Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mapalus, Budaya Gotong Royong Leluhur yang Tetap Hidup di Masyarakat Minahasa

22 September 2020   19:43 Diperbarui: 25 September 2020   05:31 10919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lesung batu, di Minahasa Selatan, Sumber: Balar Sulut

Budaya Mapalus sebagai Tradisi Gotong Royong

Di seluruh Nusantara, mengenal tradisi dan budaya gotong royong yang diwariskan oleh leluhur sejak masa lampau. Budaya dan tradisi gotong royong, adalah ciri yang lekat dengan masyarakat Indonesia, di seluruh Nusantara.

Demikian pula, dengan masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara. Masyarakat Minahasa, juga mengenal tradisi dan budaya gotong royong sejak masa lampau. Tradisi gotong royong itu, sampai sekarang masih bertahan, yaitu budaya Mapalus.

Masyarakat Minahasa sejak dahulu kala hingga sekarang telah hidup dan tumbuh dan berubah mengikuti gerak perkembangan jaman sehingga telah memberikan corak, bentuk dan sikap yang lain pada Mapalus tersebut.

Walaupun masyarakat Minahasa secara administratif sudah dimekarkan hingga menjadi beberapa Kabupaten yakni Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara serta Minahasa, namun dalam pelaksanaan sistem gotong royong masih tetap mempertahankan Budaya Mapalus. 

Keaslian pada Mapalus menunjukan bahwa setiap anggota Mapalus merasa bersatu dan disatukan oleh salah satu tujuan yaitu kesejahteraan dan kemakmuran bersama.

Di tengah hantaman modernisasi dan menguatnya individualisme, masyarakat Minahasa di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) masih tetap mempertahankan tradisi kebersamaan dan gotong royong yang dikenal dengan istilah mapalus. 

Menurut Denni Pinontoan, teolog dan budayawan dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon mengatakan, mapalus merupakan praktik tua yang melembaga di Minahasa sejak sebelum Kekristenan diterima secara masif dan sejak tanam paksa kopi diberlakukan awal abad 19.

Kata "mapalus" terbentuk dari dua kata "ma" sebagai awal untuk menunjuk pada sebuah proses yang aktif, dan "palus" yang berarti "dicurahkan" atau "dibagikan". Jadi mapalus dari segi istilah artinya saling mencurahkan tenaga dan sumber daya atau saling membagikan apa yang dimiliki masing-masing pihak atau orang.

Sebagai sebuah praktik kerja, ungkap Deni, mapalus berarti kerja bersama atau bergiliran dengan kesepakatan-kesepakatan yang diterima bersama untuk menyelesaikan suatu kerja (bertani) demi tujuan yang diharapkan bersama (Liputan 6). 

Sumber: nalarpolitik.com
Sumber: nalarpolitik.com

Baca juga: Gotong Royong, Merawat Modal Sosial....

Mapalus adalah suatu sistem kerja sama untuk kepentingan bersama dalam budaya Suku Minahasa. Jika, awalnya mapalus tumbuh pada kegiatan pertanian, seperti masa tanam dan masa panen. Namun sekarang juga ke bidang-bidang lainnya, pendidikan, ekonomi dan aktivitas kehidupan lainnya. 

Mapalus, berupa kegiatan kerja sama bersifat sosial. Kerjasama semakin meluas, termasuk kegiatan-kegiatan adat, mendirikan rumah, membuat perahu, perkawinan, dan sebagainya. Sama seperti pada umumnya bentuk gotong royong lainnya di Nusantara.

Mungkin perbedaannya, terletak pada warna budayanya. Mapalus, demikian melekat baik masyarakat Minahasa di desa, namun juga yang kini sudah hidup di kota. 

Saya menjumpai, untuk tradisi mapalus pada masyarakat Minahasa, tumbuh tidak hanya hidup di masyarakat pedesaan yang masih tradisional. namun juga masih menjadi spirit masyarakat perkotaan.

Mapalus, bukan hanya tradisi leluhur yang masih hidup, namun juga menjadi sikap mental di kalangan masyarakat Minahasa. Baik di pedesaan, maupun yang tinggal di perkotaan.

Baca juga: Keindonesiaan hari Ini, Ditentukan Kebudayaannya

Mengapa budaya mapalus, di kalangan masyarakat Minahasa demikian kental dan lekatnya? Tidak hanya sebagai tradisi leluhur yang turun temurun, namun juga menjadi sikap mental dan sikap hidup sampai sekarang?

Hal ini karena mapalus, atau tradisi gotong royong, adalah kebudayaan yang sudah sangat arkaik, kebudayaan purba yang terus bertahan. 

Budaya Mapalus Sudah dikenal sejak masa Prasejarah

Tradisi dan budaya gotong royong masyarakat Nusantara adalah tradisi dan budaya yang sudah purba. Di seluruh nusantara ini, mengenal tradisi gotong royong. Budaya paling arkaik yang lahir dari akar kebudayaannya. Pada umumnya dikenal sejak pengaruh Austronesia hadir di Nusantara sekitar 4000 tahun yang lalu.  Bahkan mungkin lebih tua dari itu.

Mapalus, adalah budaya paling arkaik di Minahasa, yang hingga kini tetap hidup dan terus tumbuh berkembang. Selain menjadi pandangan hidup yang turun temurun. Juga menjadi praktik baik yang masih terus tumbuh, bahkan menjadi nilai yang melekat dalam berbagai bidang kehidupan. Ruh kebudayaan Mapalus terus hidup, sehingga kultur kekeluargaan masyarakat Minahasa, tampak dalam keseharian hingga kini. 

Banyak bukti arkeologi, yang bisa kita eja sebagai tanda gotong royong itu nyata adanya. Sejak dulu kala. Bukti-bukti arkeologi, membuktikan bahwa gotong royong adalah budaya paling purba di Nusantara. Dan kini menjelma ke dalam berbagai perangkat kehidupan kita. Berkembang dan terlembaga, menjadi instrumen kerjasama dan sistem kehidupan yang lebih tertata. 

Kita bisa membayangkan, bagaimana batu-batu menhir berukuran raksasa, ada di perbukitan. Tentu karena dikerjakan secara beramai-ramai. Lepas berbagai mitos yang melatari kehadirannya. Biasanya mitos-mitos seputar itu yaitu karena adanya kekuatan gaib para roh leluhur.

Satu lagi mitos yang menegaskan bahwa masyarakat Nusantara, adalah bangsa yang sangat percaya adanya kekuatan gaib, lalu berkembang pada kepercayaan dan anasir-anasir keagamaan.

Pada umumnya, dikenal masa awal bercocok tanam. Awalnya gotong royong dikenal di bidang pertanian, ketika budaya olah pangan dikenal. 

Pertanian dengan lahan yang luas dengan batas-batas lahan yang tidak jelas, awalnya lahir dari kesepakatan. Batas-batas alam, disepakati sebagai penanda batas kepemilikan. Baik berupa sungai, bukit, batas sungai dan sebagainya.  Tradisi ini menciptakan gotong royong. 

Begitu pula yang bisa kita pahami tentang budaya Mapalus di kalangan masyarakat Minahasa. Bagaimana kita bisa tahu kalau budaya mapalus itu sudah dikenal sejak masa prasejarah? 

Iya, budaya mapalus sudah dikenal sejak zaman megalitik, zaman ketika masyarakat nusantara sudah mengenal media pemujaan berupa batu-batu berukuran besar.

Bahkan kemungkinan juga masa yang lebih tua, yaitu pada zaman neolitik atau zaman batu muda. Zaman ketika masyarakat sudah mengenal kehidupan bercocok tanam. 

Data arkeologi Lesung Batu. Sumber; Balar Sulut
Data arkeologi Lesung Batu. Sumber; Balar Sulut
Masa peralihan dari neolitik ke masa megalitik, mungkin puncak peradaban dikenalnya budaya mapalus di Minahasa. Beberapa situs arkeologi yang ditemukan, memperlihatkan bahwa wilayah Minahasa Selatan sejak masa Megalitikum, sekitar 2500 tahun yang lalu, menjadi lumbung pangan bagi masyarakat di Semenanjung Minahasa. 

Data arkeologis tinggalan Megalitikum di Minahasa Selatan yang telah dikumpulkan selama beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya sebaran tinggalan megalitikum beragam di wilayah ini. 

Lesung batu dan lumpang batu, merupakan tinggalan budaya manusia yang paling banyak ditemukan di Minahasa, terutama di Minahasa bagian selatan ini; menhir (batu tumotowa/batu pinantik/batu tumani); dulang batu, altar batu/meja batu; dan batu dakon, serta waruga yang banyak ditemukan di Minahasa Utara.  

Ciri budaya gotong royong, termasuk budaya mapalus di Minahasa, adalah adanya organisasi sosial. Masyarakat sudah tertata hidup berkelompok dan adanya sistem yang terlembaga, juga lembaga yang sudah menjadi sistem, yaitu sistem sosial yang berlaku di masyarakat. 

Pembagian kerja juga struktur di masyarakat. Masa neolitik, orang sudah hidup menetap, berkampung dan sudah memiliki pemimpin sosial. Juga berkembang di masa megalitik, ketika sistem kepercayaan leluhur sudah tumbuh. 

Ada kesadaran untuk saling berbagi dan bekerjasama , karena faktor kebutuhan bersama. Ada proses budaya, yang mendorong masyarakat untuk bekerjasama. Dikenalnya hidup menetap dan bercocok tanam, mendorong masyarakat masa neolitik dan terus berkembang di masa megalitik untuk saling bekerjasama. Karena faktor kebutuhan bersama, saling membutuhkan satu sama lain. 

Ciri kehidupan menetap dan berkampung, adalah cikal bakal, kehidupan berkelompok, dengan pranata sosial yang hidup di dalamnya. Mereka bercocok tanam sederhana, memanfaatkan lahan-lahan yang ada. Lalu tumbuh kesadaran untuk perjuangan hidup bersama. 

Juga kesadaran untuk menerima keadaan yang terbatas, sehingga melahirkan kesadaran untuk mengharapkan kekuatan yang lebih besar di luar dirinya. Lalu timbullah kesadaran memuja kekuatan leluhur.

Di situlah kemudian, tercipta media-media pemujaan melalui batu-batu berukuran besar yang disebut menhir. Di Minahasa, dikenal dengan Batu Tumotowa. Sarana pemujaan masyarakat prasejarah di masa megalitik. 

Batu menhir dalam istilah Minahasa, Batu Tumotowa, sebagai media pemujaan leluhur. Sumber: Balar Sulut
Batu menhir dalam istilah Minahasa, Batu Tumotowa, sebagai media pemujaan leluhur. Sumber: Balar Sulut
Di sisi lain kehidupan berkelompok, membutuhkan pranata sosial untuk mengatur dirinya dan bertahan hidup. Kehidupan pertanian adalah salah satu ciri kebudayaan besar yang tumbuh mula-mula di nusantara, termasuk di tanah Minahasa. Kehidupan pertanian juga kehidupan religius, tumbuh bersama. Dalam ruang kebudayaan Minahasa yang raya. 

Kebudayaan yang besar, tumbuh dari semangat dan kerjasama yang besar. Juga bukti budaya benda yang besar, adalah penanda yang paling jelas teraba, memberikan khabar tentang bagaimana orang Minahasa, bekerja sama, dalam ikatan rasa yang sama. Kebutuhan hidup dan keluhuran budi ada dalam satu tarikan nafas bersama. 

Lalu, kehidupan semakin tertata. Tumbuhlah kehidupan bersama yang bersahaja. Bukti prasejarah, sudah demikian jelas berkata. Menyampaikan pesan penuh makna. Waruga, adalah salah satu contoh bukti material, adanya kerjasama yang besar, ada sistem gotong royong. Adanya kehidupan budaya mapalus. 

Batu-batu berukuran besar, setinggi manusia, di pahat dan di pangkas di tepi sungai. Lalu, di bawa ke tepi pemukiman mereka. Sebagai peti kubur orang-orang yang dihormati, anggota keluarga tercinta, juga leluhur yang lebih dulu meninggalkan dunia fana. Batu-batu berukurakan besar, ditata sedemikian rupa.

Lesung batu, di Minahasa Selatan, Sumber: Balar Sulut
Lesung batu, di Minahasa Selatan, Sumber: Balar Sulut
Di bawah dari sumber bahan bakunya, di tepi sungai atau bahkan di perbukitan. Tanpa kerjasama dan gotong royong,tak mungkin berpindah dari tempat asalnya, hingga sampai ke tempat yang mereka kehendaki. Apakah bisa sampai disana, jika tidak dikerjakan secara beramai-ramai? 

Memang berbagai mitos beredar seputaran temuan itu. Tentang kekuatan super leluhur nenek moyang dulu. Namun, fakta-fakta ilmiah, memperlihatkan adanya bentuk-bentuk sistem sosial yang melembaga, sehingga bentuk kerjsama dan gotong royong masyarakat zaman dulu sudah berkata seperti itu. Benda budaya sudah bicara, perihal makna. 

Begitu juga lesung-lesung batu berukuran setinggi manusia. Dengan lebar diameter bahkan ada sebesar setengah diameter lubang sumur. Kita bisa jumpai di pegunungan dengan medan pendakian yang sulit. Sulit membayangkan rasanya, jika itu dikerjakan sendirian. 

Bagaimana mungkin batu-batu berukuran besar, yang tersedia di sungai dan lembah, itu berada di pegunungan. Atau jikapun batu-batu itu berasal dari puncak bukit, tentu ada prakrasa memindahkannya di bagian yang datar, di bagian lereng ataupun puncaknya. 

Juga, bagaimana batu-batu menhir atau Batu Tumotowa, yang berukuran setinggi dua kali manusia dewasa itu, bisa ditancapkan di atas tanah di tempat-tempat yang dipilih.

Demikian teraturnya masyarakat dulu menempatkannya di lahan datar, di wilayah perbukitan. Juga digunakan sebagai ritual pemujaan, yang tidak hanya untuk kebutuhan personal, tetapi jelas untuk kebutuhan komunal. 

Semua bukti arkeologi itu, menegaskan bahwa budaya gotong royong, budaya mapalus di Minahasa, adalah budaya yang sudah sangat purba, dan hingga sekarang masih terus hidup membaca zaman. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun