Awalnya saya menulis di Kompasiana, karena saya memang suka dan senang menulis, walaupun saya tak pandai menulis. Bisa dikatakan hobi menulis. Hobi bukan berarti pandai bukan? Sebenarnya, bagi saya yang peneliti arkeologi, menulis dalam dunia karier saya itu kewajiban.Â
Saya sudah menuliskan artikel soal kewajiban ASN peneliti arkeologi dalam menulis karya tulis ilmiah di edisi sebelumnya. Judul artikel Kompasiana itu adalah Peneliti, Bekerjalah Dengan Hati. Â
Tulisan itu mendapat label Artikel Utama (AU). Sejak saat itu saya semakin rajin menulis dengan topik arkeologi. Sepertinya juga semakin melekatkan diri saya sebagai kompasianer yang arkeolog.Â
Sejak saya bukan lagi peneliti, saya tidak wajib menulis. Menulis dalam hal ini adalah menulis karya tulis ilmiah. Walaupun setiap harinya masih bergelut dengan dunia arkeologi. Untuk beberapa waktu sementara ini saya tidak wajib menulis karya tulis ilmiah arkeologi.Â
Namun karena suka dan hobi, apalagi setelah masuk ke dunia kompasiana, saya seperti menemukan tempat yang saya cari. Selama ini menulis karya tulis ilmiah, dibelenggu aturan baku. Mulai dari komposisi, bahasa, cara pengutipan dan sebagainya.Â
Di Kompasiana, belenggu aturan itu tidak ada lagi. Meskipun tetap mengikuti kaidah penulisan pada umumnya. Tanpa belenggu, saya lebih bebas berekspresi dan mengeksplorasi berbagai tema yang ingin saya tulis.Â
Namun rupanya, profesi saya sebagai arkeolog juga masih melekat. Sepertinya, sudah semakin lekat predikat saya sebagai kompasianer yang arkeolog. Tampaknya predikat itupun turut pula diperkuat oleh Admin Kompasiana. Hal ini dilihat dari pemberian label ke tulisan saya.Â
Bukti yang mudah dilihat adalah, hampir semua artikel saya yang mendapat label pilihan dan Artikel utama adalah topik atau tema tulisan yang mengulas soal arkeologi.Â
Di awal waktu centang hijau, kalau saya menulis tentang dunia arkeologi, selalu mendapat label pilihan. Saat ini, ketika saya sudah centang biru, tulisan yang diberi label Artikel Utama (AU), pada umumnya artikel tentang arkeologi.Â
Padahal, awalnya saya di Kompasiana ingin bebas atau melepaskan diri sejenak dari label bahwa saya arkeolog. Walaupun sebenarnya juga bebas-bebas saja kita menulis apapun. Saya menulis puisi, menulis cerpen juga menulis topik-topik lain di luar arkeologi.Â
Namun tetap saja, label  sebagai arkeolog tidak bisa dilepaskan begitu saja. Minimal, selain arkeologi, topik humaniora dan sosial budaya. Entah ini kebetulan atau memang pada topik-topik itu saja, tulisan saya layak mendapat label AU.Â
Saya tidak keberatan, kalau memang label untuk saya dan tulisan saya diarahkan untuk topik arkeologi. Mungkin setiap penulis diarahkan memiliki spesialisasi. Walaupun dalam dunia bloger tentu saja soal seperti itu tidak mengikat.Â
Kompasiana juga tampak memberi ruang kebebasan para kompasianer untuk menulis topik lain. Tidak selalu harus mengikuti passionnya atau dunia sehari-hari yang digeluti para kompasianer. Yaitu dengan menawarkan Topik Pilihan.Â
Kompasiana sepertinya juga menitipkan pesan untuk para penulis. Apapun yang kita tulis, memang kita paham benar tentang materi yang kita tulis. Sesederhana apapun yang kita tulis, setidaknya kita berusaha mengumpulkan data dan informasi.Â
Tulisan kita merupakan hasil riset kita dalam mengumpulkan informasi. Â Jadi, dengan itu kita bisa berharap tulisan kita punya jiwa dan hidup. Tulisan kita hidup karena ada pesan yang ingin kita sampaikan.
Tetapi juga mendalami. Karena hanya dengan mendalami, kita bisa menghidupkan tulisan kita. Sekali lagi, tulisan yang hidup adalah tulisan yang mengandung pesan, dan tersampaikan. Â
Menurut saya, tulisan yang memberi pesan, artinya juga sarat informasi. Informasi dan pesan itu saling berkelindan, saling terkait. Jadi tulisan yang baik, adalah tulisan yang informatif. Memberi informasi dan pesan kepada pembaca.Â
Tulisan yang memberi pesan, tidak harus terkesan menggurui. Tulisan yang baik berarti juga tulisan yang lebih berkarakter, Â karena ada nilai penting informasi dan pesan yang kita sampaikan.Â
Setiap penulis punya gaya dan tipe masing-masing. Lalu terlihat tipe dan gaya itu dalam bentuk bahasa dalam setiap artikelnya. Namun bagaimanapun tipe dan gaya penulis, bagi saya menulis itu tujuannya adalah untuk menyampaikan informasi dan pesan.Â
Beberapa Topik Pilihan pernah saya tulis. Fenomena Perceraian, Perselingkungan Rekan Kerja, Komunitas, PSBB DKI Jakarta, Waspada Banjir, Make Over Rumah, iPhone Vs Android, Kencan Online dan sebagainya.Â
Setiap topik yang saya pilih, saya berusaha memilih topik yang saya pahami benar, sehingga saya juga paham, informasi dan pesan apa yang ingin saya sampaikan.Â
Saya tidak akan memilih Topik Pilihan yang saya tidak bisa mengekplorasi pemahaman saya. Saya juga tidak memilih topik pilihan, hanya karena topik itu memang paling ngetrends sekalipun. Saya tidak memilih Topik Pilihan, sekiranya saya tidak paham informasi dan pesan apa yang ingin disampaikan.Â
Terlebih lagi, saya juga enggan mengulas topik, jika hanya sekedar pengulangan atau hanya bersifat tautologis. Tautologi adalah majas bahasa berupa pengulangan gagasan, pernyataan, atau kata secara berlebihan dan tidak perlu (wikipedia).Â
Saya pernah menulis tentang topik pilihan PSBB DKI Jakarta. Saya mencoba mengulasnya menurut cara pandang budaya. Saya berani mengangkat topik itu, karena saya membayangkan, bahwa sudut pandang budaya belum ditulis oleh orang lain.Â
Saya ingin menulis topik itu dalam sudut pandang yang berbeda. Alhasil, tulisan saya diberi label AU oleh Kompasiana, karena mungkin sudut pandang budaya dalam melihat PSBB DKI Jakarta, dianggap spesifik.Â
Saya juga pernah mengulas tentang topik Waspada Banjir, juga dalam sudut pandang budaya dan arkeologi. Saya berani menuliskan topik itu dalam kacamata sebagai arkeolog, karena ada data riset atau informasi yang bisa saya sampaikan.Â
Selain itu juga pesan tentang pelajaran dari masa lalu yang bisa dipetik hikmahnya. Sesederhana apapun tulisan kita, sepertinya informasi dan pesan itu, menjadi ruh yang menghidupkan tulisan kita.Â
Menulis Topik Pilihan, kita ibaratkan saja menulis pesanan, namun tetap harus menyampaikan pesan. Ada makna yang hidup, pesan jiwa yang mengandung nilai penting, mengapa sebuah topik kita tulis.
Setiap topik yang mengandung pesan, kita hidupkan dengan informasi. Karena informasi dan pesan selalu berkelindan, terkait satu sama lain dan tak bisa dilepaspisahkan.Â
Kompasiana sudah berusia 12 tahun, saya baru menjadi kompasianer baru sekitar 4 bulan. Rasanya saya terlambat sekali memanfaatkan momen dan ruang yang tersedia. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.Â
12 Tahun Kompasiana, adalah usia yang cukup matang, untuk tempat saya belajar yang baru seumur jagung sebagai kompasianer.Â
Masih banyak waktu untuk belajar, masih banyak ruang untuk berkreasi. Setidaknya dalam empat bulan ini saya juga bisa banyak belajar menulis dengan cara membaca banyak artikel-artikel dari para kompasianer lainnya.Â
Terima kasih. Salam hormat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H