ayam dan telur? Warung Padang, warung nasi campur, dan warung nasi selera nusantara. Makanan Jawa, makanan Sunda, makanan Bali, dan sebagainya.Â
Kalau warung Coto Makassar, khas Makassar hanya menyajikan menu khas daging dan jeroan dengan bumbu coto dan kuah santan campur kacang. Rawon, Soto Banjar, Soto Betawi dan lain-lain, itu khas mewakili hidangan berdasarkan ciri kedaerahannya masing-masing. Itupun kadangkala juga disertai menu makan ayam dan telur.Â
Hidangan makan ayam dan telur, itu tidak mengenal sekat etnisitas. Semua hidangan selera nusantara, selalu dihidangkan ayam dan telur. Ayam dan telur, sepertinya mewakili selera nusantara. Pada umumnya, warung nasi campur selalu terhidang menu telur dan ayam dalam berbagai varian.Â
Selain soal kultur, ada filosofi khas tentang ayam dan telur. Ini bukan sekadar pertanyaan klasik, tentang duluan mana ayam dengan telur, yang kini telah ada jawabannya, yakni ayam lebih dulu ada, dibanding telur.Â
"Sejak lama diduga telur yang lebih dulu ada. Tapi, sekarang kita punya bukti sains yang membuktikan bahwa faktanya, ayamlah yang lebih dulu ada," kata Dr Colin Freeman dari Universitas Sheffield yang bekerja bersama sejawatnya di Universitas Warwick (Liputan6).Â
Rasa-rasanya, terlalu jadul kalau kita masih memperdebatkan mana duluan ayam atau telur. Sudah terjawab oleh sains. Namun, apa filosofi tentang ayam dan telur?Â
Lalu apa hubungannya dengan menu hidangan makanan. yang bahkan di Indonesia sangat familiar karena hampir selalu ada di setiap menu hidangan sehari-hari?Â
Jadi bukan pertanyaan jadul tentang mana duluan antara ayam dan telur, yang terkesan memposisikan ayam dan telur menjadi dua entitas (baca: obyek) yang berbeda.Â
Tetapi pertanyaan kenapa ayam selalu bersanding dengan telur, sebuah pertanyaan yang mengandung narasi bahwa ayam dan telur adalah satu kesatuan entitas yang tak terpisahkan.Â
Jadi hidangan makan ayam dan telur bukan semata soal hidangan makanan, namun ketika hadir dalam setiap menu hidangan di seluruh nusantara, dibalik hal itu mengandung pertanyaan filosofis tentang proses penciptaan dan kelahiran.
Ayam sebagai simbol penciptaan dan telur sebagai simbol kelahiran, meskipun telur dihasilkan dari proses penetasan. Namun ketika ayam menetaskan telur, sesungguhnya adalah proses melahirkan generasi baru, anak ayam yang ditetaskan dari sebuah telur.Â
Mengapa telur selalu dihidangkan dalam perayaan Maulid Nabi? dan juga perayaan Paskah? Ini adalah pertanyaan tentang sakralitas telur sebagai menu hidangan.Â
Hidangan makan ayam dan telur juga selalu terhidang dalam setiap acara syukuran di Nusantara pada umumnya. Sepanjang yang penulis ketahui acara baca doa syukur di Jawa, Maluku dan Sulawesi.Â
Sebagian diantaranya mengenal tradisi nasi berkat atau bancaan ataupun kenduri (istilah di Jawa), semacam syukuran doa selamat, dimana selesai melakukan doa syukur, para undangan yang ikut melakukan doa.Â
Lalu ketika ritual doa selesai, meraka pulang membawa berkat (besek, istilah Jawa semacam tempat terbuat dari anyaman bambu yang kini lebih sering digantikan dengan Dos dari kertas), yang berisi nasi beserta sayur dan lauk pauk yang selalu ada diantaranya adalah ayam dan telur.Â
Dengan demikian, ayam dan telur bukan hanya hidangan makanan yang lezat, namun juga mengandung makna sakral di dalamnya, karena selalu dihidangkan di setiap ritual-ritual keagamaan dan adat.Â
Pada hampir seluruh wilayah nusantara, tradisi doa selamat atau doa syukur selalu dilakukan, dengan cara doa bersama. Dan dalam setiap doa bersama, selalu dilakukan acara makan bersama.Â
Tradisi ini sebenarnya sudah ada sejak masa awal peradaban sejarah, ribuan tahun yang lalu. Masyarakat Nusantara, mengenal tradisi doa bersama dalam setiap aktivitas yang membutuhkan ritual khusus.Â
Doa bersama, adalah dikenal sejak ribuan tahun lalu, ketika masyarakat nusantara mengenal pemujaan terhadap leluhur, tradisi yang kemudian terus berkembang dan hidup sampai sekarang.Â
Lalu, dalam ritual doa bersama itu, selalu diikuti dengan acara makan bersama, dengan menu hidangan ayam dan telur yang selalu ada dalam setiap hidangan doa bersama itu.Â
Di sini, ayam dan telur adalah jenis makanan yang menempati makna sakralitasnya dalam tradisi budaya di Nusantara. Ayam dan telur bukan sekedar makanan, dalam pengertian makna profan, atau duniawiah dan perilaku sehari-hari.Â
Bukan soal hidangan lezat dan bergizi, tetapi ada makna alam ilahiah yang terkandung di dalam penyertaan ayam dan telur dalam setiap ritual doa bersama itu.Â
Ayam dan telur adalah simbol kehidupan, tentang permulaan dan kelahiran. Simbolisasi ini adalah sebagai simbol doa kepada Sang Maha Pencipta, yang memberi kehidupan dan juga mempertahankan kehidupan manusia melalui proses kelahiran.Â
Makan ayam dan telur dalam tradisi kuliner nusantara dalam berbagai praktiknya, baik sebagai hidangan sehari-hari maupun dalam acara-acara tertentu, seperti tradisi ritual, tampaknya tidak akan hilang. Makna profan dan sakral sekaligus menjadi perihal yang saling melengkapi.Â
Dengan demikian, acara makan bersama baik dalam pengertian gaya hidup sehari-hari maupun dalam tradisi ritual, selalu akan menjadi warna kehidupan nusantara.Â
Begitu juga, tradisi ritual doa bersama yang ditututup dengan acara makan bersama dengan hidangan makan ayam dan telur, juga tidak akan hilang, karena makna sakralitas itu bisa pula melebur dalam pengertian profan dan sebaliknya.
Tidak ada hal yang tabu yang perlu diperdebatkan. Hal ini karena makna profan dan sakralitas ayam dan telur menjawab soal-soal kebudayaan dan tradisi di Nusantara. Hidup dalam perilaku sehari-hari dari generasi ke generasi.Â
Demikian.Â
Salam Budaya...Salam Lestari
Salam Hormat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H