"Iya pak, tapi rasanya tidak ada gunanya, saya hanya bisa bangga saja, kalau saya ini dulu juga pejuang, walaupun sekarang ditinggalkan anak-anak, dan juga dilupakan orang" kata Mbah Sastro tampak sedih.Â
"Maafkan kami Mbah Sastro" jawabku penuh sesal, selama ini membiarkan saja seorang veteran, mantan pejuang, setiap harinya memikul berat dagangannya.Â
Menyesal, karena setiap saat melihat Mbah Sastro yang tua renta itu memikul  beban di pundaknya yang renta, sendirian. Tak pernah mempedulikan ketika di depan kantor, Mbah Sastro menyandarkan tubuh rentanya di besi pagar yang angkuh.Â
Duduk bersimpuh beralaskan koran di atas trotoar jalan yang berdebu. Menjajakan dagangan untuk mengurangi beban pikulannya. Dan sudah selama ini, baru memperhatikannya.Â
Mungkin aku akan mengajak Mbah Sastro ke rumahku, mengurusnya seperti orang tua sendiri. Sebagai tanda balas jasa, karena perjuangan Mbah Sastro pula di masa lalu. Kemerdekaan aku nikmati sekarang.Â
Aku bisa bekerja dan bisa menikmati hidup, menerima gaji dan dapat menggantungkan hidup sebagai orang kantoran. Betapa tidak adilnya hidup, dan betapa tidak tahu dirinya, jika aku tak peduli dan tak membalas jasa Mbah Sastro.Â
Sekian
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H