Saya membayangkan suatu saat arkeologi menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah, dari SD hingga SLTA. Meskipun di setiap sekolah diajarkan pendidikan sejarah nasional.Â
Demikian, pernah suatu ketika saya katakan di depan beberapa orang perwakilan guru dan siswa-siswa, dalam suatu kegiatan Sosialisasi Arkeologi sebelum pandemi ini.Â
Saya katakan begitu, karena tampaknya materi pendidikan sejarah yang ada, belum mewakili pendidikan sejarah yang sifatnya lebih khusus, misalnya sejarah lokal yang bisa lebih memberikan bobot materi tentang perjalanan sejarah di setiap daerah dimana anak didik belajar. Anak-anak di Maluku, misalnya lebih banyak belajar entang sejarah klasik tentang Majapahit. Sepertinya itu tidak pas.Â
Diperlukan muatan yang lebih banyak misalnya tentang Kerajaan Ternate, Tidore, Hitu, Hoamoal dan sebagainya yang menggambarkan perjalanan sejarah tentang lokalitas Maluku.Â
Sementara sejarah nasional tentang Majapahit, Sriwijaya, Demak, porsinya mungkin sebagai materi tambahan. Jadi muatan pendidikan, perlu menyesuaikan kondisi lokalitas daerah. Itulah pentingnya pengembangan pendidikan muatan lokal (Mulok).Â
Siswa atau anak didik, tentu perlu banyak informasi tentang sejarah mainstream yang seringkali atau banyak mendominasi konten atau materi sejarah nasional. Anak didik di Kalimantan, misalnya dijejali dengan pengetahuan sejarah tentang Kerajaan Sriwijaya, tetapi tidak paham tentang Kerajaan Banjar yang tumbuh berkembang di Kalimantan Selatan pada masa lampau. Itu salah satu contoh saja, bahwa pendidikan tidak bijak rasanya jika diseragamkan. Karena tidak ada informasi tunggal dalam pendidikan, diperlukan selalu adanya pembanding.Â
Pendidikan Arkeologi, Penguatan Muatan Lokal
Di Ambon misalnya, semua mengetahui tentang Candi Borobudur, tapi tidak paham tentang seluk beluk Benteng New Amsterdam yang berdiri di tengah Kota Ambon, yang hingga kini masih menjadi markas Kodam Pattimura. Juga misalnya tentang peninggalan Kerajaan Hitu di abad 16-17M. Â Tentu kondisi ini ironis rasanya.
Di Palu Sulawesi Tengah, semua anak didik siswa diajarkan tentang sejarah nasional tentang Kerajaan Majapahit, tapi mereka tidak mengenal tentang Peninggalan Megalitik di Kawasan Lore Lindu, bagaimana bentuk tinggalannya, budaya apa yang berkembang dan kapan peradaban itu ada.Â
Masih banyak contoh lain kalau disebutkan satu per satu. Artinya, saya ingin katakan, bahwa kurikulum pendidikan nasional kita materi atau kontennya masih seragam, apalagi tentang materi pendidikan sejarah. Padahal kondisi daerah semuanya berbeda-beda.
Setiap daerah di nusantara ini punya keunikan, kekhasannya sendiri-sendiri. Tentu saja ini perlu diajarkan dan diketahui oleh setiap generasi anak didik, agar mereka tidak terasing dengan kebudayaannya sendiri.Â
Oleh karena itu pendidikan sejarah dan arkeologi di level lokal, perlu pembobotan atau pengayaan untuk memperkenalkan sejarah budaya masyarakat di setiap daerah. Setiap daerah punya kekayaan sejarah dan budayanya masing-masing, yang unik, yang khas. Kekayaan sejarah budaya yang khas itu, meninggalkan banyak informasi tentang sejarah masa lampau, baik merupa tradisi, pengetahuan lokal, maupun warisan budaya, baik warisan budaya yang berwujud benda (tangible, arkeologi) maupun warisan budaya berwujud tak benda (intangible, budaya hidup, tradisi, dan sebagainya).Â
Jadi sistem pendidikan nasional yang tidak tunggal, termasuk dalam hal pendidikan sejarah dengan penguatan pula materi pendidikan arkeologi, justru dapat menjembatani pengetahuan lokal setiap anak negeri di setiap daerah.
Pendidikan arkeologi bisa merangkai harmonisasi. Siswa atau anak didik diperkenalkan tentang potensi warisan budaya benda, yang bisa mengungkap perjalanan sejarah bangsa di setiap wilayah nusantara.Â
Indonesia yang negeri kepulauan dengan 17ribu pulaunya, memiliki keunikan dan kekhasannya masing-masing. Keanekaragaman budaya, bahasa dan etnik yang banyak jumlahnya, berbeda-beda dan setiap enitasnya memiliki kekhasannya sendiri.
Setiap komunitas etnis memiliki kekayaan budayanya sendiri-sendiri, yang diturunkan oleh leluhur melalui warisan budaya yang masih kita bisa saksikan sampai hari ini. Kemudian warisan budaya itu dipelajari, dimaknai agar timbul rasa mencintai dan ada keinginan untuk merawat dan melestarikannya.Â
Jika setiap anak negeri mempelajarinya, mereka paham tentang sejarah budayanya, maka pendidikan arkeologi yang spesifik di setiap daerah sangat relevan dan diperlukan.
Berdasarkan data arkeologi yang dimilikinya, maka akan lebih memahami bagaimana sejarah budaya bangsa itu mengalir dan sampai menjadi Republik Indonesia seperti sekarang ini.
Pemahaman ini justru akan menyatukan, merangkai harmoni. Perbedaan kultur, sejarah dengan kekhasannya masing-masing, disatukan melalui proses panjang perjalanan sejarah budaya di negeri kepulauan, yang disatukan oleh laut.Â
Buku-buku pengayaan arkeologi yang ringan dalam berbagai bentuk genre bisa dikembangkan. Buku-buku komik arkeologi untuk tingkat SD. Lalu untuk SMP bisa disuguhkan buku-buku feature populer, demikian pula untuk tingkat SMA. Dengan memperkuat konten-konten muatan lokal, anak didik di setiap daerah, mengetahui lebih banyak sejarahnya, memahami kebudayaannya lebih luas.Â
Tentu semua pihak perlu bergandeng tangan soal ini, terutama di level pemerintah, pusat maupun daerah. Buku-buku pengayaan sejarah, arkeologi dan budaya lainnya semakin digaungkan.
Siswa diajak memahami sejarah budayanya dengan cara yang lebih nyaman dan memikat. Informasi sejarah budaya perlu direkayasa dalam bentuk komik dan animasi  yang lebih memikat dan menghibur. Tanpa kehilangan bobot muatannya, informatif dan bermaanfaat.Â
Sekali lagi sebagai contoh, di Maluku buku-buku sejarah dan arkeologi tentang Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Hitu, Hoamoal, Iha dan sebagainya lebih diperbanyaknya muatannya, sementara untuk sejarah wilayah nusantara lainnya sebagai materi tambahan.Â
Demikian pula sebaliknya. Di Sulawesi Selatan, konten tentang sejarah dan arkeologi Kerajaan Gowa Tallo, Luwuk, Bone, Wajo dan sebagainya diperbanyak muatannya, sebaliknya sejarah budaya di wilayah lainnya sebagai materi tambahan.Â
Tidak juga harus dibuat kurikulum baku, sehingga materi buku-buku sejarah budaya harus dibuat terstandar, dan berbagai aturan perbukuan yang ketat. Setiap pihak yang berhubungan soal pendidikan dan kebudayaan, sebagai contoh yang saat ini sedang dikembangkan oleh Balai Arkeologi seluruh Indonesia, membuat buku-buku pengayaan arkeologi di setiap wilayah kerjanya. Berbagai diskusi dan pameran virtual juga sedang digalakkan. Sekolah lapangan, program arkeologi mengajar, Rumah Peradaban, saat ini dikemas dalam bentuk-bentuk virtual.Â
Pendek kata, menyambut tuntutan perkembangan zaman saat ini, muatan-muatan pendidikan sejarah budaya, pendidikan arkeologi dan cabang-cabang ilmu humaniora lainnya, sudah saatnya bergandeng tangan, memperkuat gerakan literasi budaya, gerakan literasi arkeologi untuk mensuplai kebutuhan bacaan untuk siswa, anak didik di seluruh nusantara, generasi Indonesia di masa depan untuk memahami budayanya, memahami akar kebangsaan, memahami karakter dan jati diri bangsa.Â
Salam Budaya... Salam Lestari...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H