SEBELUM USIA USAI
Luangkan waktu untuk bersimpuh di kaki yang pernah kuat menuntun langkah-langkah kita.
Genggam tangan yang pernah menyuap makanan di mulut kita dengan penuh cinta.
Peluk erat dengan penuh kerinduan tubuh yang mulai renta.
Lalu tatap lekat-lekat wajah yang dipenuhi keriput karena telah lama bergelut dengan hidup.
Untuk sekedar bertanya "apa kabarmu, ibu". (Rustam Awat)
Di halaman akun Facebook (FB) sahabat saya, Rustam Awat namanya. Beliau seorang dosen dan juga fotografer yang sangat bersahaja. Mengajar di salah satu perguruan tinggi di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Saya tidak akan membahas beliau yang sangat bersahaja itu. Tapi saya tergugah dengan foto dan status di akun FBnya.Â
Sengaja saya mengutip narasi pendek dalam status FBnya. Saya mengutip tulisannya, karena sangat terinspirasi dan tergugah. Kalimat sederhana yang memikat itu membuat saya tertunduk dan merenung atas perjalanan hidup saya. Juga tiba-tiba mengingat ibu saya yang telah renta.Â
Terinspirasi dari sahabat saya yang dosen itu, saya ingin menulis surat melalui Kompasiana ini kepada Ibu, sebagai orang tua yang paling mulia. Tulisan ini saya persembahakan kepada Ibu saya, juga kepada semua ibu di dunia.
Saya tidak paham, tulisan saya ini bergenre apa. Sepertinya tidak begitu penting soal itu, menurut saya. Intinya, saya tergerak untuk menulis, karena inspirasi dari sahabat saya itu. Menulis sebuah surat tentang pengakuan dan pendakuan saya, terhadap sosok ibu.Â
Saya menuliskan artikel ini dengan gemuruh jiwa dalam dada. Gemuruh tentang rasa yang tiba-tiba menyeruak bahwa saya bukan siapa-siapa, bukan apa-apa tanpa seorang ibu.Â
Rasa yang tiba-tiba tercekat waktu, bahwa selama ini saya seperi melupakan sosok ibu, yang begitu berjasa dalam setiap perjalanan, dimana saya melangkah dengan pongah.
 Seakan semua waktu dan ruang adalah soal saya sendiri. Merencana kehadiran dan keberaradaan. Apakah anda juga merasakan seperti yang saya rasakan sekarang?. Kalau tidak,  cobalah hentikan sejenak aktivitas anda, berdiam dan tenangkan pikiran, lalu ingat-ingatlah masa kecil anda.Â
Sayapun sebenarnya tidak banyak kata bisa mengalir, untuk bisa menggambarkan rasa hormat saya kepada sosok ibu. Karena begitu luas dan raya, dunia ini penuh dengan ruh ibu.Â
Dunia kata, takkan pernah mampu menjangkau ruh ibu, yang demikian luas dan raya itu. Surat saya kepada Ibu, mungkin hanya sekelumit kata, yang singkat dan tak penuh makna.Â
Tapi saya ingin mengungkapkan ini, sejauh kata yang saya bisa. Mungkin kata tak punya arti, tapi menjadi makna, jika saja kita bercermin untuk merupa kata dalam segala laku kehidupan kita. Laku untuk menghormati dan memuliakan seorang Ibu.Â
Sama halnya, kalimat sahabat saya itu, begitu singkat. Namun dia ingin menyampaikan pesan nan bermakna bagaimana menghormati dan memuliakan seorang ibunya. Seperti berikut yang mampu saya tuliskan surat kepada ibu:Â
Surat Kepada Ibu
Ibu, suatu ketika aku melihatmu dalam bayangan cermin di kamar yang jauh darimu. Ternyata kita begitu dekat sesungguhnya. Tetapi aku entah berapa lamanya, tak pernah bicara denganmu. Ibu, aku tahu kau tak pernah melupakan anak-anakmu. Tapi kau juga tak pernah mengungkapkan rindu. Karena kau merasa rindu kami, hanya untuk menantu dan cucu-cucumu.ÂTidak ibu...aku dan anak-anakmu selalu rindu kepadamu. Terutama aku, yang merasa diri paling dekat denganmu. Bahkan kadang aku merasa, jiwamu seluruhnya ada padaku.Â
Ibu...aku ingat suatu ketika kau berbicara padaku. Anakku, ibumu tidak bisa mengantarkanmu sekolah sampai tinggi. Kaulah yang harus mencapainya sendiri.Â
Aku juga ingat ketika kau bilang, anakku... ibu tak bisa mencarikanmu pekerjaan, tapi kau sendirilah yang mencari  dalam hidupmu. Ohiya, aku juga ingat ketika ibu katakan, nak...kelak ketika kau dewasa, aku titipkan cita-citamu di pundakmu sendiri, ibu tak bisa membawa cita-citamu di pangkuan ibu.Â
Juga pernah suatu ketika kau bicara denganku, dan ini yang sangat penting buatku dan tak pernah kulupa, ibu bilang..anakku ibu hanya bisa memberimu makan dan membesarkanmu, tapi kau sendirilah yang mengisi ruang hatimu, juga ruang di pikiranmu. Kaulah yang menanam dan menyiram sendiri harapanmu. Yang ibu bisa hanya mendoakanmu dan mendukung semua kebaikan yang kau lakukan. Jangan lupakan saudara-saudaramu, juga ibu sampai kapanpun.
Hmmm...Ibu, maafkan anakmu ini, yang tak pernah paham tentang duka, lara dan nestapa yang mungkin ibu sembunyikan. Seketika merawatku dari bayi hingga usia kepala empat ini. Ibu, aku tidak bermaksud curhat atau meluapkan isi hati. Tapi aku menuliskan ini, tergerak dengan sendiri, seperti mengalirnya air sungai di lembah-lembah sunyi.Â
Pada suatu waktu, ketika merasa bahwa aku, anak laki-lakimu sudah terlalu jauh darimu. Seorang ibu, yang aku hapal betul, aku ingat betul memberiku sepiring nasi dan sepotong lauk, setiap saat aku pergi sekolah, di masa kecil dulu. Setidaknya itu yang paling kuingat sekali dari ibu. Suapan nasi dan lauk di tangan ibu, begitu enaknya, dan kurasakan makanan terlezat yang pernah aku rasakan. Juga ketika ibu berpesan, hati-hati di jalan, biasakan berdoa dan juga gak usah jajan.
Ibu, mungkin kau tidak banyak berkata-kata kepadaku, sebagai wujud rasa sayang kepada anakmu. Tapi Ibu tahu, aku selalu menganggapmu manusia yang paling mulia di dunia ini. Orang tua yang paling suci dan bersih hatinya, menurutku. Kau memang tidak banyak berkata-kata.Â
Tapi semua yang kau lakukan adalah wujud cinta dan sayang kepada setiap anak-anakmu. Dan tak pernah kau sedikitpun menuntut balasan. Cinta ibu sepanjang jalan, cinta anak sepanjang galah. Sepertinya peribahasa itu memang pas. Pengorbananmu, ketika sejak pintu suci dalam rahimmu, sehingga anak-anakmu lahir di dunia, adalah sebuah pengorbanan yang tak terhingga besarnya.Â
Lalu kau membesarkan anak-anakmu dengan peluhmu. Di punggungmu kau gendong aku, dan kau peluk adikku dipangkuanmu, sambil kau menyuapi seluruh anak-anakmu. Itu adalah pengorbanan dan juga pengabdianmu sebagai orang tua yang tak terhitung kemuliaanmu.
Rasa-rasanya takkan cukup kata, kita bisa menggambarkan bagaimana seorang ibu, menjadi simbol kehidupan di dunia. Kadangkala tanpa kita sadari, dalam banyak hal perenungan kita memikirkan atau merenungkan kedamaian, dan sosok kedamaian itu sejatinya ada pada seorang ibu. Sesungguhnya dalam jiwa dan ruh manusia, sosok ibu senantiasa hadir. Baik secara ragawi maupun secara batiniah.Â
Kita terpanggil ataupun tidak. Sesuatu yang secara sederhana, dapat kita bayangkan, bahwa ketika kita mengharapkan sesuatu, selalu saja sosok seorang ibu hadir. Dalam kehidupan kita saja, kehidupan sehari-hari, sosok ibu selalu menjadi simbol yang dimuliakan.Â
Simbol yang memberi perlindungan, simbol pusat orientasi dalam keseimbangan kosmos atau jagat raya. Dalam konsep kosmos (jagat raya), Ibu menjadi simbol bumi, gunung yang melindungi bumi dan sebagainya.Â
Ibu juga menjadi simbol atas kesucian dari proses penciptaan, karena kelahiran seorang mahluk manusia, berasal dari seorang ibu. Ibu juga menjadi simbol keseimbangan kosmos atau jagat raya.Â
Pendek kata, sosok ibu adalah sebuah keniscayaan tentang simbol-simbol kemuliaan. Oleh karena itu, seorang perempuan ibu, adalah seorang yang dimuliakan sekaligus memuliakan.Â
Baca juga:Â Â Laki-laki dan Perempuan....
Banyak entitas di dunia ini yang menempatkan ibu sebagai simbol kemuliaan. Hari ibu, ibu kota, ibu jari, ibu bumi adalah ungkapan atau frase-frase yang mengungkapkan atau menjadi simbol tentang kemuliaan dan keutamaan seorang Ibu. Artinya, sosok ibu memang simbol kemuliaan di dunia. Bahkan, dalam jagat langit sekalipun.Â
Ungkapan ' surga di bawah telapak kaki ibu' mengingatkan kita, bahwa manusia sebagai mahluk bumi, harus membumi untuk meraih langit. Memposisikan ibu dalam altar tertinggi adalah salah satu cara bereksistensi di bumi, untuk bekal menjumpai ruh keabadian di langit nanti.Â
Salam hormat...
WH, 14/09/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H