Jika bicara masa silam, gerabah atau disebut pula tembikar, merupakan perkakas yang dikenal sejak masa nenek moyang. Dahulu gerabah digunakan oleh nenek moyang sebagai perkakas sehari-hari, baik untuk bercocok tanam dan juga mencari makan dari  laut.Â
Sebagai wadah, tentu saja berfungsi untuk kehidupan sehari-hari. Tapi dulu, nenek moyang juga menggunakannya sebagai wadah yang berfungsi sakral.Â
Pada masa nenek moyang, gerabah digunakan juga sebagai wadah bekal kubur. Bahkan beberapa contoh kasus hasil penggalian arkeologi, gerabah digunakan sebagai tempayan kubur atau kubur tempayan. Di mana di dalam tempayan, diletakkan bekal-bekal kubur yang dikuburkan bersama pemilik atau si mati sebagai simbol kehidupan baru setelah kematian.Â
Nenek moyang Austronesia mengenalkan pembuatan gerabah, sebagai wadah atau peralatan rumah tangga sehari-hari sebelum dikenal perlatan yang lebih modern seperti keramik dan peralatan logam.
Sering kali dalam setiap penelitian arkeologi, terutama pada situs-situs permukiman kuno, gerabah merupakah temuan yang paling dominan. Hal itu menunjukkan betapa intensifnya masyarakat masa lampau menggunakan perkakas terbuat dari gerabah untuk keperluan rumah tangga sehari-hari.Â
Bicara permukiman menetap, maka kita bicara peradaban pada episode masyarakat mengenal organisasi dan bercocok tanam.Â
Berbagai jenis gerabah menunjukkan banyaknya variasi penggunaan gerabah baik untuk keperluan rumah tangga sehari-hari maupun keperluan yang berhubungan dengan ritual tertentu, sebagaimana yang sudah saya singgung di atas.
Dominannya temuan gerabah di sebuah situs kampung kuno, bisa jadi menandai hubungan dagang yang intensif dengan wilayah luar, sebab gerabah salah satu produk lokal yang dipertukarkan pada masa awal perdagangan.Â
Di zaman dulu, kepemilikan gerabah menjadi salah satu penanda paling mudah dikenali tentang status kekayaan seseorang.Â
Tak mengherankan, jika sejak episode kedatangan para pedagang asing, lambat laun tradisi penggunaan gerabah semakin berkurang, dan jika melihat saat ini, di nusantara sangat sedikit tempat seni kriya gerabah yang masih bertahan. Jadi, tradisi gerabah yang masih bertahan hingga kini, perlu terus dipertahankan dan dilestarikan.
Tradisi membuat gerabah di nusantara hingga kini sebagian kecil masih bertahan, di tengah modernisasi peralatan rumah tangga yang semakin maju. Meskipun hanya sedikit saja, tempat-tempat di nusantara, namun tradisi kuno ini membuktikan tradisi seni kriya membuat perkakas dari tanah liat itu budaya asli nusantara yang tetap bertahan di tengah badai alih teknologi yang semakin meninggalkan masa silam.Â
Di Sulawesi Utara pun demikian. Saat ini hanya ada satu tempat pengrajin gerabah, yakni di Pulutan, Kabupaten Minahasa. Tradisi gerabah Pulutan, sudah lama sekali.Â
Di Sulawesi Utara, sebelumnya juga dikenal tradisi pembuatan gerabah di Kepulauan Talaud, di tempat yang hampir sama yakni Pulutanna. Namun di tempat itu, tradisi membuat gerabah sudah hilang sejak sekitar tahun 80-an.Â
Apakah ada hubunganya antara Pulutanna di Talaud dengan Pulutan di Minahasa? Bisa jadi seperti itu, mengingat perkembangan tradisi gerabah, berkembang pesat seiring persebarannya pada masa silam.
Proses Pembuatan Gerabah
Tanah Lempung, tanah liat atau tanah lempung merupakan bahan yang terutama, untuk pembuatan gerabah di desa Pulutan. Tanah ini diambil dari kebun atau halaman di sekitar rumah penduduk.Â
Tanah liat yang berasal dari halaman rumah penduduk (pekarangan), biasanya tidak baik untuk membuat gerabah jenis besar; karena tanah liat jenis ini mengandung padas.Â
Tanah liat yang sesuai untuk membuat gerabah, adalah tanah liat yang diambil dari kedalaman  setengah hingga satu meter di bawah permukaan tanah.Â
Jenis terakhir ini, setelah diambil, kemudian ditumbuk, langsung dapat digunakan tanpa diberi campuran pasir atau temper lainnya.Â
Tanah merah - raraendang. Bahan lain yang dipergunakan ialah tanah merah. Jenis tanah ini tidak terdapat di desa Pulutan, dan harus dibeli dari daerah lain.Â
Kegunaan bahan ini sebagai bahan pewarna dan penutup pori-pori dari arah luar, dengan cara dipoleskan pada gerabah. Selain itu untuk mengkilapkan permukaan gerabah, dan untuk menutup pori-pori tanah liat digunakan Damar.Â
Damar dibakar dan setelah dalam bentuk cair an damar yang masih panas dioleskan di permukaan gerabah yang sudah dibakar.Â
Damar dipergunakan sebagai bahan untuk menutup pori-pori, agar tidak tembus air, di samping tujuan lainnya, yaitu untuk memperindah. Cara penggunaannya sama dengan penggunaan tanah merah.Â
Adapun alat perlengkapan, antara lain alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan gerabah seperti Luluwek, bentuk alat ini bulat memanjang (Bahasa Jawa: alu).Â
Terbuat dari kayu, dipergunakan untuk menumbuk tanah liat. Luluwekan Alat ini terbuat dari kayu dan dipergunakan untuk alas/landasan menumbuk tanah liat. Wuwuwuk,Alat ini berbentuk bulat panjang, dipergunakan untuk membuat bentuk dasar gerabah.Â
Pengalas Terbuat dari papan kayu, berbentuk empat persegi panjang. Sesepek dipergunakan sebagai alat pemukul untuk membentuk gerabah dari arah luar dengan teknik tatap landas (paddle).Â
Berbentuk empat persegi panjang. Pada tempat pegangan dibuat lebih kecil. Kekeret Bentuk serta ukurannya sama dengan sesepek, tetapi digunakan khusus untuk membuat k u r e (periuk besar).Â
Wuwungan, bentuk alat sama dengan sesepek, tetapi diberi cap hiasan, yang dapat dipergunakan untuk memberi cap/hiasan pada gerabah.Â
Totootok Alat ini sama dengan batu pemukul, berbentuk lingkaran dengan menggunakan pegangan, serta dibuat dari tanah liat yang dibakar. Alat ini digunakan untuk membuat gerabah dari arah dalam (anvil). Paweruan Alat ini digunakan untuk alas, pada pengerjaan tahap tertentu, dibuat dari bambu yang dianyam.Â
Teknik pembuatan gerabah
Teknik pembuatan gerabah di desa Pulutan ini, mengalami proses pengerjaan tahap demi tahap,yang meliputi:Â
Tahap I, tanah liat ditumbuk lalu dibuat gumpalan-gumpalan (mekmek). Besar kecilnya gumpalan disesuaikan dengan gerabah yang akan dibuat.Â
Tahap II, tanah yang sudah berbentuk gumpalan (bulatan), kemudian dibentuk menjadi bentuk permulaan dengan mempergunakan wuwuwuk.Â
Tahap III disebut TIMO'OTOL, yaitu membuat bentuk dasar dari model yang diinginkan, kemudian diangin-anginkan agar menjadi kering dan liat.Â
Tahap IV, sesudah cukup liat, maka bentuk ini mengalami proses PAWERUNGAN, yaitu proses pembuatan bentuk yang dimaksud. Pada tahap ini bentuk tersebut dibuat lebih bagus atau PALANEYAN, yaitu proses pelicinan, dengan alat yang disebut kukuas.Â
Di samping itu, juga dilakukan pemberian hiasan yang dilakukan dengan cara dicap. Jadi hiasan pada umumnya merupakan hiasan impressed, sedangkan motifnya bermacam-macam, antara lain: motif jala, garis sejajar, bunga dan motif lingkaran.Â
Tahap V, dilakukan penambahan kaki, yaitu dengan cara menempelkan gulungan tanah liat (coil) pada bagian dasar gerabah, yang kemudian dibentuk menjadi kaki, lalu dikeringkan. Bentuk ini kemudian diberi warna merah (slip = engobe).Â
Tahap V I merupakan pengeringan kedua. Lama dan cepatnya pengeringan tergantung pada baik buruknya cuaca, dikeringkan kira-kira satu sampai dua hari. Apabila tahap ini selesai, maka gerabahgerabah tersebut siap untuk dibakar.Â
Tahap VII, tahap pembakaran (MAWERENG). Bahan bakar untuk pembakaran gerabah, antara lain: kayu, bambu (keduanya disebut para-para), daun kelapa, alang-alang, daun padi Gerami) dan batang pisang.Â
Cara penyusunan bahan bakar ini mula-mula pada di bagian dasarnya diletakkan batang pisang dan daun kelapa, kemudian disusul dengan gerabah-gerabah yang akan dibakar dan disusun menurut jenisnya, makin ke atas makin kecil. Kemudian disusul kayu yang telah dipotong, yang panjangnya menurut jumlah gerabah yang akan dibakar dan diletakkan diantara gerabah-gerabah tersebut.Â
Di atas susunan gerabah ini, ditutup dengan jerami, lalu dibakar. Lamanya pembakaran kira-kira setengah jam. Setelah pembakaran, gerabah-gerabah dikeluarkan lalu dipoles dengan damar .Â
Jenis dan ukuran gerabah pun beragam, antara lain:
- Tempayan digunakan sebagai tempat air
- S e m p e, sejenis belanga. Bentuknya besar dan digunakan untuk tempat air
- Kurek besar, sejenis gerabah besar digunakan untuk memasak sayur, seperti kuali
- Kurek Kecil, gerabah kecil, digunakan untuk masak ikanÂ
- Totoren, sejenis kurek, digunakan untuk memasak air dan nasi bungkus seperti buras (sejenis ketupat)Â
- Lelesan, bentuk seperti ketel, digunakan untuk memasak nasi. wajan untuk menggoreng
- Rumping, sejenis wajan untuk menggoreng
- Pot/vas bunga, perkakas yang umum ditemui di pasaran, sejenis tempat untuk wadah tanah ditanami bunga
Kenapa di Minahasa, Pembuat Gerabah hanya Wanita?
Tradisi Pembuatan Gerabah di Desa Pulutan masih mempergunakan teknik pembuatan gerabah yang sangat sederhana, dan masih merupakan tradisi turun-temurun.
Konon gerabah hanya bisa dikerjakan oleh kelompok wanita. Dipercaya, jika gerabah itu hanya bisa dibuat oleh kelompok wanita, dari proses mengambil bahan, membentuk dan membakar. Ada semacam kepercayaan lokal, jika gerabah dibuat oleh kaum pria, justru akan mendatangkan bencana. Entah dari mana kepercayaan itu muncul.Â
Faktanya untuk di wilayah timur nusantara, termasuk di Minahasa, Sulawesi Utara, seluruh proses pembuatan gerabah dilakukan oleh kaum wanita. Sama halnya tradisi gerabah di Pulau Saparua, Maluku, tepatnya di Desa Ouw. Bahkan asal bahan yang berada jauh dari tempat tinggalnya, diambil dan dipikul sendiri oleh kaum wanita.Â
Jika dipelajari seksama, tafsir kebudayaan bisa muncul dari sini, tentang wanita sebagai simbol bumi. Saya mencoba menjadi intrepreter soal ini.Â
Di beberapa wilayah, terutama jika membandingkan dengan wilayah timur nusantara lainnya, contohnya Maluku, di mana saya sebagai peneliti arkeologi, sering kali menjumpai fenomena kepercayaan lokal, bahwa wanita menjadi simbol bumi atau mother of earth.
Sementara itu bahan utama gerabah, terdiri dari unsur bumi yang kuat dan dominan yakni tanah dan pasir. Oleh karena simbolisasi itu maka lahirlah kepercayaan lokal, bahwa kaum wanitalah yang bisa membuat gerabah. Karena unsur bahan tanah dan pasir itu tadi.
Sepertinya kepercayaan bahwa wanita adalah simbol bumi yang menyebabkan lahirnya kepercayaan lokal, bahwa hanya kaum wanita yang bisa atau boleh membuat gerabah. dari proses mengumpulkan dan mengambil bahan, pembentukan wadah, hingga pembakaran dan finishingnya.Â
Jadi aspek gender pembuatan gerabah, memposisikan wanita dalam peran yang utama, bukan karena jenis pekerjaannya, namun simbol-simbol kebudayaan menerangkan soal fenomena kepercayaan lokal itu, sebuah bentuk kecerdasan lokal (local genius) yang patut dilestarikan.
Catatan: untuk memperkaya informasi dalam artikel ini, penulis melengkapi informasi dari Berita Penelitian Arkeologi (http://repositori.kemdikbud.go.id/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H