Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Psikolog dan Psikiater Terbaik adalah Anak-anak Kita Sendiri

16 Oktober 2020   10:02 Diperbarui: 17 Oktober 2020   16:36 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hidup kita sehari-hari, terapi jiwa yang paling dekat dengan diri kita dan juga yang paling baik adalah kehadiran anak-anak kita sendiri. 

Saya akan memastikan, bahwa sepanjang hidup saya, tidak akan pernah membutuhkan psikolog dan psikiater. Bukan karena psikolog dan psikiater itu tidak penting atau tidak diperlukan. 

Tentu saja mereka sangat penting, sebagai bagian pihak yang memiliki peran penting dalam pembentukan mentalitas. Tetapi saya sepertinya tidak membutuhkan mereka. 

Mengapa? Karena dalam hidup saya sekarang ini, saya sudah memiliki psikolog dan psikiater pribadi yang terbaik dalam kehidupan saya. Yaitu anak-anak saya sendiri. 

Interaksi Simbolik Antara Kita dengan Anak

Anak adalah belahan jiwa. Pada mereka segenap cinta kita tumpahkan. Dan tak ada satupun dinding yang bisa meruntuhkan kedekatan kita dengan anak-anak kita. Bagi saya, anak-anak kita adalah terapi jiwa buat kita. Kita akan selalu merasa bahagia ketika kita bisa bermain bersama anak juga berbicara dengan anak-anak kita. 

Kedekatan anak dengan kita sebagai orangtua, juga menjadi terapi buat anak kita. Secara psikis anak-anak kita juga berada dalam posisi yang aman, ketika anak dan orangtua saling dekat. Simbiosis mutualisme. 

Kekuatan anak, tanpa kita sadari adalah potensi yang lahir dengan sendirinya. Ia mewujud aura positif yang akan terasa hidup dan terus bernyawa. Kita dekat dengan anak-anak, merupakan interaksi simbolik yang saling mencurahkan, juga saling menyehatkan secara psikis. 

Tanpa kita sadar, kedekatan orangtua dan anak sebenarnya bagian dari proses interaksi simbolik, yang bersandar pada komunikasi. Jadi inti dari interaksi simbolik adalah komunikasi. Begitu menurut teori interaksionime simbolik yang dicetuskan George Heber Mead (1934). 

Teori interaksi simbolik merupakan teori yang memiliki asumsi bahwa manusia membentuk makna melalui proses komunikasi. Teori interaksi simbolik berfokus pada pentingnya konsep diri dan persepsi yang dimiliki individu berdasarkan interaksi dengan individu lain (Wikipedia). 

Anak-anak kita adalah individu bagian dari subyek sosial maupun dalam subyek biologis. Dalam subyek sosial, interaksi kita dengan anak-anak kita adalah bagian dari proses interaksi sosial. 

Interaksi sosial mensyaratkan adanya komunikasi sebagai bagian dari tingkah laku. Anak-anak dengan orangtua adalah dua subyek individu yang saling berinteraksi sosial secara intens. 

Pernahkah sahabat merasakan lelah, penat, dan beban berat saat bekerja? Saya pernah dan saya yakin semua sahabat pernah merasakannya. 

Sahabat, suatu ketika saya merasakan beban yang teramat sangat dalam urusan rutinitas yang membosankan, yaitu pekerjaan. Namun, saya merasakan beban itu seketika hilang ketika saya pulang, sampai di rumah, dan disambut oleh kehangatan pelukan anak-anak saya. 

Sumber: sahabatkemendikbud.go.id
Sumber: sahabatkemendikbud.go.id
Nah, pelukan itu sesungguhnya adalah juga bentuk interaksi simbolik. Pelukan adalah bentuk komunikasi yang merupa tindakan hubungan timbal balik tingkah laku komunikasi (behavioral communication) dalam bentuk tindakan budaya. 

Pelukan itu adalah wujud tingkah laku atau bersifat kultural, sebagai perwujudan sebuah komunikasi yang simbolik. 

Nah, di dalam kultur masyarakat kita, bahkan mungkin di seluruh dunia, anak adalah simbol dari diri kita sendiri. Kalau kita ingin tahu kita ini seperti apa, lihatlah lebih lekat anak-anak kita. 

Di dalam diri anak-anak kita, ada diri kita. Demikian pula sebaliknya. Jadi secara simbolik, diri kita itu sesungguhnya mewujud kepada anak-anak kita. 

Disitulah kekuatan batiniah itu muncul dalam mengelola mentalitas kita sebagai orangtua. Sebaliknya pula mentalitas anak. Jadi pemahaman yang saya sampaikan ini, bukanlah pemahaman karena saya mengerti ilmu psikologi atau psikiater. Namun saya memahami secara sosiologis dan secara kultural. 

Membangun Konsep Diri yang Positif

Jadi, pelukan adalah bentuk komunikasi non verbal. Pelukan orangtua kepada anak atau sebaliknya, adalah juga tindakan mengenai konsep diri (self concept). 

Adalah Struart dan Sudeen, mengatakan bahwa konsep diri merupakan sebagai semua pemikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya sendiri dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain (Stuart & Sudeen, 2005).

Di dalam konsep diri tersebut dua diantaranya diwujudkan dalam bentuk empati dan dukungan, yang ditunjukkan oleh kita sebagai orangtua terhadap anak. Juga sebaliknya, secara langsung ataupun tak langsung, sadar ataupun tanpa disadari anak-anak kita juga menunjukkan empati dan dukungan terhadap orangtua. 

Komunikasi timbal balik antar anak dan orangtua itulah, menciptakan keakraban dan kehangatan. Ada perhatian dan kasih sayang yang terlihat nyata, melalui komunikasi baik komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Jadi komunikasi kita dengan anak adalah bentuk interaksi sosial sekaligus bersifat kultural. 

Hal ini karena bentuk tingkah laku kita. Dibiasakan dan menjadi laku sehari-hari, minimal di lingkungan sosial terkecil yaitu keluarga, yang terdiri ayah, ibu, dan anak-anak kita. 

Nah, dalam hal demikian, hubungan atau komunikasi kita dengan anak, baik komunikasi verbal maupun non verbal atau secara simbolik. Salah satunya dengan bermain bersama atau menyambut dengan pelukan saat kita pulang ke rumah berjumpa anak-anak. Itu semua adalah perilaku yang sebenarnya membangun mentalitas yang kuat. 

Kacamata saya melihat, bahwa kedekatan ini menjadi konsep diri, bahwa menjadikan diri kita dan anak-anak kita sebagai individu-individu yang saling mendekatkan diri karena ada cara pandang yang sama soal diri kita itu. Yaitu tentang nilai yang sama akan keakraban, kehangatan dan cara menunjukkan yang sama untuk itu. 

Atau dengan kata lain begini, ketika kita merasakan bahwa kita membutuhkan suasana keakraban dan kedekatan, lalu demikian pula anak-anak. Maka menurut kita pelukan adalah jawaban soal itu. 

Bentuk komunikasi atau interaksi simbolik lalu dipahami secara bersama. Maka sebenarnya demikian kita membentuk konsep diri yang sama dan anak-anak. 

Konsep diri yang sama, lalu menjadi perilaku sehari-hari yang dengan sendirinya menciptakan kehangatan dan keakraban. Sebenarnya disitulah posisi terapi mental bermain. Karena baik kita maupun anak, memiliki konsep diri yang sama dan ditunjukkan dengan keinginan cara berkomunikasi atau melakukan interaksi bersama. 

Perilaku Budaya Positif sebagai Terapi Kesehatan Mental

Berikutnya, pernahkah sahabat memiliki pengalaman, saat anak kita memasuki bangku sekolah untuk pertama kalinya? Pengalaman saya, saat anak saya memasuki lingkungan baru untuk pertama kalinya. Ia akan menengok ke arah kita, memastikan bahwa kita ada di dekatnya. 

Setelah kita memandangnya dengan lekat dan tersenyum seraya mengangguk. Maka anak kita akan tenang dan percaya diri untuk melanjutkan aktivitasnya. 

Sebaliknya kita sebagai orang tua, saat pertama kali mengantar anak kita untuk pertama kalinya masuk sekolah. Pertama kalinya memasuki lingkungan baru. Rasanya kita tidak nyaman untuk meninggalkannya. Paling tidak di hari pertama masuk sekolah, kita akan menungguinya. 

Gambaran itu sebenarnya adalah bentuk interaksi simbolik antara kita dengan anak kita. Komunikasi non verbal yang positif. Hal ini karena kita dan anak kita membangun konsep diri yang sama sebenarnya. Tanpa disadari, karena masing-masing membutuhkan keakraban dan kehangatan itu. 

Jadi kesimpulannya, membangun konsep diri yang positif, lalu menciptakan bentuk interaksi simbolik melalui komunikasi verbal maupun non verbal. Sebagaimana contoh misalnya bermain bersama, saling meberikan pelukan antara kita dengan anak. 

Hal itu bentuk interaksi simbolik juga membangun perilaku budaya yang positif dalam keseharian. Demikian yang dimaksudkan oleh Clifford Geertz dalam teori tingkah laku dalam konteks kebudayaan. 

Bentuk interaksi simbolik yang positif, yang terbangun oleh konsep diri yang positif pula, akan menciptakan perilaku budaya yang positif dalam keseharian kehidupan kita dengan anak. Kondisi budaya positif ini, secara langsung maupun tidak langsung, juga menciptakan mentalitas atau jiwa yang sehat. 

Jadi, merawat kesehatan jiwa melalui konsep diri yang positif antara kita dengan anak. Lalu akan menciptakan perilaku atau tingkah laku keseharian yang positif antara kita dan anak. Kondisi ini akan menjamin kesehatan mentalitas atau kejiwaan kita.

Bacaan Penunjang
Stuart, Gail dan Sundeen, Sandra, 2005 Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta. EGC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun