Salah satu daerah yang paling terdampak akibat pandemi Covid-19 di Indonesia adalah Bali. Demikian, kata Bli Gde, seorang putra asal Singaraja Bali, yang sehari-harinya bekerja sebagai sopir taxi Bandara Ngurah Rai, Bali.Â
Bli Gde, setiap harinya mangkal di Bandara Ngurah Rai, untuk menawarkan jasa transportasi, mengantar tamu dari Bandara menuju tempat tujuan. Saya sangat percaya cerita Bli Gde, karena saya juga melihatnya sendiri.Â
Malam itu baru sekitar jam delapan malam, namun Kota Denpasar, tampak sudah sepi. Beberapa ruas jalan tampak lengang, pertokoan dan rumah makan juga sebagian besar tutup. Yang jelas, sepanjang jalan dari Bandara menuju kawasan Uluwatu, banyak toko  yang tutup. .Â
Saya berbincang-bincang dengan Bli Gde, saat meminta jasanya mengantar dari Bandara ke salah satu hotel di kawasan Uluwatu, Denpasar Selatan. Kebetulan tiga hari saya berada di Bali. Meskipun selama tiga hari itu tidak banyak melakukan perjalanan, karena kesibukan mengikuti acara kedinasan.Â
Tapi, saya sedikit banyak mendapat informasi dari Bli Gde, juga mengamati sepanjang jalan dari Bandara menuju Uluwatu. Saat itu, saya tiba malam hari di Bandara Bali, sekitar pukul 8 (delapan) Â malam. Tapi beberapa ruas jalan, dari Bandara menuju Uluwatu, pada malam jam delapan itu sudah sepi.
Sebelumnya, saya juga melihat sendiri, Bandara juga tampak sepi, untuk ukuran Bandara besar seperti di Denpasar itu. Saya ingat betul, ketika terakhir mengunjungi Bali, tahun 2016 lalu, Bandara Ngurah Rai, sangat ramai, bahkan waktu itu bandara baru belum selesai dibangun. Namun ketika mengunjungi Bali kemarin, tanggal 19-21, tampak sekali bedanya. Bali memang masih sepi.Â
![Salah satu ruas jalan dekat Bandara Ngurai Rai yang tampak sepi pada pukul delapan malam waktu setempat. Foto (19 Nov 2020)Sumber: dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/21/bali-5fb925778ede4834bb156b52.jpg?t=o&v=770)
Namun sejak pandemi, hampir tidak ada turis baru yang datang ke Bali. Demikian kata Bli Gde, yang mengaku tinggal di rumah kos-kosan di wilayah kota Badung.Â
Sejak pandemi pula, banyak hotel sepi, dan karyawan banyak yang dirumahkan hingga kini. Situasi yang sebenarnya sangat disesalkan, namun harus diterima, karena pemasukan hotel, utamanya dari ramainya kunjungan tamu menginap di hotel. Praktis hotei-hotel sepi, bahkan hotel-hotel kecil banyak yang tutup alias gulung tikar.
Selain hotel, masih menurut Bli Gde, banyak juga restoran dan rumah makan tutup. Untuk restoran dengan modal besar masih bertahan walaupun senin kamis, namun rumah-rumah makan kecil, sudah banyak yang gulung tikar.
Namun ketika saya tanya sambil menunjuk beberapa restoran besar yang sudah tutup, menurutnya memang banyak restoran besar yang tutup, namun mereka masih mempertahankan aset tanah dan bangunan. Usahanya sendiri sudah tutup entah sampai kapan.Â
"Lihat saja sendiri mas, jam delapan restoran sudah gelap, memang mereka sudah tutup sejak pandemi, hanya dijaga satpam saja, lampunya pun hanya dinyalakan bagian terasnya saja. Pemiliknya sudah lama meninggalkan Denpasar" kata Bli Gde menjelaskan.Â
![Salah satu hotel di kawasan Uluwatu Raya, Jimbaran, Bali. Sumber: Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/21/img20201120184926-1-5fb927d4d541df70a3333ae4.jpg?t=o&v=770)
Katanya, saat normal para investor berbondong-bondong datang ke Bali, buka usaha dan mengambil keuntungan dari Bali sebagai pusat pariwisata Indonesia dunia. Begitu pandemi, situasi tidak menguntungkan, para investor itu menutup usahanya, merumahkan karyawan dan meninggalkan Pulau Bali.Â
"Tapi, namanya investasi ya begitulah, tidak mungkin investor bertahan dalam situasi begini, kalau usaha sepi karena pandemi, jadi mereka mungkin sementara menutup usahanya, sampai situasi normal kembali" kata Bli Gde dengan logat Denpasarnya yang kental.Â
Cerita lucu juga mengenaskan, juga saya dengar dari Bli Gde, ia menceritakan seorang pengusaha kecil yang memiliki usaha restoran dan hotel kecil. Akibat pandemi, usahanya bangkrut, karena perputaran uang macet, penghasilan seret.Â
Sementara pengusaha itu harus menutupi biaya operasional dan juga pengembalian pinjaman bank untuk perputaran usahanya. Ketika pandemi, pengusaha itu stress dan mengalami gangguan kejiwaan. Cerita yang miris, namun suatu fakta yang terjadi akibat pandemi.Â
![Pemandangan di Bandara Ngurai Rai Bali, kondisi penumpang menumpuk hanya di salah satu pintu keberangkatan. Namun, tampaknya tanda-tanda pariwisata mulai bergeliat kembali. Sumber: Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/21/img20201121121945-1-5fb92836d541df24c13fdf42.jpg?t=o&v=770)
Situasi yang secara gamblang dapat kita lihat fenoemenanya di Bali. Hal ini karena Bali memang tempat sebagai pusat untuk setiap orang menanamkan invetasi bidang usaha jasa, karena Bali adalah pusat pariwisata.Â
Tempat di mana turis baik luar negeri maupun domestik menjadi tuan yang baik. Namun dampak pandemi, hampir merusak segalanya, menyulitkan iklim usaha di sana.Â
Demikian juga jasa trasnportasi. Bli Gde mencontohkan dirinya, sejak pandemi, penghasilan tidak menentu, padahal penghasilan hanya tergantung dari banyaknya tamu yang meminta jasa antaran dari taxinya.
Hari ini saja katanya, baru mengantar saya, artinya seharian baru dapat satu kali mengantar penumpang. Biasanya, hari-hari normal, taksinya bisa bolak balik dari pagi sampai malam, mengantar tamu. Pandemi, betul-betul membuat susah, sepi untuk jasa transportasi.Â
Saat keluar dari Bandara Ngurai Rai, bandara domestik, kami melintasi Bandara Internasional Ngurah Rai. Menurut Bli Gde, sudah beberapa bulan bandara itu terbengkalai alias tidak dimanfaatkan.Â
Menurutnya kemungkinan bulan maret baru difungsikan kembali. Dampak belum difungsikannya kembali bandara internasional itu, terlihat dari tidak adanya turis yang datang ke Bali. Kondisi ini sangat memprihatinkan untuk Bali, yang mengandalkan pariwisata sebagai sektor utama pendapatan daerah dan ekonomi masyarakat.
Saya tiba di hotel di kawasan Uluwatu Raya, jam 9 (sembilan) malam. Salah satu hotel besar di kawasan itu. Kawasan yang biasanya sangat padat dan ramai.Â
Di wilayah tempat wisata Garuda Wisnu Kencana (GWK), yang konon diakui sebagai patung terbesar ketiga di dunia. Kawasan wisata itu ditutup untuk umum sejak pandemi. Hal ini berdampak pula, banyak hotel kecil dan restoran sepanjang kawasan itu yang mati suri.Â
![Memotret GWK dari salah satu hotel di Uluwatu. Hingga kini GWK masih ditutup untuk umum. Sumber: Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/21/untitled-5fb9267dd541df077a3b05a4.jpg?t=o&v=770)
Meskipun rombongan tamu dari berbagai daerah, termasuk saya mencapai hampir seratusan, namun belum seberapa jika dibandingkan besarnya hotel dan kamar hotel yang tersedia di hotel besar itu. Saat registrasi saya adalah tamu ke 68 dari 114 dari berbagai daerah yang diundang panitia.Â
Harus diakui, selama ini hidup dan matinya hotel justru memang, banyak ditentukan oleh event-event yang dilakukan oleh pemerintah, yang biasanya memanfaatkan jasa hotel untuk menginapkan tamu. Bagaimanapun, kegiatan kedinasan yang menggunakan hotel memang turut memacu perputaran uang.Â
Namun akibat pandemi, pemerintah pun membatasi kegiatan perjalanan dinas yang di dalamnya termasuk komponen biaya penginapan. Kondisi ini secara makro mempengaruhi gerak perputaran uang di masyarakat.Â
Saya sempat mengobrol dengan salah satu housekeeping yang menyiapkan kamar untuk saya. Katanya, sejak pandemi sudah banyak karyawan hotel yang dirumahkan. Dirinya pun baru dipanggil kembali baru sehari kerja, karena tamu dari rombongan dinas dari kementerian.Â
Saya juga sempat bertanya, kenapa banyak pintu yang terbuka namun kamarnya gelap. Katanya, akibat pandemi dan pihak perusahaan mengalami kesulitan karena tingginya biaya perawatan, sementara beberapa bulan akibat pandemi tidak ada tamu. Banyak pintu yang rusak belum diperbaiki, juga kondisi kamar hotel yang belum dirapikan dan dilengkapi fasilitasnya.Â
"Ini masih mending pak, dua bulan lalu, lampu-lampu taman dan koridor sepanjang hotel dibiarkan mati, tidak dinyalakan, karena biaya listrik tinggi, sementara tidak ada tamu yang menginap" katanya menjelaskan soal banyaknya pintu kamar hotel yang dibiarkan rusak dan tidak diperbaiki.Â
Setelah malam itu, saya cukup merenung, akibat pandemi, ternyata dampaknya sangat nyata sekali. Matinya atau seretnya perputaran ekonomi, berdampak pada berbagai sektor, termasuk sektor jasa perhotelan. Hal ini juga berdampak, banyaknya karyawan dirumahkan dan bahkan di PHK.Â
![Pendapatan hotel salah satunya adalah kegiatan instansi pemerintah yang memanfaatkan jasa perhotelan. Sumber: Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/21/img20201120084608-1-5fb927848ede482cf46793d3.jpg?t=o&v=770)
Kehilangan mata pencaharian, juga dan karena banyak pula orang yang kehilangan kesempatan bekerja, berinvestasi. Seperti lingkaran setan, akibat pandemi sektor ekonomi terdampak, tentu saja menjadi pemikiran pemerintah, karena masyarakat juga merasakan dampaknya secara langsung.Â
Saya ingin mengutip kalimat Bli Gde, sopir taksi online Bandara Ngurai Rai, yang intinya sebagai berikut:
Kami hanya ingin diperhatikan, karena Bali memberi devisa trilyunan kepada pemerintah setiap tahunnya karena pariwisatanya. Saat pariwisata Bali sepi, kami tetap taat dan disiplin untuk membatasi aktivitas, hanya demi Bali cepat pulih kembali. Namun tanpa usaha, kami butuh pemerintah lebih peduli, terutama nasib seperi kami, yang hanya memperoleh pendapatan dari jasa pariwisata
Semoga Bali cepat pulih kembali. Semoga pandemi Covid-19 cepat berlalu.Â
Demikian. Salam HormatÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI