Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Arkeologi Indonesia untuk Pemuliaan Peradaban

30 Desember 2020   13:44 Diperbarui: 24 Januari 2021   17:16 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demikian, sehingga dengan sendirinya, arkeologi adalah proses awal untuk melestarikan kebudayaan, dengan kata lain, proses pelestarian kebudayaan melekat dengan arkeologi. 

Adalah McGimsey dan Davis (1977) mengatakan karena sumberdaya arkeologi bersifat tak teperbaharui, terbatas, dan kontekstual,  ada suatu kebutuhan yang mendesak untuk melestarikan (to conserve) dan mengelola (to manage) sumberdaya itu agar terjamin pemanfaatannya selama mungkin. 

Oleh karena itu di dalam pelestarian sumberdaya arkeologi, konservasi dipahami sebagai upaya untuk mendekati arkeologi berdasarkan  filosofi yang menekankan perlindungan, pelestarian, dan atau pemanfaatan yang terkelola terhadap sumberdaya budaya untuk kepentingan generasi mendatang.

Hal inilah kemudian Fowller (1982) mengatakan bahwa upaya menerapkan kemampuan pengelolaan (merencanakan, mengatur, mengarahkan, mengendalikan, dan evaluasi) untuk mencapai tujuan pelestarian dengan melalui proses politis untuk melestarikan aspek-aspek penting dari warisan budaya kita untuk kepentingan masyarakat. 

Jadi, manajemen sumberbudaya arkeologis mempunyai dasar filosofi yang mengkaitkan kegunaan warisan budaya itu untuk jati diri (cultural identity) yang diwujudkan dalam fungsi pendidikan, ekonomis lewat kepariwisataan, dan akademis untuk menjaga dan menyelamatkan sumberdaya tersebut (Henry Cleere,1990). 

Sejak awal saya menjadi arkeolog, setidaknya saya memahami bahwa pertanyaan remeh temeh tentang apakah arkeologi itu? dan apa pentingnya belajar arkeologi? sepertinya pertanyaan yang terus bergelanyut dalam pikiran-pikiran awam. 

Namun, pertanyaan yang terkesan sederhana itu sesungguhnya adalah mempertanyakan eksistensi arkeologi itu sendiri, setidaknya di Indonesia, sebagai salah satu negara bangsa dunia ketiga. 

Negara berkembang yang gandrung dengan teknologi, yang dianggap sebagain besar orang, sebagai jawaban atas persoalan-persoalan dunia kekinian. Sebenarnya, arkeologi meskipun mempelajari masa lalu, namun juga dapat menjawab soal-soal kekinian, terlebih dalam soal penguatan karakter bangsa. 

Sepuluh tahun lalu, ketika mengawali karir sebagai ASN arkeolog, saya memahami bahwa berdasarkan Rencana Induk Penelitian Arkeologi Nasional (RIPAN), setidaknya ada tujuh tema pokok penelitian. 

Ketujuh tema pokok arkeologi itu menggambarkan bahwa penelitian arkeologi bertujuan dalam kerangka pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan. 

  • Pertama: melakukan penelitian asal-usul penduduk nusantara dan proses migrasinya. 
  • Kedua: penelitian arkeologi masa prasejarah. 
  • Ketiga: penelitian arkeologi klasik Hindu-Budha. 
  • Keempat: penelitian arkeologi Islam-Kolonial. 
  • Kelima; penelitian arkeologi maritim. 
  • Keenam; penelitian etnoarkeologi, dan 
  • Ketujuh; pengembangan penelitian arkeologi publik sebagai bentuk penelitian arkeologi terapan.

Perkembangan arkeologi terus berlanjut. Narasi yang dibangunpun semakin meluas ke soal-soal kebijakan pembangunan pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun