Bertukar peran dalam rumah tangga mungkin dianggap tabu bagi sejumlah keluarga. Padahal dalam aktivitas sehari-hari, semua orang perlu mempelajari peran anggota keluarga yang lainnya, sehingga bisa saling tolong-menolong. Pertukaran peran ini juga berguna bila salah satu anggota keluarga tak ada di rumah atau sedang tidak bisa melakukan perannya (Kompasiana).
Relasi dan Harmoni Rumah Tangga dalam Konteks Budaya
Sebenarnya, narasi yang dituliskan pada kolom topik pilihan Kompasiana tentang tukar peran rumah tangga, adalah pengantar yang umum dalam perbincangan soal keluarga dan rumah tangga. Secara sosio kultural, fenomena bertukar peran adalah fenomena sosial yang banyak terjadi di seluruh dunia.Â
Namun dalam berbagai pandangan secara kultural, peran suami secara kodrati adalah kepala rumah tangga, juga bertanggungjawab mencari nafkah. Sebaliknya, istri dalam pandangan kultural, secara kodrati adalah mengurus rumah tangga.
Tapi sebelumnya, saya ingin menyinggung sedikit soal tukar peran suami istri dalam rumah tangga. Kondisi demikian sebenarnya menyiratkan konflik, jika dalam praktiknya, tidak dibangun konsep relasi yang jelas.Â
Konsep harmoni dibutuhkan dalam soal ini, agar masing-masing subyek baik istri atau pun suami, menjalankannya dalam konsep keseimbangan dan kesepahaman. Bukan karena kondisi yang terpaksa atau dipaksakan.Â
Bagaimanapun kondisi ini tercipta atau terjadi dengan harmoni jika secara batiniah, memahami bersama kedudukan peran masing-masing. Saya perlu menyinggung soal ini, karena fenomena konflik dalam keluarga, bisa dikatakan lumrah dan bersifat alamiah. Kondisi ini tercipta karena tidak adanya kesepahaman dan komunikasi yang tidak optimal.Â
Fenomena pertukaran peran suami dan istri, sebenarnya juga fenomena yang biasa. Namun pada umumnya, praktek yang dilakukan bukanlah pertukaran peran secara nyata. Pekerjaan seorang suami diambil alih seluruhnya oleh istri dan pekerjaan istri diambil alih oleh suami. Suami menjadi istri dan istri menjadi suami.Â
Tidak seperti itu, atau tidak bisa diterjemahkan secara materil seperti itu. Hal ini yang ingin saya terangkan dalam kacamata teori konflik dan pertukaran sosial, dalam konteks perbincangan keluarga dan rumah tangga.Â
Dalam praktiknya, pertukaran peran itu bersifat sementara. Kebanyakan yang terjadi adalah praktik saling melengkapi. Adakalanya, misalnya istri membantu suami dalam memperoleh tambahan pendapatan. Â Demikian pula, suami membantu istri mengurus rumah tangga. Dimanapun di dunia, fenomena itu lumrah terjadi.
Hal ini bukan hanya soal peran dan kesetaraan gender, namun secara kodrati ketika pemahaman sudah tercipta, antara suami dan istri saling melengkapi. Dan praktek bertukar peran dalam konteks ekonomi, atau mata pencaharian, sebenarnya bersifat sementara.Â
Bahkan kondisi ini hampir tidak bisa dibedakan pada beberapa kondisi dan beberapa keluarga tertentu. Biasa khan, kita melihat suami istri bekerja, mencari penghasilan. Namun secara kodrati tanggungjawab mencari nafkah ada pada suami. Dan istri mengurus rumah tangga.Â
Namun seringkali juga istri wanita karir bekerja di luar rumah. Kondisi pertukaran peran dalam soal ini, lebih pada perspektif sosiologis. Namun, secara kultural suami adalah kepala keluarga, dia bertanggungjawab mencari nafkah sementara istri bertanggungjawab mengurus rumah tangga.Â
Tukar Peran Rumah Tangga dalam Pandangan Teori Pertukaran Sosial
Jika dalam praktek di dalam rumah tangga suami istri adakalanya bertukar peran, atau saling melengkapi dan saling mengisi, masing-masing baik suami atau istri itu sebenarnya memang sudah terjadi dialog. Dan keduanya saling menyetujui dan saling mendorong.Â
Hal ini menurut teori pertukaran sosial memenuhi proporsi pendorong (The Stimulus Proportion) dan proporsi persetujuan ( The agression-Aproval proportion), sebagaimana dikatakan George Casper Homans (1961) dalam bukunya berjudul Social Behavior Its Elementary.Â
Dalam proporsi pendorong nilai tindakan istri atau suami dalam bertukar peran, misalnya istri juga bekerja mencari nafkah, karena nilai tindakannya mendapat dorongan oleh suami.Â
Artinya, kegiatan istri mencari nafkah menjadi semacam stimulus karena mendapat persetujuan suami dan bahkan mendapat apresiasi, atau dihargai oleh suaminya. Begitu juga ketika suami membantu istri bekerja mengurus rumah tangga.Â
Semakin istri mendapat dorongan suami dan semakin sering pula mendapat apresiasi, maka semakin tinggi pula nilai tindakan istri untuk melakukan kegiatan bekerja mencari nafkah membantu suami. Demikian pula sebaliknya bagi suami yang bekerja membantu istri mengurus rumah tangga.
Kondisi saling mendorong ini, dalam teori pertukaran sosial, merupakan proporsi yang bersifat positif dan tidak menimbulkan konflik. Namun jika terjadi sebaliknya, maka akan menjadi faktor yang mendorong terjadinya konflik dalam keluarga.Â
Sementara itu, proporsi persetujuan dalam teori pertukaran sosial menjelaskan, semakin mendapat hadiah, pujian ataupun apresiasi, maka seseorang akan semakin puas, dan besar kemungkinan akan melaksanakan tindakan yang disetujui dan semakin merasa tindakannya makin bernilai bagi dirinya.Â
Dengan demikian, jika dalam rumah tangga, seorang istri bekerja membantu suami mencari nafkah, ketika tindakannya mendapat apresiasi, seorang istri akan merasa puas dan merasa apa yang dikerjakannya semakin bernilai bagi dirinya.Â
Ia akan dengan senang hati menjalankan profesinya sebagai ibu rumah tangga, juga mencari nafkah. Demikian pula untuk suami, meskipun ia bertanggungjawab mencari nafkah.Â
Namun ketika istrinya sangat menghargai tindakannya membantu mengurus rumah tangga, maka suami juga menganggap tindakannya semakin bernilai bagi dirinya.Â
Dalam hal ini, maka satu lagi proporsi tindakan dalam teori pertukaran sosial yang penting adalah, proporsi nilai. Homans (1961) mengatakan, semakin besar nilai tindakan kepada orang lain, semakin besar pula orang tersebut melakukan lagi (hubungan nilai-tindakan).Â
Dalam proporsi tindakan bertukar peran suami dan istri, teori ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa, kalau seorang suami memberi nilai tindakan terhadap apa yang dikerjakan istri semakin besar, maka seorang istri akan semakin besar pula kemungkinan seorang istri akan melakukan lagi tindakannya itu.Â
Mudahnya begini, ketika istri bekerja mencari nafkah, suami memberi penghargaan yang tinggi, maka semakin tinggi kemungkinan istri akan terus atau tetap bekerja mencari nafkah membantu suami. Demikian pula sebaliknya tindakan suami, membantu istri mengerjakan pekerjaan mengurus rumah tangga.Â
Jadi fenomena tukar peran rumah tangga, dalam kehidupan rumah tangga suami, istri bahkan anak dan orang tua, adalah fenomena yang dalam kacamata sosial budaya, seringkali terjadi dan lumrah.Â
Namun kondisi pertukaran peran dalam keluarga, sebagai unit sosial terkecil itu, mensyaratkan adanya dialog dan komunikasi untuk menghindari konflik.Â
Relasi dan Komunikasi Efektif dalam Rumah Tangga
Bagaimanapun, dalam kehidupan rumah tangga atau keluarga, potensi konflik adalah hal yang juga mengancam kehidupan keluarga, jika tak ada komunikasi efektif antara sesama anggota keluarga.Â
Pada intinya, tukar peran rumah tangga dalam hal ini khususnya pertukaran peran suami dan istri dalam keluarga adalah fenomena sosial yang sering dan lumrah terjadi. Keluarga adalah unit terkecil dari kehidupan sosial.Â
Artinya dalam kehidupan sosial, apa yang terjadi dalam kacamata makro sosial, juga terjadi dalam keluarga sebagai mikro sosial.Â
Konflik sosial dalam lingkup keluarga, adalah potensi yang mengancam, termasuk dalam berbagai fenomena pertukaran peran. Namun kondisi demikian terjadi jika, diantara suami dan istri ataupun anggota keluarga lainnya tidak membangun dialog dan komunikasi yang efektif.Â
Teori pertukaran sosial dalam hal ini, bisa menjadi konsep yang dapat diterapkan dalam kehidupan rumah tangga, dimana tukar peran terjadi. Dalam praktiknya, suami istri dan anggota keluarga lainnya, menerapkan proporsi-proporsi pertukaran sosial untuk menghindari konflik dan menjaga keharmonisan keluarga.Â
Dalam kacamata yang umum, secara kultural suami adalah kepala rumah tangga, dia bertanggungjawab sebagai pihak yang mencari nafkah dan memberi perlindungan untuk keluarga.Â
Sedangkan istri adalah ibu rumah tangga, kewajibannya mengurus rumah tangga. Dia tidak wajib bekerja membantu suami mencari nafkah. Kondisi ini alamiah dan bersifat kodrati, tanpa perlu kita interupsi lagi.Â
Namun dalam perspektif sosiologis, dimana keluarga adalah unit sosial terkecil dari sebuah kehidupan sosial yang lebih besar, maka fenomena bertukar peran dalam kehidupan rumah tangga adalah wajar dan lumrah.Â
Namun secara sosiologis, ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu dialog dan komunikasi efektif, serta adanya konsep pertukaran sosial dalam rumah tangga yang disepakati dan dipahami bersama, sebagaimana yang sudah saya ulas di atas, yaitu terpenuhinya proporsi-proporsi pertukaran sosial dalam rumah tangga.Â
Demikian.
Salam Hormat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H