Siang itu, Wedana Orambagei dibuat pusing tujuh keliling oleh ulah Tarman, buruh londo yang bengal. Tarman, mengancam mogok kerja. Padahal dia posisinya sangat vital. Kemudi mesin untuk mengolah getah karet dia yang pegang. Selain itu Kawedanan Patgulipat sangat mengandalkan produksi karet sebagai penghasilan utama di wilayah pemerintahan kawedanannya. Bagaimana, dia mau menyetor pajak dan upeti, kalau produksi karet mati.Â
Selain itu, Kanjeng Wedana juga ketakutan kalau produksi karet macet. Kontrolir Belanda yang mengawasi kendali pemerintahannya bisa memberinya sanksi. Dicopot atau bahkan hukuman mati. Kontrolir lebih berkuasa daripada adipati atau penguasa distrik dibawah pemerintahan gubernemen Antahberantah. Kontrolir juga terkenal kejam, bukan hanya kepada rakyat jelata, juga kepada para pejabat lokal. Salah sedikit, dia bisa menyuruh prajuritnya menggunakan senjata untuk menghabisi.Â
Tarman dan para buruh mengancam mogok kerja, karena sekian lama gajinya tidak dinaikkan. Juga konon para buruh keberatan karena tidak lagi mendapat ijin cuti. Selain itu yang lebih memberatkan lagi, para buruh sewaktu-waktu bisa diberhentikan tanpa pesangon. Kabar angin yang belum jelas kebenarannya. Tapi kabar angin itu terlanjur menyebar ke seluruh telinga para buruh yang dipimpin oleh Tarman. Entah darimana kabar angin itu. Kabar angin yang tidak jelas asalnya. Namun sudah kadung, santer didengar dan dipercaya oleh Tarman dan kawan-kawan buruhnya. Â
Wedana Orambagei, berpikir panjang. Semalaman dia cari akal, agar Tarman hilang bengal, menurut dan tak jadi mogok kerja. Kanjeng Wedana mengutus bawahannya untuk menemui Tarman. Kalau bisa sekalian membujuk dan merayu Tarman. Jika perlu, sekalian bawa gadis abdi dalem kawedanan ikut serta. Berharap Tarman luluh dan menuruti kemauan kanjeng wedana.Â
Pergilah utusan wedana itu menemui Tarman. Dibawanya serta uang segepok dan gadis-gadis cantik untuk meluluhkan Tarman. Sampai di depan pintu rumah Tarman. Berhentilah rombongan itu. Saat beranjak masuk rumah Tarman, yang terlihat kokoh itu. Tarman sudah menghadang di depan pintu.Â
'Hai kisanak, mau apa gerangan kalian beramai-ramai ke rumahku, aku sedang malas menerima tamu" kata Tarman sambil memlintir kumis tebalnya yang melengkung bak sepatu Aladin.Â
Melihat tampang Tarman, utusan wedana tampak ciut nyalinya. Seperti warog Ponorogo saja ini tampang Tarman. Demikian, utusan wedana itu membatin, begitu lihat tampang Tarman, yang tidak saja kelihatan bengal, namun tampak pula kejam. Maka, untuk menenangkan hati dan meredam suasana, ia justru berbisik kepada dua gadis cantik yang di bawanya serta.Â
"Bilang ke tuan Tarman, Kanjeng Wedana, mengundangnya makan malam sebentar di kediaman Wedana" bisik utusan itu kepada salah satu gadis yang ikut rombongan.Â
Tarman, rupanya mendengar bisik-bisik utusan itu. Iapun berkata, bahwa dirinya tidak akan memenuhi undangan wedana yang culas itu. Tarman berpikir, saat dia sampai di rumah wedana, sudah ada geliat siasat Wedana untuk menangkapnya atau membujuknya, agar tak mogok kerja. Atau memaksanya untuk menandatangani perjanjian antara wedana dengan para buruh karet di perusahaan kawedananan itu.Â
"Wahai utusan Wedana, sampaikan kepada tuanmu yang culas itu, saya tidak akan datang ke undangannya, jangan paksa saya, kecuali kalian memang sudah siap berperang denganku" demikian Tarman, sang buruh bengal itu menantang rombongan utusan wedana itu.Â
"Baiklah Tuan Tarman, saya hanyalah utusan, dan soal perang bukan kami yang menentukan, tapi Kanjeng Wedana" jawab utusan itu.
"Wahai tuan Tarman, kami datang untuk mengundang anda baik-baik, kami tidak ingin memaksa anda tuan" tukas utusan yang lain dengan jawaban yang lebih diplomatis.Â
Akhirnya pulanglah rombongan itu dan melaporkan kejadian itu kepada Kanjeng Wedana. Mendengar jawaban utusan itu, Kanjeng Wedana tampak berang, sekaligus bimbang. Dia tidak mungkin memaksa buruh bengal itu, sekaligus merasa dirinya dilecehkan oleh hanya seorang buruh.
Namun Kanjeng Wedana berpikir panjang. Tarman, memang hanyalah seorang buruh, tapi dia bisa dibilang pimpinan buruh karet itu. Suaranya lebih didengar. Para buruh juga sangat menghormati Tarman, karena keberaniannya menyuarakan hak-hak buruh, kawan-kawan seperjuangannya.Â
Kanjeng Wedana memutar akal. Akal culasnya mulai bekerja. Dibuatlah surat yang ditujukan untuk Tarman seorang. Di dalam surat itu, ia menuliskan kalimat yang sangat rahasia. Hanya Tarmanlah yang akan mengetahui isinya. Surat yang kelak akan mengubah pendirian Tarman, yang dikenal pimpinan buruh yang idealis dan sukar digoyahkan pendiriannya. Seorang yang dikenal sangat memegang prinsip dan tak mudah dibujuk rayu dengan imbalan apapun.Â
Tapi bukan Wedana Orambagei namanya, kalau tidak bisa merubah pendirian Tarman. Wedana yang dikenal sangat berakal dan pintar menyiasati banyak hal itu. Wedana yang dikenal licin dan culas, dan akan menggunakan segala cara agar dirinya tetap bertahan. Wedana yang pandai mengambil hati kontrolir dan penguasa diatasnya.Â
Keesokan harinya dikirimlah kembali utusan Kanjeng Wedana. Tak ada satupun yang tahu apa isi surat Kanjeng Wedana untuk Tarman itu. Pun demikian dengan para utusan. Mereka hanya membawa secarik kertas yang digulung dan dimasukkan ke dalam bambu. Lalu gulungan bambu disimpan di dalam peti kayu berukuran kecil dan di gembok. Kunci gembokpun tetap dipegang Kanjeng Wedana.Â
Tidak ada satupun utusan yang berani membukanya. Sesuai perintah kanjeng Wedana. Hanya Tarmanlah yang berhak membuka peti kayu berisi gulungan kertas surat itu. Tarmanpun hanya bisa membukanya dengan cara merusak peti kayu kecil itu. Sebuah surat yang sangat rahasia isinya.Â
****
Tarman tampak tertegun dan manggut-manggut begitu membaca isi surat Wedana. Matanya yang tajam menyiratkan banyak makna. Dan tak seorangpun yang tahu dan bisa menangkap makna yang tersirat di sorot matanya. Dengan mimik wajah yang datar, dan sesekali tetap dengan memlintir-mlintir kumis tebalnya. Tarman tampak serius membaca isi surat Kanjeng Wedana itu. Entah apa yang dipikirkan Tarman, bahkan seisi rumahnyapun tak tahu.
Siang itu, hanya satu kejanggalan yang diperlihatkan Tarman. Dia sering sekali mondar mandir di beranda dan ruang tamu rumahnya. Tampak sekali sedang berpikir keras. Juga tersirat kebimbangan yang tak jelas, kecuali hanya tebak-tebakan sekilas. Dari langkah mondar mandirnya saja. Hanya istri Tarman saja yang tampaknya paham, apa yang dipikirkan Tarman. Itupun juga hanya pikiran yang berbeda saja, sekilat bayangan.Â
"Lakukanlah saja Kang Mas, tidak usah gundah, kalau menurutmu itu yang terbaik untukmu dan anak-anakmu, lakukan saja" kata sang istri Tarman yang dikenal sebagai perempuan yang sangat sabar itu.Â
Tarman masih bimbang. Seakan dirinya yang kesohor bengal itu hilang. Ia tak bisa bersikap tegas dan memegang prinsip setelah membaca surat Kanjeng Wedana itu. Memang, akal kanjeng wedana yang culas sekaligus cerdas, membuat Tarman seperti bersikap tak jelas. Setidaknya beberapa hari setelah membaca surat wedana itu.Â
Tarman masih menyembunykan rahasia isi surat itu kepada siapapun, termasuk kepada istrinya. Tapi Tarman yang bengal itu, sepertinya luluh. Di kedalaman hatinya, masih tersimpan guratan tentang keprihatinan. Iya, Tarman yang bengal itu benar-benar bimbang. Antara menyanggupi dan menuruti kata Wedana. Atau semakin menunjukkan keberpihakkan pada kawan-kawan seperjuangannya. Buruh pabrik karet milik kawedanan itu.Â
Pabrik karet yang selalu diawasi oleh kontrolir Belanda yang dikenal raja tega, terhadap nasib buruh, yang penting usahanya untung terus. Juga wedana, yang culas itu hanya mementingkan jabatannya. Penguasa Belanda dan pemilik usaha karet yang menguntungkan pihak Belanda, juga Kanjeng Wedana yang lebih mengabdi ke jabatan itu, seperti kawanan oligarki.Â
Demikian buruh Tarman berpikir. Namun sebengal-bengalnya Tarman, ia hanyalah buruh biasa. Ia tidak punya kuasa, kecuali hanya kepercayaan dari kawan-kawannya. Hatinya goyah, karena melawan kanjeng wedana dan kawanan oligarkinya, bisa jadi hanya sia-sia. Satu sisi, Tarman berpikir semua untuk kepentingan yang lebih besar, kepentingan jangka panjang.Â
Kepentingannya dan kawan-kawan buruh, mungkin semacam kepentingan kelompok kecil saja, meskipun sangat menentukan bagi kepentingan besar itu. Namun Tarman menyadari, pendapat kawan-kawan buruh mungkin sangat sepihak, bisa jadi juga termakan hoaks. Tarman bingung, juga bimbang. Satu sisi ia sangat peduli dengan kawan-kawannya, sesama buruh. Satu sisi, ia juga memikirkan kepentingan yang lebih besar, kepentingan jangka panjang. Kepentingan pemerintah kawedanan. Tapi ia tidak suka dengan Kanjeng Wedana, yang ia anggap sebagai pejabat culas.
Akhirnya, Tarman justru berpikir, jangan-jangan pihak lain memang ingin memperkeruh suasana. Ada pihak tertentu yang ingin memanfaatkan situasi. Dengan memprovokasi dirinya dan kawan-kawannya. Melalui isu-isu yang tak jelas soal nasib buruh. Juga isu-isu seperti adanya kawanan oligarki di kawedanan dalam urusan produksi pabrik karet itu. Tarman, yang hanya makan pengalaman tapi tak makan bangku pendidikan, membuat dirinya semakin bimbang. Apakah pikirannya selama ini benar, atau ia hanya mementingkan pikirannya sendiri.Â
 Tarman termenung, jiwa bengalnya hilang. Ia kuatir jika berpihak kepada Kanjeng Wedana, dia dianggap berkhianat kepada kawan-kawannya. Tapi, membaca isi surat dari Kanjeng Wedana, membuatnya gundah. Kanjeng Wedana ada benarnya. Tapi ia masih bimbang, apakah ini bagian dari keculasan wedana, atau bentuk perhatian wedana, sehingga kebijakannya lebih masuk akal.Â
Dalam situasi seperti ini, Tarman berpikir bahwa dirinya tak mungkin mewakili siapapun. Kecuali hanya mewakili dirinya sendiri. Ia kadang juga berpikir, apakah pikirannya selama ini salah. Apakah benar Kanjeng Wedana itu culas. Ataukah justru pikirannya yang salah selama ini. Bisa jadi Kanjeng Wedana itu memang cerdas dan memikirkan kepentingan yang lebih besar. Kanjeng Wedana itu memang membingungkan. Begitu Tarman berpikir yang tak habis-habisnya.Â
Bagi Tarman, pikiran-pikiran Kanjeng Wedana justru membingungkan bagi dirinya. Ia seringkali menganggap wedana itu pejabat yang culas. Namun ia tidak pernah melihat keculasannya merugikan dirinya secara langsung, juga kawan-kawannya. Keculasan wedana hanya dilihat karena adanya aturan-aturan yang seringkali berubah dan tak menguntungkan.Â
Itupun karena dirinya mungkin tak begitu memahami aturan dari jalan pikiran wedana. Tapi, satu sisi Tarman berpikir, Sang Wedana itu itu berpikir tentang kepentingan yang lebih besar. Butuh kebijaksanaan untuk melihat soal ini. Tarman semakin bimbang. Sifatnya bengalnya hilang. Tarman lalu mengunci diri dalam kamar. Sepertinya Tarman mulai belajar...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H