Batu-batu berukuran besar, setinggi manusia, di pahat dan di pangkas di tepi sungai. Lalu, di bawa ke tepi pemukiman mereka. Sebagai peti kubur orang-orang yang dihormati, anggota keluarga tercinta, juga leluhur yang lebih dulu meninggalkan dunia fana. Batu-batu berukurakan besar, ditata sedemikian rupa.
Memang berbagai mitos beredar seputaran temuan itu. Tentang kekuatan super leluhur nenek moyang dulu. Namun, fakta-fakta ilmiah, memperlihatkan adanya bentuk-bentuk sistem sosial yang melembaga, sehingga bentuk kerjsama dan gotong royong masyarakat zaman dulu sudah berkata seperti itu. Benda budaya sudah bicara, perihal makna.Â
Begitu juga lesung-lesung batu berukuran setinggi manusia. Dengan lebar diameter bahkan ada sebesar setengah diameter lubang sumur. Kita bisa jumpai di pegunungan dengan medan pendakian yang sulit. Sulit membayangkan rasanya, jika itu dikerjakan sendirian.Â
Bagaimana mungkin batu-batu berukuran besar, yang tersedia di sungai dan lembah, itu berada di pegunungan. Atau jikapun batu-batu itu berasal dari puncak bukit, tentu ada prakrasa memindahkannya di bagian yang datar, di bagian lereng ataupun puncaknya.Â
Juga, bagaimana batu-batu menhir atau Batu Tumotowa, yang berukuran setinggi dua kali manusia dewasa itu, bisa ditancapkan di atas tanah di tempat-tempat yang dipilih.
Demikian teraturnya masyarakat dulu menempatkannya di lahan datar, di wilayah perbukitan. Juga digunakan sebagai ritual pemujaan, yang tidak hanya untuk kebutuhan personal, tetapi jelas untuk kebutuhan komunal.Â
Semua bukti arkeologi itu, menegaskan bahwa budaya gotong royong, budaya mapalus di Minahasa, adalah budaya yang sudah sangat purba, dan hingga sekarang masih terus hidup membaca zaman.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H