Sekali lagi sebagai contoh, di Maluku buku-buku sejarah dan arkeologi tentang Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Hitu, Hoamoal, Iha dan sebagainya lebih diperbanyaknya muatannya, sementara untuk sejarah wilayah nusantara lainnya sebagai materi tambahan.Â
Demikian pula sebaliknya. Di Sulawesi Selatan, konten tentang sejarah dan arkeologi Kerajaan Gowa Tallo, Luwuk, Bone, Wajo dan sebagainya diperbanyak muatannya, sebaliknya sejarah budaya di wilayah lainnya sebagai materi tambahan.Â
Tidak juga harus dibuat kurikulum baku, sehingga materi buku-buku sejarah budaya harus dibuat terstandar, dan berbagai aturan perbukuan yang ketat. Setiap pihak yang berhubungan soal pendidikan dan kebudayaan, sebagai contoh yang saat ini sedang dikembangkan oleh Balai Arkeologi seluruh Indonesia, membuat buku-buku pengayaan arkeologi di setiap wilayah kerjanya. Berbagai diskusi dan pameran virtual juga sedang digalakkan. Sekolah lapangan, program arkeologi mengajar, Rumah Peradaban, saat ini dikemas dalam bentuk-bentuk virtual.Â
Pendek kata, menyambut tuntutan perkembangan zaman saat ini, muatan-muatan pendidikan sejarah budaya, pendidikan arkeologi dan cabang-cabang ilmu humaniora lainnya, sudah saatnya bergandeng tangan, memperkuat gerakan literasi budaya, gerakan literasi arkeologi untuk mensuplai kebutuhan bacaan untuk siswa, anak didik di seluruh nusantara, generasi Indonesia di masa depan untuk memahami budayanya, memahami akar kebangsaan, memahami karakter dan jati diri bangsa.Â
Salam Budaya... Salam Lestari...