Menurut catatan yang ditulis oleh Rinto Thaib, yang saat ini menjabat sebagai kepala Museum Rempah Ternate, tradisi masyarakat Gamalama warisan nenek moyang ini berupa sebuah ritual tradisional mengitari Gunung Gamalama sambil mengunjungi sejumlah tempat dan makam-makam keramat.
Ritual ini dilakukan sebagai pengharapan agar Gamalama tidak meletus. Gunung Gamalama dipercaya memiliki banyak nilai-nilai keramat. Tak heran jika banyak mitos yang beredar, dan semakin memperkuat kekeramatan gunung ini.
Penempatan pusat kota di kaki gunung Gamalama sebelah timur, tentu dengan pertimbangan tertentu, diantaranya jika merujuk teori Catanese, 1986. Gunung Gamalama, mewakili aspek astrobiologis : konsep kosmologi berdasarkan ramalan dan pengetahuan tentang keadaan atau sifat dunia.
Dalam sejarah tidak ditemukan catatan bahwa daerah pusat kota, lokasi berdiri kedaton Ternate, terkena dampak letusan Gunung Gamalama. Nama Gunung Gamalama diambil dari kata Kie Gam Lamo ("negeri yang besar").
Gamalama sudah lebih dari 60 kali meletus sejak letusannya pertama kali tercatat pada tahun 1538 M. Erupsi yang menimbulkan korban jiwa setidaknya sudah empat kali terjadi, dengan korban terbanyak jatuh pada tahun 1775.
Kedaton Ternate dibangun oleh Sultan Muhammad Ali pada tahun 1813 M, melalui pertimbangan dan perencanaan yang matang, penempatan kedaton sebagai pusat kota kemungkinan mempertimbangkan faktor keadaan alam pada masa itu, yakni keadaan yang secara faktual menjelaskan bahwa meskipun seringkali gunung Gamalama meletus, namun daerah pusat kota tempat kedaton Ternate berdiri, terhindar dari dampak langsung letusan Gunung Gamalama.
Meskipun pada masa Belanda, campur tangan pihak kolonial sangat kuat, namun dalam penentuan pusat kota, otoritas kekuasaan Islam dan pertimbangan aspek lokal sangat dijunjung tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H