Kita semua mungkin saat ini semakin mendengar Morowali, sebuah wilayah yang kini secara administratif terbagi menjadi dua kabupaten, Morowali dan Morowali Utara.
Kedua wilayah kabupaten itu kini semakin dikenal, pasca semakin bergeliatnya industri tambang Nikel di kedua wilayah itu. Baik Morowali Utara maupun Morowali, dua-duanya adalah wilayah yang memiliki potensi tambang nikel, yang saat ini sedang giat-giatnya dieksploitasi.
Menyangkut eksploitasi tambang, ada banyak cerita dan berita pro kontra dalam fenomena perkembangan industri tambang itu, mulai dari soal pembangunan smelter, dana bagi hasil untuk daerah dan pemerintah pusat, hingga perdebatan soal tenaga kerja asing dan tenaga kerja lokal.
Ulasan ini bukan dalam rangka memperbincangkan itu. Silakan para sahabat berselancar di dunia maya, untuk mendapat info seputar itu.
Juga kekayaan sumberdaya budayanya. Sejak dulu, puluhan ribu tahun lalu, jejak peradaban sudah berlangsung, meninggalkan artefak-artefak budaya yang penting.
Selain itu, Morowali yang hari ini kita saksikan sebagai kawasan industri nikel yang penting di dunia, sejak awal abad 17 M, juga sudah dikenal sebagai penghasil logam, yang dimanfaatkan oleh Kerajaan-kerajaan besar lainnya di Nusantara.
Morowali yang sekarang terbagi menjadi dua kabupaten, juga secara kebetulan adalah mewakili peradaban kerajaan-kerajaan yang besar pada masanya.
Di Kabupaten Morowali, yang beribukota di Bungku, pada masa lalu berdiri Kerajaan Bungku, yang kemudian ditaklukkan oleh Kerajaan atau Kesultanan Ternate.
Sedangkan di Kabupaten Morowali Utara, terkenal dengan Kerajaan Mori, yang ditaklukkan oleh Kerajaan Luwu, yang sejak zaman Majapahit dikenal sebagai penghasil logam. Bahkan konon untuk membuat berbagai senjata, Majapahit mengimpor logam dari Kerajaan Luwu.
Antara Kerajaan Luwu dan Kerajaan Mori, hanya dibatasai oleh Danau Matano. Dari berbagai penelitian arkeologi, tersingkap bahwa temuan-temuan arkeologi di dasar danau, menemukan berbagai macam artefak logam, yang menandakan bahwa produksi dan distribusi logam kedua wilayah kerajaan itu sudah sangat intensif dan berkembang.
Pemanfaatan galian bahan-bahan mineral diperkirakan telah dipraktikan oleh kerajaan Mori, sebuah kerajaan besar di Morowali. Telah ada aktivitas perdagangan tembaga pada kerajaan pedagang Belanda dan Inggris di Pelabuhan Kolonedale tahun 1600-an.
Ketika itu, perang pecah dengan kerajaan Luwu. Kerajaan Mori berhasil ditaklukan. Banyak orang Mori dimanfaatkan keterampilannya untuk membuat tembaga dan diperdagangkan dengan kerajaan Majapahit di tanah Jawa. (Mongabay)
“Bahan tambang diusahakan dalam galian skala kecil memanfaatkan sifat mineral yang laterit atau berada dipermukaan untuk usaha penempahan besi dan perdagangan logam senjata. Terutama, bagi kebutuhan peralatan perang misalnya, mata tombak, pedang, dan yang terbuat dari tembaga. Usaha itu dilakukan melalui keterampilan melebur besi,” ungkap Andika, seorang aktivis lingkungan kepada Mongabay (Mongabay, dikutip 22 Nov 2020).
Pesisir timur tenggara Morowali, adalah salah satu wilayah pesisir di bagian timur Sulawesi Tengah, yang ternyata banyak menyimpan informasi tentang jejak-jejak peradaban prasejarah.
Dari hasil peneltiian arkeologi, yang dilakukan oleh arkeolog Balai Arkeologi Sulawesi Utara, Nasrullah Azis, beberapa tahun belakangan ini, setidaknya berhasil menyingkap tabir purba yang ada di pesisir Morowali.
Jejak misteri purba, diperolehnya dari jejak hunian Gua Mbokita dan Gua Berlian yang ditelitinya sejak tahun 2018. Di gua itu diperoleh data temuan gambar cadas, melengkapi serangkaian gambar cadas di wilayah Teluk Tomori yang sudah pernah dilaporkan sebelumnya oleh Chazine (2014), seorang arkeolog Perancis.
Sebenarnya, menyangkut gambar cadas, jauh sebelum Chazine, Rustam Semma (1984), seorang arkeolog putra Morowali sudah pernah mencatatnya dalam skripsi sarjana arkeologinya, namun sayang laporan itu tidak pernah dipublikasikan, sehingga tidak tercatat sebagai referensi yang dapat diandalkan.
Gua Mbokita dan Gua berlian, yang diteliti oleh Nasrullah Azis, mencatat temuan gambar cadas yang memiliki persamaan dengan gambar cadas di wilayah Sulawesi Selatan, yang berumur Pelstosen atas, sebagaimana dilaporkan oleh arkeolog Australia Mark Aubert dan kawan-kawan pada tahun 2014.
Menurut Nasrullah Azis, yang biasa dipanggil Pak Ulla, data arkeologi gua Mbokita dan Gua Berlian, adalah data tambahan terbaru di pesisir Morowali, mengingat sebelumnya, arkeolog Jepang pada tahun 2018 juga telah melakukan serangkaian penelitian arkeologi dan menemukan data-data penting tentang peradaban prasejarah di Moorowali.
Arkeolog Jepang Rintaro Ono bekerjasama dengan para arkeolog Puslit Arkenas dan Balar Sulut juga telah melaklukan serangkaian penelitian untuk menelusuri jejak purba di wilayah Morowali. Setidaknya ada empat situs prasejarah berumur holosen awal dan plestosen akhir ditemukan Ono.
Gua prasejarah Gililana, dengan hasil pertanggalan 11 (sebelas) ribu tahun yang lalu dan 29 (duapuluh sembilan) ribu tahun yang lalu. Gua Kunefo dengan umur pertanggalan 9 (sembilan) ribu tahun yang lalu. Gua Topohuhu, dengan pertanggalan 10 (sepuluh) ribu tahun yang lalu dan Gua Topogaru dengan pertanggalan 24 (duapuluh empat) ribu tahun yang lalu.
Secara kebetulan, tetangga terdekat dari Morowali, yang berbatasan dengan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali, terdapat tiga situs potensial di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Secara kebetulan pula, baik Morowali maupun Konawe, saat ini dikenal sebagai wilayah di daratan Sulawesi yang dikenal sebagai penghasil tambang nikel yang sangat populer, dan produk hilirisasi tambang nikel seperti Lithium, konon dikenal sebagai bahan baku utama, untuk batterai untuk mobil listrik. Bahan negera-negara industri besar, bersaing untuk menanamkan investasi tambangnya.
Menurut Nasrullah Azis, arkeolog Balar Sulut, himpunan gua hunia prasejarah pada satu kawasan litologi tersebut, semakin menguatkan asumsi bahwa, ada sekelompok manusia prasejarah yang menghuni kawasan Morowali-Konawe pada masa holosen awal dan plestosen akhir.
Tentu saja, manusia di masa holosen awal dan pelstosen akhir di daratan pada kawasan Morowali dan Konawe itu melakukan okupasi terhadap alam dan lingkungannya. Jejak itu penting untuk terus ditelusuri perkembangannya, hingga munculnya masa sejarah dan perkembangan kehidupan yang lebih modern, yang berlangsung hingga saat ini.
Bagi saya, kacamata melihat fenomena sumberdaya budaya ini, adalah sebagai jejak peradaban masa lalu, yang tak pernah berhenti. Ia hadir mengikuti arus waktu, ada dan akan selalu mewarnai perjalanan peradaban, hingga Morowali tampil saat ini menjadi wilayah industri tambang yang ramai dan penuh hiruk pikuk, serta hingar bingar.
Masa lalu, mungkin saja laksana ruang sunyi, waktu yang tak dipeduli, namun fakta kehadirannya dengan jejak-jejak yang ditinggalkannya, adalah nuansa zaman yang turut menghidupi proses perjalanan zaman. Morowali, adalah bukti kekayaan masa lalu, yang tak pernah mati hingga kini.
Demikian...Salam budaya...Salam lestari..
Salam hormat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H