Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mentalitas, Kunci Membangun Budaya Kerja Efektif di Instansi Pemerintah

8 November 2020   12:48 Diperbarui: 9 November 2020   05:13 2897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mentalitas Budaya Kerja. Sumber: shiftindonesia.com

Mentalitas, adalah kunci paling pas untuk membangun budaya kerja yang efektif di sebuah instansi pemerintah. Bagaimanapun budaya kerja yang positif dan efektif terletak pada mentalitas para pelaku birokrasi itu sendiri. Aparat Sipil Negara atau ASN yang bekerja di dalamnya. 

Pengalaman saya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) bawahan, hingga sekarang ini, sepertinya mentalitas memang kunci dari sebuah kesuksesan membangun budaya kerja yang positif dan  efektif. Walaupun pengalaman ini,masih sebatas melihat dan berusaha mencapainya, belum sebenar-benarnya tercapai.

Bagaimanapun dan apapun instrumen diciptakan oleh pemerintah, namun kunci untuk menciptakan budaya kerja yang efektif memang terletak pada mentalitas aparatnya. Mentalitas pelaksananya, yaitu para ASN, termasuk saya di dalamnya. 

Menurut ungkapan, pengalaman adalah guru yang terbaik. Pelajaran yang penting ketika saya menjadi ASN bawahan, adalah soal dedikasi dan loyalitas. Bagaimanapun kita dihadapkan kondisi yang tidak menyenangkan, kita seharusnya tetap profesional. 

Mampu menempatkan diri pada situasi apapun, dan memberikan solusi yang dibutuhkan. Bukan sebaliknya, seolah memberikan solusi, namun faktanya hanya memberikan kritikan yang kesannya hanya untuk melihat sisi lemah belaka, tanpa solusi. Adakalanya justru memanfaatkan sisi lemah pimpinan untuk kepentingan pribadi.

Sebaliknya pimpinan juga tidak memaksakan pikirannya sendiri, jika hal itu tidak sesuai aturan atau pedoman.Jika harus ada win-win solusi sebagai jalan tengah, tetap perlu didiskusikan dengan pihak lain dan sebisa mungkin tidak melanggar aturan, meski untuk kepentingan bersama sekalipun. 

Saya menyadari saat ini, betapa sulitnya menjadi seorang pimpinan di tengah banyaknya kepentingan dan isi kepala para aparat pemerintah yang banyak maunya. 

Banyak maunya boleh, asal diimbangi dengan kinerja yang terbaik. Bukan mendahulukan menuntut hak, namun kewajiban diabaikan. Kondisi ini contoh budaya kerja yang buruk. 

Membangun Manajemen Terbuka, Role Model hingga Katalisator Perubahan

Lalu bagaimana membangun manajemen kerja yang baik dan optimal? Di lingkungan instansi pemerintah, seluruh instrumen untuk membangun kinerja pemerintah yang baik,  sebenarnya sudah tersedia. Yaitu aturan dan pedoman tentang proses bisnis dan praktik baik dalam setiap program-programnya. 

Namun, lagi-lagi efektifitas pelaksanaannya, sangat tergantung oleh mentalitas pelaksananya, dalam hal ini para ASN yang mendapat tugas melaksanakan dan bertanggungjawab atas hasil pelaksanaannya. 

Lalu bagaimana membangun mentalitas para pelaksanaannya? Inilah tugas yang memang berat. Pimpinan harus menjadi role model,  harus mampu menjadi contoh dan teladan, juga harus menjadi dinamisator dan katalisator. Perubahan yang lebih baik, menjadi tanggungjawab pimpinan untuk mewujudkannya. 

Meski demikian, budaya kerja yang kolaboratif dan sinergis juga menjadi salah satu praktik baik yang harus dijalankan, sebab tanpa kerjasama, tidak mungkin perubahan itu terwujud.

Dalam hal ini pimpinan membutuhkan pula energi untuk membangun kerjasama di semua lini. Namun, harus dibarengi pula oleh niat baik (good will) semua pihak dalam hal ini seluruh ASN untuk berubah yang lebih baik. 

Adakalanya pimpinan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Di satu sisi harus menerapkan aturan hitam putih, namun satu sisi ada kepentingan lain yang bersifat temporal harus ditempuh untuk mengatasi masalah. 

Disinilah dibutuhkannya komunikasi para pihak, dalam hal ini seluruh ASN di lingkup kerjanya. Mencari solusi terbaik tanpa melanggar aturan.

Solusi bisa ditemukan, jika mentalitas pelaksana birokrasi aparatur pemerintah berlandaskan kepentingan bersama, juga solusi untuk mencapai kesepahaman agar kinerja memperoleh hasil optimal. 

Sebaik apapun pimpinan bekerja, tanpa dukungan staf di bawahnya, kinerja yang optimal akan sulit terwujud. Untuk hal ini,mohon ijin tanpa bermaksud mengungkap jati diri, saya ingin menyampaikan pengalaman saya selama dua tahun ini memimpin sebuah instansi satuan kerja di lingkup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Sebagai Kepala Satuan Kerja, unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yakni unit kerja eselon 3, dibawah Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud, sepertinya saya sudah berusaha sebaik mungkin menerapkan mekanisme birokrasi yang sesuai tuntutan zaman. 

Memimpin unit kerja bidang penelitian arkeologi, yang mencakup tiga wilayah Provisi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo, sepertinya bukan tugas mudah untuk saya. Namun selama dua tahun ini saya berusaha membangun tim work yang baik. 

Meskipun pada kenyataannya, belum menunjukkan kinerja yang optimal. Sekali lagi, seluruh proses bisnis dan praktik baik dalam sebuah instansi pemerintah, tidak hanya ditentukannya pimpinannya, tetapi juga seluruh staf. 

Sebagai pimpinan saya sudah berusaha menerapkan manajemen terbuka, membangun komunikasi dan hubungan yang baik dengan staf, membangun tim kerja dan tim building yang seefektif mungkin. 

Selain itu juga berusaha membangun komunikasi yang transparan. Juga selalu membuka pikiran untuk menerima masukan dan kritikan, juga solusi yang baik dari staf. Namun rasa-rasanya itu saja tidak cukup, jika tidak dibarengi oleh sikap mental semua ASN untuk berbuat yang terbaik.

Kita menyadari,tidak ada satupun staf yang sempurna, begitu juga pimpinan, oleh karena itu dibutuhkan tim work dan komunikasi yang baik. Semua itu dapat berjalan efektif,jika kita senantiasa membangun mentalitas yang baik pula. 

Mentalitas pengabdian sebagai ASN, juga apapun yang kita kerjakan, adalah sebagai tanggungjawab terhadap masyarakat. Bekerja dengan hati dan berpikir cerdas, adalah saah satu kunci membangun mentalitas kita sebagai aparat, ASN yang bertugas mengabdi kepada pemerintah dan negara, juga bermanfaat bagi masyarakat. 

Dalam hal demikian, memang pimpinan dibutuhkan untuk dapt mengorganisir struktur dengan baik, agar struktur itu berfungsi pada tempatnya. Kondisi ini perlunya struktur fungsi menjadi perhatian. 

Maksud dari pernyataan ini adalah, bahwa setiap struktur dalam instansi pemerintah, dapat menjalankan fungsinya berdasarkan tugas yang dimandatkan dalam melaksanakan pekerjaan dan menghasilkan kinerjanya. 

Setiap organ dalam struktur pemerintahan dalam sebuah instansi pemerintah, harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik, juga perilaku orang-orangnya dalam mengoperasikan organ-organ struktur fungsional tersebut. 

Menurut saya, sekali lagi keseluruhan fungsi struktur dalam organisasi pemerintah, dapat berjalan dengan baik, tidak saja ditentukan oleh mekanisme saja, ibarat mesin, tidak hanya ditentukan oleh sistemnya saja. 

Sistem pergerkan mesin-mesin dalam organisasi pemerintah, bergerak secara sistemik. Namun agar mekanisme sistemik itu dapat berjalan lancar, sesuai mekanisme juga dibutuhkan kondisi yang saya sebut sebagai mekanisme organik. Yaitu mekanisme yang harus selalu ada dan melekat terus dalam sebuah sistem organisasi pemerintah. 

Membangun Sikap Mental sebagai Mekanisme Organik

Dalam perangkat atau instrumen pemerintah, mekanisme organik itu adalah sikap mental itu sendiri. Secanggih apapun aturan dibuat, instrumen pedoman dan regulasi serta berbagai petunjuk, dan instrumen apapun, namun dibutuhkan sikap mental untuk menjamin berjalannya mekanisme sistem secara optimal. 

Sikap mental sebagai ASN, menurut saya yang terpenting adalah sebagai berikut :

Pertama; sikap mental pengabdian kepada masyarakat 
Kita bekerja untuk kepentingan masyarakat, apapun bentuknya. Jadi dari sikap mental demikian, akan tumbuh spirit dan menimbulkan semangat untuk menciptakan kreasi dan inovasi. Sikap mental demikian, menurut saya juga akan menciptakan pola pikir dalam bekerja,yaitu jika ingin dianggap ada, kita harus selalu berpikir inovatif dan kreatif.

Sikap mental ini sama saja dengan ungkapan Descartes yang sangat populer, yaitu cogito ergo sum. Saya berpikir maka saya ada.  Sikap mental demikian, menurut saya membuat kita selalu berusaha menunjukkan kinerja yang terbaik. 

Kedua, sikap mental melayani

Seringkali kepemimpinan yang baik, ditentukan oleh sikap kita untuk senantiasa melayani. Sehingga kunci leadership, adalah juga followership. 

Menjadi pemimpin yang baik, juga adalah menjadi pengikut atau pelayan yang baik. Sikap seperti ini, tidak saja diperuntukkan untuk pimpinan, tapi juga untuk bawahan. 

Dengan sikap mental demikian, kita akan selalu termotivasi menunjukkan dedikasi dan loyalitas yang baik. Sebab kondisi ini sebenarnya melatih kita, atau berproses secara dinamis, menjadi bawahan yang baik akan menumbuhkan sikap mental sebagai pemimpin yang baik,suatu saat kelak. 

Kondisi ini juga akan menciptakan tim kerja yang baik di sebuah instansi pemerintah.Seperti yang saya katakan di awal, bahwa tidak ada pimpinan yang sempurna,begitu juga bawahan.Dengan sikap mental demikian, maka akan tercipta tim work yang bisa saling melengkapi. 

Jika terdapat kelemahan dari seorang pimpinan, bawahan dapat membantu memberi masukan, tidak membiarkan atau justru memanfaatkan kelemahan pimpinan. 

Begitupun sebaliknya, pimpinan dengan sikap mental demikian juga tidak aji mumpung, memaksakan semua pikirannya untuk dijalankan oleh bawahan, bahkan dengan cara melanggar aturan sekalipun. 

Sikap mental demikian, juga akan menciptakan mekanisme saling kontrol yang baik antara pimpinan dan bawahan. Di era keterbukaan saat ini, mekanisme saling kontrol dibutuhkan, untuk mengendalikan roda organisasi berjalan dengan normal dan baik.

Ketiga; sikap mental keterbukaan dan menyadari kelemahan
Sikap mental demikian, dalam menjalankan tugas sebagai ASN, senantiasa akan tergerak dan tergiring untuk selalu membangun kerjasama, komunikasi dan sinergi antar lini. Karena menyadari bahwa tidak ada satupun pekerjaan bisa dilakukan sendiri, maka untuk hasil kinerja terbaik, dibutuhkan kolaborasi dan kerjasama. 

Di era sekarang ini, setiap ASN dituntut kecepatan dan dinamis menghadapi perubahan. Oleh karena itu kecepatan kinerja, ditentukan seberapa besar kita mampu membangun kerjasama tim. 

Bekerja sendiri dengan bekerja secara tim, tentu lebih menguntungkan bekerja secara tim, dari sisi kecepatan dan ketepatan. tanpa kerjasama tim, tidak mungkin pekerjaan bisa dilakukan sendiri. 

Selain itu, apapun yang kita kerjakan, seharusnya kita menyadari bahwa hasil pekerjaan itu nantinya akan berhubungan dan berdampak kepada orang lain. Sehingga egoisme seharus dimatikan, agar kita bisa bekerja secara kolaboratif untuk menghasilkan yang terbaik. 

Ingat, banyak pasang mata memperhatikan kinerja kita. Juga mereka akan menilai sejauh mana kita ini mampu bekerja. Tak perlu harus bersandar pada penilaian pimpinan. Di dalam instansi kita sendiri, apalagi di luar sana, banyak pihak melihat dan tentu saja berhak memberi penilaian atas kinerja kita sebagai ASN. 

Keempat, sikap mental membangun saling kepercayaan (trust dan integritas)
Tidak satupun tim kerja bisa terbangun, jika tidak ada saling kepercayaan. Sebaliknya agar orang lain percaya terhadap tindakan kita, maka kita juga harus menunjukkan sikap agar orang lain juga percaya kepada kita. 

Sikap percaya (trust) dan jujur (integritas) adalah dua sikap mental monodualistik, dua hal yang menyatu. Kedua sikap mental ini harus kita bangun untuk menumbuhkan saling kepercayaan.   

Kelima, sikap mental untuk selalu belajar dan memperbaiki diri
Sikap mental seperti ini selain berguna untuk diri kita sendiri, juga berguna bagi penilaian orang lain, bahwa kita selalu belajar dari keadaan. Belajar hari ini untuk memperbaiki keadaan di hari depan. Sikap mental demikian, adalah upaya senantiasa mengevaluasi hasil kinerja kita.

Kondisi mentalitas demikian, juga adakalanya tanpa disadari membangun kepekaan kita untuk melihat keadaan yang kita jalani sekarang, memberi penilaian berbagai kelemahan, dan melakukan evaluasi dengan cepat dan detail. 

Kondisi ini banyak orang kadangkala tidak disadari. Pengalaman suatu ketika, kita sebagai ASN, melakukan pekerjaan kita tahun ini, menurut kita, apa yang kita kerjakan semua baik-baik saja. 

Kadangkala kita tidak tahu, atau mengabaikan bahwa kemungkinan pimpinan kita, atau orang lain dalam lingkungan kita memberikan penilaian dan mengevaluasi atas kinerja kita. Bahkan kita menganggap bahwa orang lain dan pimpinan tidak tahu tindakan kita seperti apa yang harus dievaluasi. 

Kita tiba-tiba akan kaget, ternyata tindakan kita diketahui oleh orang lain. Hal ini karena orang lain akan selalu belajar, juga belajar dari tindakan kita.

Oleh karena itu, sebenarnya sikap mental untuk selalu belajar dan memperbaiki diri, adalah juga upaya kita melakukan penilaian atas diri kita sendiri. 

Melakukan evaluasi mandiri, meskipun tanpa instrumen yang harus dibuat. Sikap mental selalu belajar dari keadaan yang sudah kita lalui, juga membuat kita lebih cermat dan hati-hati. 

Bagi pimpinan sikap mental demikian, juga akan membiasakan dirinya untuk selalu mengevaluasi dirinya, mengavaluasi bawahan dan mengevaluasi kondisi umum atau kondisi keseluruhan intansi yang di pimpinnanya. 

Demikian. Terima kasih

Salam Hormat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun