Puisiku adalah tentang duka yang disembunyikan malam pada selarik awan. Menyaru bahagia pada detik-detik perjumpaan hujan. Mengibas awan seputih kapas pada semburat purnama. Lalu sekilat petir dan selemparan guntur menyambar kemilau di puncak semesta.Â
Maka dalam bayangan remang jiwa yang bertanya. Puisiku menengadah pada langit yang memburam luka. Seperti belantara waktu yang tak kunjung terang. Pada jiwa-jiwa yang nestapa diantara bintang yang membentang.Â
Duka lara yang disembunyikan kata lewat gerak mata menerawang angkasa. Jiwa-jiwa mempertanyakan makna pada cahaya. Langit yang menyemburatkan cahaya malam, memantul ke bumi. Namun bumi laksana rindu yang terdiam dan terpaku menyembunykan sunyi
Jika aku adalah tentang sunyi, maka kami adalah tentang rindu pada jiwa-jiwa suci. Kidung jiwa mengalun pelan meniupkan tahuri. Lalu terpanggillah suara angin mendesir menghadirkan sukma. Seperti suara merdu dari udara yang tak kasat mata, tapi lalu menggenapi jiwa.
Kepada duka. Kepada luka. Selarik awan menyembunyikannya. Dan kidung-kidung bahagia menyaru diantara  perjumpaan hujan dan udara yang menggenapi jiwa. Diantara mata dan telinga juga masuk ke dalam aliran sukma. Duka menyaru bahagia, namun angin meniupkan kekuatan jiwa.
Catatan: Tahuri adalah sejenis alat musik purba pada suku-suku pedalaman di Maluku, dengan cara ditiup. yang berfungsi untuk upacara sakral memanggil roh leluhur. Terbuat dari sejenis siput atau kerang berukuran besar yang dilubangi pada bagian pangkalnya. Hingga sekarang masih digunakan pada beberapa kegiatan ritual adat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H