Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Geliat Membangun Kota Lama di Indonesia, Gorontalo Juga?

11 Oktober 2020   10:41 Diperbarui: 11 Oktober 2020   11:32 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota Tua, Mengenang Histori dan Menawarkan Destinasi

Indonesia, adalah salah satu negara dengan ciri kota kolonialnya yang kental. Hal ini karena, dalam sejarah kolonialisasi, Bangsa Eropa khususnya Belanda tercatat menduduki Indonesia dalam rentang waktu yang panjang.

Pengalaman sejarah kolonialisasi yang panjang itu, ada hikmahnya. Belanda membangun banyak kota-kota dengan ciri kota kolonialnya yang menawan.

Lihat saja, Kota Tua Batavia. Menjadi salah satu destinasi wisata kota yang paling menarik. Hampir setiap pengunjung ibukota, menyempatkan diri mengunjungi Kota Tua Batavia itu. 

Kota tua Batavia. Sumber: https://www.indonesia.travel/
Kota tua Batavia. Sumber: https://www.indonesia.travel/
Selain Jakarta, dengan kota tuanya, Semarang, ibukota Jawa Tengah, juga dikenal dengan kota lamanya. Soal definisi kota tua dan kota lama, itu tampaknya tergantung sejarah, ciri, tipe dan landmark kota yang ingin ditonjolkan.

Kota Lama Semarang, lebih menonjolkan bentuk kota di masa kolonial Belanda. Bangunan-bangunan tinggalan Belanda masih dipertahankan. Landmark kota sebagai kota lama memang benar-benar dipertahankan. Tak heran kawasan Kota Lama Semarang disebut sebagai 'Little Nederland". 

Perimpangan di kota lama Semarang, Sumber: https://www.nativeindonesia.com/
Perimpangan di kota lama Semarang, Sumber: https://www.nativeindonesia.com/
Gereja Blenduk. Sumber: https://www.nativeindonesia.com/
Gereja Blenduk. Sumber: https://www.nativeindonesia.com/
Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kota Gede mewakili ciri sebuah kota tua. Tapi sebenarnya jika bicara Yogyakarta, ciri kota tua atau kota lama, sesungguhnya tidak hanya ditampilkan di Kota Gede saja.

Lokasi Kraton Yogya dan sekitarnya, sebenarnya bisa dianggap mewakili juga kota tua. Namun ciri kota dan lanskap yang paling menonjol memang berada di Kota Gede, sebagai lokasi sejarah lahirnya Kerajaan Mataram Islam pada abad 16M. 

Kawasan Kota Gede, Yogyakarta. Sumber: Kompas.com
Kawasan Kota Gede, Yogyakarta. Sumber: Kompas.com
Sumber: https://www.tripzilla.id/
Sumber: https://www.tripzilla.id/
Selain ketiga kota di Indonesia, yang kental sebagai kota tua atau kota lama. Dengan ciri bangunan-bangunan peninggalan kolonial yang masih bertahan dan tertata.

Sebenarnya, masih banyak kota-kota lain di Indonesia, yang memiliki ciri dan landmark sebagai kota lama atau kota tua. Hal ini karena Belanda, selama menguasai wilayah Nusantara, membangun kota-kota yang didudukinya. Belanda, menduduki wilayah nusantara, dengan banyak membangun sarana dan prasarana di berbagai wilayah yang didudukinya.

Dalam sebuah diskusi, ada pertanyaan yang menarik. Banyak kota di Indonesia, ingin membangun lagi kota lamanya, padahal itu seperti membangunkan kembali sejarah kelam kolonialisasi Belanda.

Sesungguhnya ideologi apa yang ingin dibangun dalam proyek pembangunan kota lama itu? Sebentar, kita tahan dulu pertanyaan ini, kita bahas dulu soal geliat membangun kota-kota lama di Indonesia. 

Selain tiga kota yang paling popuper di Indonesia itu, sebenarnya masih banyak kota-kota lain di seluruh Indonesia yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kota tua. Potensi yang dimaksud, adalah masih banyaknya ciri bangunan kota lama yang masih bertahan di beberapa kota di Indonesia. 

Makassar: Kota Tua Yang Terancam Memudar

Kota Makassar, salah satu kota yang masih menampilkan wajah kota lamanya di beberapa sudut kota. Di wilayah Fort Rotterdam, misalnya. Di kawasan itu, sebenarnya masih bisa ditampilkan wajah kota lama Makassar masa Belanda dulu. Sayangnya, dampak perkembangan kota, memang banyak sekali ciri bangunan lama yang berubah, bahkan berganti. 

Benteng Fort Rotterdam Makassar. Sumber: Goodnewsfromindonesia.id
Benteng Fort Rotterdam Makassar. Sumber: Goodnewsfromindonesia.id
Salah satu landmark juga ikon sebagai kota lama, adalah keberadaan Benteng Fort Rotterdam Makassar. Dari berbagai studi arkeologi tata kota Makassar, sebagaimana ditulis oleh Asmunandar dalam tesis S2 nya, maupun oleh Syahruddin Mansyur, dalam skripsinya, kawasan kota lama Makassar, sesungguhnya cukup luas. Kantor Walikota Makassar, Museum Kota, Gedung Kesenian, RRI, bahkan wilayah pecinan Jalan Sulawesi dan beberapa gedung perkantoran di sekitarnya, termasuk dalam kawasan kota lama. 

Benteng Fort Rotterdam, semakin terkepung oleh bangunan-bangunan dan lanskap kota modern. Meskipun sebagai ikon kota lama, keberadaan Benteng Rotterdam, takkan mungkin tergantikan. Ia tetap berdiri kokoh di tengah kota yang semakin merangsek dalam hiruk pikuk bangunan-bangunan modern. 

Perkembangan kota Makassar yang pesat, hampir seluruh bangunan lama, berubah, bahkan beberapa sudah banyak yang hilang dan berganti. Sehingga untuk penetapan sebagai kawasan kota lama Makassar sudah sulit ditandai batas-batasnya. Hal ini karena sudah banyak bangunan-bangunan baru yang merangsek diantara bangunan-bangunan lama. Sementara banyak juga bangunan-bangunan lama yang sudah tidak bisa dipertahankan. 

Gedung Societet de Harmoni, Makassar. Sumber: indonesiainside.id
Gedung Societet de Harmoni, Makassar. Sumber: indonesiainside.id
Sebenarnya, yang menjadi kendala mengapa banyak kota-kota di Indonesia, sulit dikembangkan sebagai kota lama dengan ciri kota kolonial masa Belanda. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh master plan kota, yang tidak mempertimbangkan lanskap kota lamanya.

Pembangunan yang sangat cepat, industri, bisnis dan sebagainya, merangsek sehingga tidak ada jeda lagi untuk menata kota sedemikiam rupa, agar ciri bangunan kolonial tetap bertahan. 

Banda Naira: Yang Bertahan, Yang Dilupakan

Adapula yang masih bertahan sampai kini. Contoh Kota Banda Naira, di Pulau Banda, sebenarnya banyak bangunan kolonial berjejer rapi, tidak berganti dan tak berubah. Namun infrastruktur sangat terbatas, juga akses transportasi ke Pulau Banda Naira, terbilang masih susah.

Selain itu, wilayah Kota Banda Naira, hanyalah ibukota kecamatan, sehingga pembangunan kota Banda Naira, masih sangat terbatas. Meskipun Banda Naira, pernah diusulkan sebagai kawasan World Heritage, namun saat ini kabarnya semakin tak jelas. 

Sebenarnya jika saja pemerintah lebih serius, menjadikan kawasan Kota Banda Naira, sebagai kawasan kota lama, atau kawasan strategis Nasional ataupun penetapan apapun namanya, bisa dilakukan. Hal ini karena potensi Banda Naira, sedemikian melimpah ruang. Potensi sumberdaya budayanya, termasuk cagar budayanya, potensi lingkungan, dan sebagainya. 

Keseluruhannya saling melengkapi menjadikan Banda Naira sebagai kawasan destinasi wisata. Oleh karena itu, dengan infrastruktur dan akses trasnportasi yang lebih mudah, suatu saat kawasan Kota Lama Banda Naira, akan menjadi ikon wisata Indonesia yang sangat menjanjikan. Tinggal berbagai instrumen regulasi dan faktor-faktor pendukung lainnya dilengkapi dan dibenahi. 

Gereja Tua Banda Naira. Sumber: tripadvisor.co.id
Gereja Tua Banda Naira. Sumber: tripadvisor.co.id
Istana mini Banda. Sumber: Travel Detik
Istana mini Banda. Sumber: Travel Detik
Semakin besar kawasan kota, juga semakin besar konflik kepentingan dalam penataan kota. Pada umumnya soal status lahan dan bangunan yang tak jelas. Adakalanya status tanah milik warga, yang kemudian dijual ke pihak investor.

Jika itu yang terjadi, memang agak susah menemukan solusi. Satu sisi mungkin saja ada kebijakan pemerintah untuk menata kota sebagai kota lama.

Di sisi lain, ada pula masyarakat ingin mempertahankan lanskap kota. Jadi, bagi masyarakat yang memiliki rumah tua dan lahan di kawasan kota peninggalan masa kolonial, ingin mempertahankannya. Namun sebaliknya kebijakan pemerintah, untuk perluasan kota atau kawasan bisnis, membuat kebijakan yang mengorbankan peninggalan sejarah. 

Sengkarut pengelolaan kawasan kota lama, memang beragam. Ada baiknya bagi masyarakat dan pemerintah di beberapa daerah yang ingin mencanangkan kawasan kota lama di daerahnya, banyak belajar dari Semarang ataupun kota lainnya yang memiliki ikon kota lama. Bahkan seperti kota tua Batavia pun sudah lama dirintis sejak Gubernur Ali Sadikin, dan masih terus berbenah  sampai sekarang.

Membangun kota lama memang bukan persoalan yang sederhana. Nyatanya, meskipun sejarahnya Belanda membangun kota dimana-mana, namun tidak banyak kawasan kota lama yang bisa dijumpai di seluruh Indonesia. Pada umumnya lanskap kota sudah berubah wajah. Bangunan-bangunan lama sudah banyak berganti dengan bangunan modern. 

Diantara hampir semua wilayah kota yang pernah di bangun Belanda. Sepanjang pengetahuan penulis, sepertinya hanya ada tiga kawasan kota di Indonesia, yang populer sebagai kawasan kota lama atau kota tua, yaitu Kota Tua Batavia, Kota Lama Semarang dan Kota Gede Yogyakarta. Sementara banyak-banyak kota lain di wilayah lainnya di Nusantara, tenggelam dalam hiruk pikuk arus modernisasi kota. 

Gorontalo, Bergeliat memperjuangkan Kota Lama

Salah satu yang kini dalam masa berjuang untuk mengembalikan kawasan kota lamanya adalah Provinsi Gorontalo. Suasana batin masyarakat Gorontalo, setidaknya yang tampak terwakili oleh kepedulian komunitas peduli pusaka budaya. Adalah komunitas Gorontalo Tanah Pusaka, yang saat ini getol memperjuangkan lahirnya kawasan kota Gorontalo. 

Beberapa bangunan tinggalan kolonial di kota Gorontalo. Sumber: Balar Sulut/Irfanuddin W. Marzuki
Beberapa bangunan tinggalan kolonial di kota Gorontalo. Sumber: Balar Sulut/Irfanuddin W. Marzuki
Meskipun diantara bangunan-bangunan tinggalan kolonial, yang beserak, tidak semegah bangunan-bangunan kolonial yang ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Makassar atau kota lainnya. Namun masyarakat meyakini, Kota Gorontalo dengan kesederhanaan bangunan-bangunan kolonialnya, memiliki kekhasannya sendiri. 

Sayangnya, memang diakui banyak pula bangunan-bangunan kolonialnya sudah berubah, bahkan sudah hilang. Namun untuk menjadikannya sebagai kawasan kota tua atau kota lama, masih memungkinkan. Balai Arkeologi Sulawesi Utara, bersama Komunitas Gorontalo Tanah Pusaka, selama beberapa tahun ini snagat intens mengumpulkan data. 

Juga bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), saling mendukung dan melengkapi untuk memberikan pembobotan dengan rencana pembangunan Geopark yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo, Budiyanto Sidiki dalam suatu waktu pertemuan diskusi yang digelar oleh Balai Arkeologi Sulawesi Utara. 

Rumah dinas Gubernur Gorontalo. Sumber: BPCB/Dit Perlindungan Kebudayaan
Rumah dinas Gubernur Gorontalo. Sumber: BPCB/Dit Perlindungan Kebudayaan
Fitra Arda, Direktur Perlindungan Kebudayaan, Kemendikbud dalam kesempatan itu sangat mendukung adanya pencanangan Kota Lama Gorontalo, namun perlu langkah-langkah awal sebagai prasyarat agar kawasan kota lama itu bisa diakui. Yaitu melalui penetapan-penetapan cagar budaya dan delineasi atau penentuan batas-batas kawasan kota lama itu sendiri.

Selain itu, selama ini pembangunan kawasan kota lama, dianggap sebagai beban tersendiri dalam suatu pembangunan. Oleh karena itu perlunya pentaan kota lama dalam mendorong bentuk produktivitas baru, juga pembangunan sosial, ekonomi dan budaya yang berkelanjutan. Hal ini agar pembangunan kawasan kota lama, menjadi kekuatan baru bagi pembangunan ke depan. 

Bagi Pemerintah Provinsi Gorontalo sendiri, sebagaimana yang disampaikan kepala Bappeda, pembangunan Kota Tua Gorontalo, merupakan sebuah aset dari rencana pembangunan Geopark dari aspek Cultural Diversity. Hal ini karena Kota Gorontalo yang lahir sejak 1728 lalu, memiliki tinggalan bangunan tua sebagai aset sebagai geosite Kota Tua Gorontalo dalam beberapa titik kawasan yang potensial di masa yang akan datang. 

Salah satu lanskap kota lama Gorontalo. Sumber: Bappeda Prov. Gorontalo
Salah satu lanskap kota lama Gorontalo. Sumber: Bappeda Prov. Gorontalo
Dalam rangka mendukung pembangunan Kota Tua Gorontalo, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melalui Balai Arkeologi Sulawesi Utara, dengan wilayah kerja meliputi Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah. Saat ini terus meningkatkan penelitiannya untuk penguatan basis data yang diperlukan. 

Balai Arkeologi Sulawesi Utara melihat pembangunan kota tua itu merupakan perihal yang kompleks, maka dibutuhkan sinergi lintas sektoral. Hal ini untuk mengoptimalkan kerja konkret pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Balai Arkeologi Sulawesi Utara, sebagai lembaga riset, yang paling optimal ditawarkan adalah soal basis data. 

Inipun perlu disenergikan, sehingga data yang dikumpulkan tidak hanya data arkeologi dan cagar budaya, namun dibutuhkan multidisiplin untuk penguatan-penguatan data. Selain data cagar budaya, juga data sosial, ekonomi, tradisi dan ikon-ikon budaya lainnya yang spesifik yang bisa diangkat untuk penguatan dalam penetapan kota lama Gorontalo.  

Hal ini sejalan dengan pendapat Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, bahwa dalam pemmbangunan kawasan kota lama, itu ancangan yang komprehensif dan di dalamnya banyak kepentingan yang terlibat.

Oleh karena itu perlunya kerjasama antar stakeholder dalam upaya mewujudkankan Kota Lama Gorontalo. Selain itu menurut I Made Geria, Kepala Puslit Arkenas itu, dalam proses riset atau pengumpulan data dibutuhkan sinergi multidisiplin. Hal ini untuk menggerakkan budaya dalam pembangunan. Artinya Budaya, harus jadi motor penggerak dalam pembangunan Kota Tua Gorontalo yang berkelanjutan. 

Jadi membangun kota lama, sesungguhnya bukan sekedar membangun memori lama, atau membangkitkan sejarah kelam kolonialisasi. Namun ideologi yang dibangun dalam hal ini, adalah bahwa semua kota lama, menandai sejarah panjang perjuangan bangsa.

Hikmah sejarah kolonialisasi mengingatkan bahwa perjuangan melepaskan diri dari jejak kolonialisasi adalah perjuangan seluruh anak bangsa. Membangun kota lama, selain menghargai dan menghormati sejarah, juga menanamkan nilai-nilai patriotisme. Demikian setidaknya pemahaman masyarakat Gorontalo memaknai perjuangannya membangun kembali kawasan Kota Lama Gorontalo. 

Catatan: Tulisan ini adalah bagian pertama dari rencana dua tulisan yang akan mengulas tentang rencana pembangunan kawasan Kota Lama Gorontalo. Tulisan berikutnya, Geliat Pembangunan Kawasan Kota Lama Gorontalo, Potensi dan Peluang di Masa Depan, akan ditayangkan berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun