<<< Kisah sebelumnya di Bagian 1
Malam semakin larut. Udara malam menjelang pagi itupun semakin dingin. Masno dan Bapak kosnya masih asyik gelar tikar. Mendongeng kisah Suanggi yang beberapa jam lalu menghebohkan warga kampung.Â
Masno menuruti kata bapak kosnya. Ia rela berkorban demi bapak kosnya melanjutkan ceritanya tentang suanggi. Dia membelikan rokok di sebelah rumah saja, jadi tak perlu kuatir dihadang suanggi.Â
"Jadi, Masno, suanggi itu turun temurun. Seorang yang bersekutu dengan setan, belajar ilmu hitam dan jadi suanggi, matinya susah, ilmu suangginya harus diwariskan, saat dia mati" begitu kata bapak kos menceritakan mengapa suanggi itu masih tetap dipercaya ada sampai sekarang.Â
"Haa? jadi kalau tidak diwariskan, dia matinya susah? tersiksa? makanya harus diwariskan, begitu terus ya pak? tanya Masno semakin penasaran.Â
'Iya, jadi keluarga suanggi itu tahu, siapa diantara anggota keluarganya yang jadi suanggi, nah saat anggota keluarganya mau mati atau sakratul maut, salah satu keluarganya harus ada mendampingi dan bersiap menerima warisan jadi suanggi" demikian bapak kos menjelaskan.Â
Kemudian bapak kos, kembali mengulang cerita tentang janda dan anak gadisnya itu. Bagaimana mereka mewariskan suangginya. Singkat cerita mereka menikah dengan pemuda di kampung tetangga. Ibunya yang janda, menikah dengan seorang duda baik hati dan tidak sombong. Duda yang ditinggal mati istrinya, dan tak memiliki anak. Sementara anak gadisnya pun menikah dengan seorang pemuda satu desa, masih tetangganya.Â
"Pak kos tau, keturunan mereka siapa di kampung ini? tanya Masno penuh selidik.Â
"Ya gak tahulah, zaman dulu khan zaman Belanda, sampai sekarang desanya dimana, terus dua perempuan janda dan anaknya itu siapa, katong yang hidup sekarang sudah tidak tahu, urut-urutannya. Sudah ratusan tahun lalu, siapa yang rajin mau tahu semua" jawab Pak kos tampak sedikit ngenes dengan pertanyaan Masno. Â
Tapi menurut cerita-cerita orang tua-tua dulu, kata Bapak kos. Orang yang jadi suanggi itu bisa dikenali ciri-cirinya. "Itu menurut orang-orang tua dulu bilang" kata Bapak kos.Â
Menurut cerita, orang yang menganut suanggi, jarang bergaul atau enggan bersosialisasi. Wajahnya seringkali memperlihatkan wajah yang pusat pasi. Juga matanya lebih sering tampak merah. Dan juga kalau ketemu orang lebih sering menundukkan kepala. Tidak berani menatap orang yang kebetulan lewat dan bertemu dengannya.Â
"Kalau wajah pusat pasi, dan matanya merah, itu karena sering begadang kali ya pak, khan katanya sering beraksinya di saat tengah malam" kata Masno lagi-lagi dengan wajah lugu dan bibir manyunnya.Â
Bapak kos, tampak hanya nyengir saja mendengar pertanyaan Masno itu. Bagi bapak kos, seorang Masno memang orangnya lugu dan tidak tahu apa-apa soal suanggi. Maklum dia pendatang dan mungkin saja tidak percaya suanggi.Â
Bapak kos melanjutkan ceritanya. Pertanyaan Masno baginya memang wajar. Katanya, memang cerita suanggi ini banyak versinya. Di setiap kampung mungkin berbeda kisahnya. Tapi pada umumnya, mereka sangat percaya bahwa suanggi itu memang benar-benar ada.Â
Bapak kos meneruskan ceritanya. Suanggi yang berbentuk bola api, yang menerjang atap rumah dan masuk membakar, orang yang dikehendaki atau orang yang dimusuhi. Tapi lebih mengerikan lagi, suanggi yang berubah wujud, kepala dengan hanya organ dalam yang terburai. Terbang di malam buta mencari korbannya.Â
Kata orang-orang tua dulu yang menceritakan ke Bapak kos. Saat suanggi akan beraksi, dia naik ke atas bumbungan atau plafon rumahnya. Supaya tidak ada orang lain yang melihatnya. Di atas bumbungan itu, suanggi beraksi. Ditanggalkannya raganya. Lalu kepala, leher dan organ dalamnya terbang di malam buta, dari pohon ke pohon, terbang melayang-layang mencari korbannya.Â
Konon, dia akan merupa binatang atau pohon pisang atau apa saja, supaya tersamar. Ketika melihat orang lain yang bukan korban yang dikehendakinya. Di malam buta itu, suanggi akan memanggil-manggil nama korbannya. Konon, kalau suara terdengar dekat, berarti keberadaan suanggi di tempat jauh. Tapi kalau suaranya jauh, maka keberadaan suanggi itu justru sudah dekat.Â
Hanya korbannya saja yang mendengar. Korban atau orang yang dimusuhinya, biasanya karena dendam, atau karena korbannya pernah dan telah menyakitinya. Suanggi hanya akan beraksi pada tengah malam. Katanya di malam bulan purnama, kekuatannya berlipat ganda.Â
"Itulah kenapa, suanggi hanya bisa beraksi di malam hari. Kalau siang dia seperti manusia biasa, tidak gampang orang lain tahu dia suanggi atau bukan, kecuali orang itu punya mata batin yang bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat" panjang lebar bapak kos menjelaskan ke Masno yang tergagap-gagap.Â
Sebagian orang banyak yang tidak mengerti asal-usul suanggi. Cerita Bapak kos soal suanggi itu sudah ada sejak zaman Belanda. Itupun mungkin bagi orang lain, ceritanya berbeda. Tetapi setidaknya, itulah yang dipahami bapak kos soal awal mula adanya suanggi.Â
Namun, menurut bapak kos kepada Masno, kepercayaan bahwa suanggi itu turun temurun atau diwariskan ke keluarga-keluarga terdekatnya, pada umumnya dipercaya oleh sebagian besar orang-orang di Ambon, juga Maluku lainnya.Â
" Jadi bagaimana caranya mewariskan suanggi itu kepada orang yang dikehendaki itu pak? kok mau-maunya orang-orang menerima warisan ilmu hitam suanggi itu" tanya Masno lagi.Â
Mendengar pertanyaan Masno, bapak kos menyemburatkan wajah gelisahnya. Tak bisa dipungkirinya, hawa nafsu duniawi yang membuat ada saja orang-orang mau menerima warisan suanggi. Tapi ia menjawab pertanyaan Masno dengan datar. Katanya, suanggi bukan hanya diwariskan kepada sanak keluarga yang mau. Namun, tanpa sadar orang yang tidak tahu menahupun bisa dtulari atau diwarisi suanggi.Â
Bagi anggota keluarga yang tahu, kesediaan mewarisi suanggi karena kasihan, melihat anggota keluarganya terlihat kesakitan dan tersiksa menjelang kematiannya. Atau pada saat sakratul maut. Oleh sebab itu, dia bersedia menerima warisan suanggi dari anggota keluarganya yang sakratul maut.Â
" Coba bayangkan Mas, kalau misalnya ayahmu sakratul maut, terlihat tersiksa, bahkan ada yang percaya dia tidak bisa mati, tapi tersiksa terus, kalau tidak beralih tangan suangginya itu. Mati susah, hidup tersiksa. Begitu kira-kira. Terpaksa anggota keluarganya harus ada yang mau menerima suangginya" beber bapak kos sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.Â
Masno hanya mengangguk, tiba-tiba perasaannya bergidik. Membayangkan, tiba-tiba dia mewarisi suanggi karena menjenguk seseorang yang sakit atau sakratul maut, detik-detik menjelang kematian.Â
"Kalau anggota keluarganya tidak mau, bagaimana pak? apa berarti harus cari korban orang lain? tanya Masno lagi. Kali ini tanpa sadar dia ikut-ikutan membakar rokok. Dan mengisap rokok untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Alhasil, tentu saja batuk-batuk menerjang.Â
Mendengar pertanyaan Masno, bapak kos tampak ikut bergidik dan cemas.Â
"Masno, masih ada kopimu ka, tambah lagi bole" kata bapak kosnya itu lebih dingin lagi.Â
Perintah bapak kos membuat Masno semakin cemas. Semakin gugup dan bergidik. Membayangkan kopi di toplesnya habis dan bapak kosnya marah besar. Berikutnya dengan menghardik menagih uang kos bulan ini yang belum dibayar.Â
Dengan harap cemas, Masno masuk ke dapur, berharap kopi masih ada, daripada disuruh bayar kos malam itu juga, dimulai dengan hardikan lagi dari bapak kosnya. Syukurlah kopi masih ada. Masno bernafas lega.Â
Menurut bapak kos, orang yang tidak tahu menahu seseorang itu suanggi, mungkin saat dia menjenguk ke rumah salah seorang yang jadi suangg, ia akan menjadi korban menjadi pewaris suanggi, yang awalnya tak disadari.Â
Tapi setelah itu, secara perlahan dia akan menyadari kalau dirinya jadi suanggi. Dan pasti merahasiakannya pula. Jadi, suanggi akhirnya semacam persekongkolan rahasia. Siapapun akan merahasiakan kalau dirinya suanggi. Juga pasti merahasiakan, darimana suanggi diperolehnya.Â
"Pak, sebelum pulang, tanya satu lagi. Kenapa sekarang sapi yang dibunuh suanggi? Itu semalam, sapinya Tete Aji mati mengenaskan. Tengah malam, dibunuh, lehernya hampir putus, organ dalamnya tidak ada, kosong dan darah berceceran di kandang?" Tanya Masno.Â
Tiba-tiba Bapak kos, berdiri dan tertawa terbahak-bahak, sambil memegangi perut buncitnya yang kebanyakan cacing.Â
"Hahaha..Masno....Masno, semalam berapa orang yang datang di kandangnya Tete Aji?. Sambil tertawa terbahak-bahak Bapak kos tanya ke Masno
" Selain Tete Aji, ada sekitar enam orang. Dua ibu-ibu, terus bapak-bapak tiga orang dan seorang anak muda, dengan Bapak kos dan saya, jadi ada sekitar sembilan orang, memangnya kenapa pak?" tanya Masno masih terheran-heran.Â
"Hahaha, Masno..Masno, kamu kena prank Suanggi" jawab Bapak kos masih terus sambil tertawa terbahak-bahak.Â
"Jadi begini Masno..." sambil terkekeh Bapak kos mulai menerangkan. Hari ini Tete Aji Ulang tahun, dia mau memotong sapi untuk makan siang sebentar untuk seluruh warga yang mau. Tapi karena sapinya itu agak liar, makanya sengaja dia potong tengah malam. Tapi dari siang tadi sudah diikat. Nah, darah berceceran di kandang itu, ya jelas darah sapi yang habis dipotongnya.Â
Usus yang terburai, karena memang, waktu habis dipotong, jeroan sapinya langsung dipisahkan. Sudah ada orang yang bawa mengurusnya, dibawa ke belakang rumah Tete Aji, untuk dicuci dan dibersihkan. Lehernya hampir putus, ya terang aja, memang dipotong sama tukang jagal sapi, tapi memotongnya dengan didahului doa.Â
"Yang teriak, dimakan suanggi, itu tukang potong sapi suruhannya Tete Aji, yang lain juga begitu, sudah diatur..hahaha..prank suanggi" kata Bapak kos terbahak-bahak sambil meneruskan penjelasannya.Â
Terus waktu Bapak kos dan Masno berjalan pulang, terlihat ada tiga orang yang berjalan di gang itu? Ya, memang mereka sedang melaksanakan jadwal ronda.Â
"Biasa aja keles, giliranmu besok malam ronda Mas, kamu sudah sebulan tinggal disini, belum pernah ikut ronda" kata Bapak kos masih dengan terkekeh.Â
Malam menjelang pagi itu masih terasa dingin. Tapi mentari ufuk timur mulai menyemburatkan sinarnya. Kopi sudah habis tiga gelas. Rokoh dua bungkus juga tandas. Bapak kos, pamit pulang. Ngacir, setelah menghabiskan tiga gelas kopi dan dua bungkus rokok yang dibelikannya. Sialan. Masno, masih tertegun. Suanggi apakah iya, memang masih ada?
Catatan: Cerpen ini hanya fiksi atau rekaan, tidak ada kejadian yang sesungguhnya. Demikian juga plot cerita, setting lokasi dan penamaan tokoh, semuanya hanya fiksi belaka. Diangkat dari cerita hantu urban legend yang masih diceritakan dari mulut ke mulut sampai sekarang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H