Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Srikandi Puisi Kompasiana

11 Oktober 2020   21:07 Diperbarui: 12 Oktober 2020   11:16 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar olahan pribadi. Sumber Foto: Kompasiana

Tulisan ini terinspirasi dari artikel Ari Budiyanti yang selama bulan bahasa ini menyuguhkan puisi-puisinya yang terbaik. Saya tidak hendak mengulas tentang konten puisi-puisinya. 

Bukan bidang keahlian saya soal itu. Tapi saya memang salah satu kompasianer penikmat puisi. Sebagai penikmat, tentu saya lebih sering membaca karya puisi. Hanya sesekali saja saya menulis puisi yang sekedarnya. 

Saya menulis ini juga bukan dalam rangka mengulik isi tiap konten puisi-puisi Ari Budiyanti. Kecuali sebatas benar-benar menikmati. Dalam amatan saya di Kompasiana, memang ada beberapa kompasianer wanita yang hampir seluruh konten-kontennya berisi puisi-puisi yang memikat, juga inspiratif.

Saya kira, para kompasianer wanita yang konsisten menulis puisi pada sebagian besar konten yang diunggahnya, layak disebut sebagai Srikandi Puisi Kompasiana. 

Baiklah, izinkan saya menyebut mereka sebagai Srikandi Puisi Kompasiana (SPK). Ohya satu lagi yang terpenting, semoga tulisan saya ini tidak menyalahi ketentuan Kompasiana...hehehe

Judul artikel ini, menggunakan kalimat yang tunggal Srikandi Puisi Kompasiana. Namun yang saya maksudkan tidak hanya menyebut satu nama saja. Sebaliknya saya ingin menyebut beberapa kompasianer wanita yang konsisten menuliskan puisi di setiap kontennya. 

Bukan hanya seorang Ari Budiyanti saja, namun ada beberapa kompasiane wanita yang lain yang saya ketahui. Selain Ari Budiyanti (AB), juga ada Fatmi Sunarya (FS) dan Hera Veronica (HV). Ohya, ada kompasianer wanita yang lain, juga konsisiten mengisi dengan puisi yaitu Lusy Mariana Pasaribu (LMP). Tanpa mengurangi rasa hormat untuk LMP, mungkin akan saya ulas tersendiri, mengingat dalam kacamata saya, karakter dan bentuk puisinya agak berbeda dengan ketiga nama yang saya sudah sebut sebelumnya. 

Tanpa menafikkan kompasianer wanita lainnya, saya menyebut ketiga kompasianer wanita itu karena dengan satu pertimbangan yang berbeda. Ketiganya konsisten sebagian besar kontennya atau hampir keseluruhan konten-kontennya hanya  berisi puisi.  

Kalaupun ada jenis genre lainnya, dari segi statistik tidak mempengaruhi konsistentinya. Selain itu ketiga SPK itu juga sangat konsisten dan produktif. Hampir setiap harinya, bahkan saya rasa setiap harinya mengunggah konten puisi di Kompasiana. Suatu pencapaian yang luar biasa saya kira. 

Bagi saya yang sebenarnya tidak memahami seluk beluk puisi secara kebahasaan dan kesastraan, menulis puisi itu seperti memvisualkan imaji. Memvisualkan dalam bentuk teks, lebih sederhananya begitu. Sekali lagi, maaf ini gambaran dari saya yang awam soal teori dan pengetahuan soal puisi, dari sisi kebahasaaan dan kesusastraan. 

Secara umum, puisi  yang saya pahami itu sebagai karya sastra. Namun juga ungkapan pikiran juga isi hati penulis puisi, atau yang sering disebut juga penyair. Nah, sampai disini saya kurang paham beda antara sastrawan dengan penyair. 

Mungkin hanya beda obyek tulisan saja ya...silakan sahabat mencari tahu sendiri, hehehe. Jadi puisi itu sebuah karya sastra, dimana melalui karyanya, penulis puisi bisa mengungkapkan isi hati dan pikirannya dengan kalimat yang seindah mungkin. 

Karena saya arkeolog, yang dulu di jaman saya, arkeologi termasuk di dalam fakultas sastra, saya pernah sedikit belajar mata kuliah bahasa dan sastra Indonesia. 

Disitu saya pahamai, bahwa di dalam puisi, setiap kata dimaksudkan mengandung makna. Dan terangkai dalam irama, rima, matra dan bait. Bagaimana irama, rima, matra dan bait, saya sendiri kurang paham. 

Bagi saya yang tidak memahami secara teori, menulis puisi sekedar mengikuti naluri dan imaji. Bahkan menentukan bunyi bahasa yang ada hubungannya dengan memilih kata (diksi) semuanya, seenak hati sendiri. Kira-kira saya mengucapkannya enak, ya saya tulis. Begitu yang saya pahami, jika sesekali saya menulis puisi. Benar-benar naluri dan imaji. 

Kembali tentang SPK yang saya kagumi yaitu AB, FS dan HV dalam ketiganya saya melihat intuisi atau naluri, juga imaji. Setidaknya itu hanya berdasarkan kadar kemampuan saya menangkap setiap bait-bait puisinya. 

Karakter ketiganya pun berbeda. Itu berdasarkan naluri saya memahami ketiganya, berdasarnya pilihan kata dan bunyi bahasa yang mereka sajikan. Justru itu kekuatan mereka. Saling menginspirasi, tanpa ada jejak menduplikasi. Itu sangat menginspirasi. 

Penilaian saya ini, lagi-lagi bukan karena saya memahami soal kebahasaan dan kesusastraan puisi ya. Sama sekali bukan. Tetapi lebih kepada feel saya menangkap makna setiap puisi yang mereka sajikan. 

Ketiganya menyajikan puisi dengan karakter bahasa yang berbeda. Rangkaian kata-demi kata juga bait-bait puisi yang mereka sajikan. Juga diksi-diksi yang memikat dari ketiganya, mencerminkan karakter dan pribadi yang juga berbeda, tentu saja. 

Mengenai pilihan kata atau diksi dan bunyi bahasa, tentu saja memang sesuai dengan kata hati penulis puisi. Itu makanya dalam setiap puisi, mencerminkan karakter dan pribadi penulis. Karena kata bisa mewakili rasa yang ingin disampaikan penulisnya. Begitu yang saya pahami sebagai penikmat puisi. 

Baik AB, FS maupun HV, ketiganya juga tampak mengeksplorasi lingkungan juga kondisi yang mereka rasakan. Bahkan jika itu hanya soal keseharian sekalipun. 

Cara mereka mengeksplorasi kondisi lingkungan dan situasi sekitar, lalu menerjemahkannya dalam puisi, membuktikan intuisi dan imaji ketiganya sangat kuat. 

Intuisi dan imaji, menurut saya membutuhkan kepekaan. Artinya, kepekaan ketika SPK itu sangat kuat dalam menangkap momen-monen yang dilalui dalam kesehariannya. 

Jadi style bahasa ngeblog ketiga SPK itu membuktikan, bahwa menulis dengan Bahasa Indonesia yang memikat itu juga nikmat. Dan tak kehilangan penikmat, salah satunya saya. 

Tanpa harus memaksa atau menggunakan selera para pembaca atau para bloger yang banyak dihuni kalangan muda millenial dengan bahasa gaul yang dianggap trendi. 

Ketiganya tampak juga dalam usaha memperkaya kosakata Bahasa Indonesia, seperti diakui sendiri oleh AB, dalam artikelnya yang terbaru. Jika saja kita cermat membaca puisi-puisinya, ketiganya juga tampak berusaha menyuguhkan kata-kata baru yang memikat dalam setiap unggahan puisinya. 

Sebagai pembaca dan penikmat puisi-puisi mereka, saya mungkin banyak pula melewatkan soal diksi dan suguhan kosakata baru. Maklum, sebagai penikmat saya lebih terbiasa menelusuri ruang-ruang kata yang menurut saya menjadi memikat, lalu mencoba mengeksplorasi maksud dan makna yang hendak disampaikan oleh penulis puisi. 

Saya termasuk jenis manusia yang bisa menikmati puisi karena pilihan kata yang memikat. Salah satunya pada rima. Yaitu bunyi bahasa pada setiap akhir kata pada bait-bait puisi. Sebab, di beberapa puisi dengan berbagai jenis puisi, banyak pula kalimat-kalimat atau kata-kata yang saya kadang tidak bisa menangkap atau tidak bisa memahami maknanya.

Saya teringat ketika membaca puisi Danarto atau Sutardji Calzoum Bachri. Beberapa puisinya, saya tidak mengerti kalimat bahasanya. Tapi mereka berdua, adalah penyair dan sastrawan yang mumpuni dan memiliki kelasnya tersendiri. Mana saya tahu, kalau kalimat-kalimatnya kadang saya tidak mengerti. 

Namun sebagai orang awam, saya menikmati puisi dari diksi dan bunyi bahasa. Feel saya serasa lebih mengena. Dan saya memperolehnya dari ketiga srikandi puisi kompasiana itu. 

Sekali lagi saya sebut dengan hormat Ari Budiyanti, Fatmi Sunarya dan Hera Veronica. Bahasa mereka sederhana. Sesederhana cara saya menikmati puisi. 

Namun kata, kalimat dan bait yang merangkai makna, serasa tersedia dengan sempurna. Tanpa kita mengernyitkan dahi. Begitu sebagai seorang awam, saya menikmati puisi. 

Semoga tulisan saya ini, tidak mengundang salah paham terhadap ketiga srikandi puisi kompasiana itu. Saya adalah penikmat puisi yang menikmati puisi-puisi mereka, karena mudah saya telan dengan sekali lahap juga lebih mudah saya cerna. 

Sehingga saya lebih mudah mengeja makna. Kalimat yang memikat dan inspiratif. Demikian saya memahami puisi-puisi mereka. Terus berkarya...Salam inspiratif..salam literasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun