Manusia dan Cikal Bakal Peradaban Indonesia
Beberapa waktu lalu, sempat menyeruak perdebatan soal manusia pribumi Indonesia. Apakah benar, tidak ada yang sebenar-benarnya manusia pribumi Indonesia? Semua karena diaspora, apakah ini pernyataan politis atau narasi budaya? terus yg dimaksud pribumi itu merujuk ke soal genealogis biologis, atau genealogis budaya?Â
Demikian, saya mengajukan pertanyaan untuk diskusi bedah Buku" Manusia-Manusia dan Peradaban Indonesia" yang ditulis oleh Prof. Truman Simanjuntak. Seorang arkeologi senior, salah satu mahaguru arkeologi Indonesia yang ada saat ini. Selain Truman Simanjuntak, juga hadir Prof Harry Widianto, mantan Kepala Museum Manusia Purba Sangiran, yang kini menjadi peneliti senior di Balai Arkeologi Yogyakarta dan Dr. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gajah Mada.Â
Tantangan para arkeolog memang sesungguhnya, untuk menjawab perdebatan soal-soal kebangsaan, soal-soal Keindonesiaan dari kacamata budaya, dengan pintu masuknya arkeologi. Artikel ini, mungkin tidak banyak menyinggung soal isi buku yang ditulis Truman Simanjuntak itu. Namun, beberapa poin penting hasil diskusi itu, ingin saya bagikan untuk para pembaca Kompasiana.Â
Kembali, ke pertanyaan saya di awal, Harry Widyanto, seorang arkeolog sekaligus paleontolog, mengambil waktu untuk menjawabnya. Bagi Harry, sejak diaspora homo sapiens, ras manusia modern , yang pertama kalinya melakukan perjalanan dari Afrika, 150 ribu tahun lalu. Sebenarnya memang itu cikal bakal, penyebarannya hingga ke Nusantara. Lalu manusia yang dianggap mengantarai antara homo erectus dan homo sapiens adalah homo florensiensis. Walaupun sampai sekarang itu juga masih menjadi perdebatan. Setelah itu muncullah manusia modern awal antara 70 ribu sampai 20 ribu tahun yang lalu.Â
Bagaimana perjalanan Indonesia, sejak persebaran pertama kali manusia modern dari Afrika hingga ke wilayah Nusantara. Migrasi, interaksi, adaptasi dan evolusi, adalah lukisan perjalanan dalam dimensi ruang dan waktu. Ruang geografisnya adalah kepulauan nusantara. Demikian, setidaknya digambarkan isi buku Truman ini oleh koleganya, yaitu Harry Wdiyanto.Â
Munculnya diaspora manusia dari luar kepulauan Indonesia, kemudian melakukan penetrasi ke wilayah nusantara, hingga terbentuklah kumpulan kebudayaan yang ada di kepulauan Nusantara hingga saat ini. Dalam rentang waktu sejak 2 juta tahun lalu, dalam dimensi ruang dan waktu menjadikan kekayaan budaya yang kita baca sampai sekarang ini.Â
Keberadaan manusia tertua, homo erectus, berdasarkan terori "Out Of Africa", keluar dari Afrika 1, 8 juta tahun yang lalu kemudian sampai ke kepulauan Nusantara mengalami evolusi selama, 1, 5 juta tahun lamanya. Lalu homo erectus itu punah, pada 150 ribu tahun yang lalu. Lalu digantikan dengan homo sapiens, cikal bakal manusia modern, hingga yang tampak fisiknya hingga sekarang ini.Â
Sebelum ini melakukan perjalanan dari timur ke barat, melalui NTT dan NTB. Jadi di NTB dan NTB ada percampuran ras mongolid dan ras austromelanosoid. Ras mongoloid, menduduki Indonesia bagian barat, seperti di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi sejak 4000 tahun yang lalu.Â
Inilah bukti, manusia-manusia Indonesia ini, berasal dari banyak ras yang saling bercampur karena ada proses migrasi. Jadi migrasi ras mongoloid ini ada dua rute, yang satu menempuh jalur timur (migrasi timur), rute migrasi ras mongolid berbahasa Austronesia yaitu migrasi timur "Out of Taiwan, 4000 tahun yang lalu. Lalu menempati wilayah Indonesia bagian barat. Sementara jalur barat, atau migrasi barat, ras mongoloid bahasa Austro Asiatik, migrasi barat, sebelum 4000 tahun yang lalu.Â
Jadi manusia Indonesia, adalah manusia yang kompleks, dimulai dari Homo Erectus yang diaporanya linier dan jelas, dan punah di 100 ribu tahun yang lalu. Namun ketika memasuki fase homo sapiens, hingga munculnya ras mongoloid dan austromelanosoid, merupakan perjalanan yang kompleks. Sejak memasuki fase homo sapiens. Manusia Indonesia sangat kompleks, tidak single ras.Â
Jadi dalam proses migrasi, adapatasi dan evolusi itu, antara Indonesia di bagian barat, tengah dan timur semuanya saling berangkaian, saling terjalin saling menganyam keindonesiaan, bagi dari sisi diversitas genealogis, etnik maupun kultural. Jadi, itulah pentingnya memahami dan mengelola diversitas biokultural untuk merawat keragaman dan melestarikan Keindonesiaan.Â
Merawat Keindonesiaan, Pesan Masa Lalu Untuk Indonesia
Tapi ada kerangka logis, dan bagaimana mengimplementasikan aktivitas budaya kita di masa kini dan masa datang. Jadi jelas, hubungan masa lalu, masa kini dan masa depan, tidak hanya jargon, tapi ada, ciri kebhinekaan itu terbentuk dan bagaimana pemahaman pembentukannya, melalui fakta-fakta arkeologi tentan migrasi, adaptasi dan evolusi. Kerja arkeologi yang lebih nyata, tampak dalam berbagai pesan dalam buku itu. Pesan tentang lahir dan terbentuknya Keindonesiaan.Â
Inti buku Truman Simanjuntak itu sendiri, sebenarnya adalah tentang Keindonesiaan. Truman ingin menegaskan bagaimana sebenarnya perjalanan peradaban di tanah nusantara ini. Lahirnya konsep-konsep kebangsaan dan Keindonesian, hingga sekarang ini, adalah proses perjalanan bangsa, yang harus kita semua pahami. Walaupun seringkali kita melupakan dan alpa.Â
Akibatnya, seringkali kita sibuk memperdebatkan soal-soal kebangsaan, tanpa paham bagaimana akar kebangsaan itu sebenarnya berawal hingga tumbuh sampai saat ini.Â
Perdebatan-perdebatan tentang Keindonesiaan, bahkan munculnya konflik-konflik di tanah air, karena mereka tidak memahami akar kebangsaan kita sebagai bangsa yang besar, yang memiliki akar kebudayaan yang luhur yang diwariskan dari nenek moyang bangsa Indonesia.Â
Perjalanan peradaban sesungguhnya memberi pelajaran berharga tentang lahirnya Keindonesiaan yang multibudaya. Juga adaptasi lingkungan kepulauan, adalah membentuk budaya Indonesia yang khas namun kompleks. Adaptasi lingkungan kepulauan, menciptapakan keragaman budaya nusantara. Itulah ciri khas kebangsaan, Keindonesiaan bangsa kita.Â
Adaptasi lingkungan kepulauan, menjadi ciri budaya nusantara yang paling kental. Banyak pelajaran tentang sifat dan sikap leluhur bangsa Indonesia, dalam rangka menerjemahkan kondisi lingkungan kepulauan. Sifat dan sikap adaptasi terhadap lingkungan kepulauan itu, menjadi ciri budaya yang sangat lekat.Â
Bagaimana leluhur bangsa Indonesia, memiliki sifat dan sikap keterbukaan, misalnya. Hal ini karena jiwa petualangan leluhur masa lampau dalam menjawab tantangan alam. Perjalanan dari pulau ke pulau dan menemui komunitas penduduk di pulau yang didatangi, membuat leluhur bersifat terbuka.Â
Juga tentang ketuhanan dan religiusitas. Kondisi alam yang menantang, menuntut budaya leluhur dulu untuk menengadahkan permintaan dan harapan atas dirinya, keselamatan dan survival terhadap lingkungan, dengan mengharap kekuatan lain di luar dirinya. Demikian, sehingga ideologi Pancasila, dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa, sesungguhnya lahir dari rahim kebudayaan masa lampau nusantara.Â
SIkap tak kenal menyerah, juga ciri orang kepulauan. Muncul dari tradisi untuk menempati daerah baru. Jadi nenek moyang austronesia di bumi Indonesia, tahap demi tahap menduduki daerah-daerah baru, terus berkembang dan selalu belajar dari setiap perjalanan dan pengalamannya.
Perjalanan panjang sejarah budaya bangsa, dari nilai-nilai luhur yang membentuk kebangsaan, Keindonesiaan. Juga perjumpaan dengan berbagai anasir dari pengaruh budaya luar dalam perjalanannya. Oleh karena itu cara pandang arkeologi, tidak hanya melihat Indonesia, dalam rentang waktu masa lalu, namun juga masa kini dan masa depan.Â
Arkeologi tidak hanya sepenuhnya melihat masa lampau. Selalu ada pesan yang akan kita gali untuk bekal masa kini dan masa depan. Arkeologi selalu melihat perkembangan-perkembangan baru. Mampu mendeteksi perubahan yang berlangsung tidak dalam waktu singkat. Arkeologi memberikan bekal ke masa depan, dengan melihat kembali fenomena masa lalu.Â
Arkeologi seperti memberi bekal, melihat masa lampau, bagaimana peradaban-peradaban masa lampau yang collaps. Pengetahuan ini menjadi bekal pengetahuan, bagaimana memperlakukan waktu dan ruang di masa kini dan masa depan. Sebagai contoh arkeologi memberikan bekal pengetahuan dan pengalaman masa lalu tentang adaptasi manusia terhadap alam. Kalau kita menghancurkan alam, maka sesungguhnya menghancurkan kita sendiri.Â
Jika melupakan Tuhan, juga melupakan diri kita sendiri. Arkeologi mengajarkan tentang survival for the cooperatif. Belajar dari waktu yang panjang, maka kita belajar memetik pengalaman untuk survival ke masa depan. Demikian perpespektif arkeologi melihat masa depan. Arkeologi adalah long terms history.Â
Menutup diskusi bedah buku itu, I Made Geria, Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, menekankan agar arkeologi menjadi solusi dalam pemecahan persoalan-persoalan kebangsaan. Menjadi solusi di tengah-tengah persoalan yang ada di masyarakat. Jadi melalui Rumah Peradaban, menjadi media untuk memahami peradaban di rumah sendiri. Perlu semua pihak bekerjasama berkonstribusi untuk kepentingan pembelajaran, penguatan pendidikan, pencerdasan dan penguatan karakter bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H