Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lebbing, Budaya Benda Penanda Identitas Masyarakat Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara

14 November 2020   11:32 Diperbarui: 14 November 2020   19:56 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lebbing, kubur batu di Pulau Sangihe. Sumber: Balai Arkeologi Sulawesi Utara/Sriwigati

Kepulauan Sangihe-Talaud, adalah kawasan kepulauan terluar di wilayah Provinsi Sulawesi Utara, yang kaya akan nilai penting budaya. Setelah beberapa kali saya mengulas tentang Kepulauan Talaud, kali ini saya akan mengulas tentang potensi budaya terutama sumberdaya arkeologi di kawasan Kepulauan Sangihe. 

Sangihe, adalah satu dari sekian ratus gugus pulau yang membentuk dan menjadi bagian atau wilayah administratif Provinsi Sulawesi Utara. 

Kawasan pulau yang cukup mendebarkan, karena banyaknya gunung api yang masih aktif termasuk gunung api bawah laut. Kondisi ini sekaligus juga membuat tanah subur, untuk tumbuhnya berbagai tanaman dan budidaya pertanian lainnya. 

Panorama alam Kep. Sangihe. Sumber: Balar Sulut/Sriwigati
Panorama alam Kep. Sangihe. Sumber: Balar Sulut/Sriwigati
Demikian pula Sangihe, meskipun daratan Pulau Sangihe tak begitu luas, namun keberadaan Sangihe sebagai salah satu kawasan terluar Sulawesi Utara, khususnya dan Indonesia umumnya, adalah juga penopang yang penting bagi tumbuh kembangnya perekonomian di Sulawesi Utara. 

Tak hanya itu, yang tak kalah pentingnya adalah kekayaan potensi sumberdaya budaya, juga arkeologi sebagai kekayaan yang menyematkan di dalamnya soal karakter dan jati diri bangsa. 

Catatan-catatan penting tentang hasil penelitian arkeologi, diantaranya saya peroleh dari laporan staf peneliti Balai Arkeologi Sulawesi Utara, Wiwik Sriwigati, yang cukup intens meneliti Kepulauan Sangihe. 

Ketua Tim Penelitian Arkeologi Sangihe, Sumber: Balar Sulut
Ketua Tim Penelitian Arkeologi Sangihe, Sumber: Balar Sulut
Kepulauan Sangihe merupakan jembatan penghubung migrasi manusia dan juga fauna, antara wilayah daratan Asia, khususnya Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik. Tentu saja, jika menjadi jembatan penghubung migrasi manusia, turut serta adalah transmisi kebudayaannya. 

Bukti-bukti migrasi fauna, misalnya adanya temuan fosil gajah, juga fosil binatang mamalia besar lainnya. Hal ini menjadi bukti, pernah suatu ketika di masa purba dahulu kala, Sangihe, menjadi perlintasan gajah purba, mamalia yang kini tidak akan pernah ditemukan di daratan Sulawesi. 

Salah satu sequen budaya yang menarik dan penting di Sangihe, tampaknya justru ditunjukkan pada masa jauh sesudah migrasi manusia dan fauna untuk pertama kalinya di wilayah Kepulauan Sangihe, yang bisa jadi berlangsung pada puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu tahun lalu. Meskipun beberapa bukti penanggalan tertua, belum diperoleh. 

Tim Penelitian arkeologi melakukan survei di Situs Kalinda, Kab. Sangihe. Sumber: Balai Arkeologi Sulawesi Utara
Tim Penelitian arkeologi melakukan survei di Situs Kalinda, Kab. Sangihe. Sumber: Balai Arkeologi Sulawesi Utara
Namun, sequen episode megalitik, tentu dapat kita perkirakan antara 3000-2000 tahun yang lalu, jika merujuk temuan di Kepulauan Talaud, tentang jejak awal migrasi Austronesia, 3500 tahun lalu. Masa megalitik, tentu episode dan kurun waktu sesudahnya. 

Bukti-bukti budaya prasejarah, peradaban megalitik yang ditemukan antara lain, sebaran dolmen di sepanjang pantai, Panalualeng, Kalinda, Pananaru, Dagho dan Lapango. Hingga kini penelusuran jejak-jejak megalitik masih terus berlangsung. 

Dari catatan lapangan hasil penelitian Balai Arkeologi Sualwesi Utara, sebagaimana yang dilaporkan Sriwigati, diantaranya adalah lumpang-lumpang batu. Temuan yang juga banyak tersebar di wilayah daratan semenanjung Minahasa, terutama Minahasa bagian selatan dan tenggara. 

Selain lumpang batu, temuan yang terbanyak adalah kubur batu. Setidaknya tercatat 39 situs, dengan temuan kubur batu mencapai 644 buah yang tersebar di dua Kecamatan, yakni Kecamatan Manganitu Selatan dan Kecamatan Tamako. 

Kegiatan persiapan ekskvasi arkeologi. Sumber: Balar Sulut
Kegiatan persiapan ekskvasi arkeologi. Sumber: Balar Sulut
Proses awal ekskvasi arkeologi. Sumber: Balar Sulut
Proses awal ekskvasi arkeologi. Sumber: Balar Sulut
Temuan ini kemungkinan akan bertambah banyak lagi mengingat lokasi sumber bahan batuan berada di wilayah sekitar. Masyarakat menyebut kubur batu itu dengan nama Lebbing. Kubur batu terdiri dari batu pipih, rata, dan tidak terlalu tebal, yang diatur berbentuk kotak, dua sisi pendek dan dua sisi lainnya lebih panjang. 

Sumberdaya arkeologi, artefak yang bisu itu sesungguhnya jujur menyatakan kata dan makna, juga peristiwa masa lalu. Sehingga nilai penting artefak, data arkeologi itu dapat diungkap identitas dan jati diri masyarakatnya di masa lampau, yang nilai budaya itu diwariskan hingga kini. 

Nilai penting sejarah, yang menjadi penanda identitas masyarakat Sangihe pada masa lampau, tergambar bahwasanya di masa lampau, terjadi perisitwa migrasi manusia yang melintasi Kepulauan Sangihe.

Kemudian, migrasi manusia itu tentu membawa dan memperkenalkan pula budaya yang dikenalnya, hingga di satu episode tertentu meninggalkan jejak sejarah dan budayanya.

Migrasi manusia dari Asia ke pasifik, membawa budaya tutur Austronesia, memperkenalkan budaya bercocok tanam, disertai alat-alat sederhana di masa itu. 

Nilai Penting Agama. Selanjutnya memperkenalkan kepercayaan, ritual dan bukti-bukti kepercayaan terhadap leluhur, juga hubungan trasnsedental manusia dengan alam roh, alam gaib, kekuatan suci dan gaib di luar batas kekuatan manusia. Semua itu diperkenalkan sejak migrasi Austronesioa berlangsung. 

Kepercayaan terhadap kekuatan roh gaib, disimbolkan penggunaan batu-batu besar, sehingga dalam perkembangannya muncul varian kubur batu, perlakuan terhadap orang yang mati, dikuburkan dalam wadah kubur batu. Karena adanya kepercayaan bahwa si mati hanya jasadnya saja yang mati, namun ruhnya masih ada dan kembali ke alam gaib. 

Nilai penting kebudayaan, sumberdaya budaya, data arkeologi berupa artefak-artefak yang berserak, yang ditemukan oleh para peneliti adalah wujud dan bentuk transformasi kebudayaan. 

Juga ada transmisi pengetahuan. Bahwa nenek moyang, leluhur telah mengajarkan bercocok tanam, juga mengajarkan akan pentingnya kepercayaan terhadap ruh leluhur, kepercayaan terhadap kekuatan gaib, di luar kekuatan manusia. 

Nilai-nilai kebudayaan yang diwariskan itu, lalu berkembang dengan munculnya budaya yang berkembang dan berlanjut, keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan, Sang Maha Pencipta. 

Menciptakan masyarakat yang religius, yang percaya bahwa kekuatan dan kekuasaan manusia sangat terbatas, sehingga pada akhirnya, manusia akan tertunduk mengharapkan kekuatan dan kekuasaan dari Sang Maha Kuasa. 

Selain itu, medium ritual berupa batu-batu besar, adalah wujud budaya yang di dalamnya terdapat nilai kebudayaan yang sarat makna, antara lain persatuan dan gotong royong. 

Tidak mungkin memindahkan batu besar seukuran meja sidang atau meja rapat seorang diri. Semuanya bisa dilakukan, jika ada kerjasama dan gotong royong.

Wujud artefaktual, kubur batu ataupun dolmen, sesungguhnya mengungkap dengan jujur, bahwa manusia masa lampau sudah mengenal kerjasama dan gotong royong, lalu terbentuklah organisasi sosial untuk mengaturnya. 

Nilai Penting Pendidikan dan Pengetahuan. Bukti-bukti artefaktual, sumberdaya arkeologi yang ditemukan sekarang ini, mengandung nilai pendidikan dan pengetahuan.

Senja di Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara Sumber: Balar Sulut
Senja di Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara Sumber: Balar Sulut
Generasi muda, generasi millenial juga generasi Z, diharapkan melek budaya. Memahami peristiwa masa lalu, sebagai pelajaran untuk mendidik dan mencerdaskan. Selanjutnya, mengandung nilai penting pengetahuan, karena sumberdaya arkeologi itu dapat menjawab masalah-masalah bangsa. 

Hal ini, sehingga sebagaimana sering diucapkan oleh Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, bahwa arkeologi diharapkan menjadi solusi dalam pemecahan masalah kebangsaan dan pembangunan nasional. 

Sumberdaya arkeologi, menjembatani pengetahuan masa lalu dan masa kini. Berbagai masalah mentalitas dan jati diri bangsa, juga untuk mendidik dan mencerdaskan generasi bangsa, arkeologi diharapkan mampu memberikan konstribusi yang optimal. 

Hal kecil dapat saya contohkan, misalnya ketika persoalan-persoalan disintegrasi atau berbagai konflik komunal, arkeologi bisa tampil memberi pencerahan dan pencerdasan, bahwa leluhur sejak dulu mengajarkan harmoni. 

Bukti-bukti arkeologi sangat otentik, mengajarkan tentang kerjasama, persatuan, gotong royong pada masyarakat-masyarakat tradisional. Hal ini menjadi nilai penting yang harus ditumbuhkan bagi generasi saat ini. 

Itulah pentingnya masa depan bangsa, diletakkan pada pondasi masa lalunya, tentang nilai-nilai penting, keutamaan dan keluhuran budaya bangsa.
Demikian.
Salam Budaya... Salam Lestari.
Salam Hormat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun